Siang itu
tes masuk pun dilaksanakan. Bismillah…. Mengingat jalan yang saya tempuh dari
rumah ke kampus masih nyasar-nyasar, maka dengan tekad bulat, saya memutuskan
harus lulus dengan baik. Saya harus diterima di kampus ini. Begitu tekad saya
dalam hati.
Terus
terang pertama kali memutuskan kuliah agama, saya merasa sangat minder. Itu
karena saya tidak memiliki pendidikan formal agama. Jadi pertama kali masuk ke
kampus untuk ujian masuk, perasaan saya campur aduk, antara ingin sekali
diterima dan juga malu sekali.
Saya
melihat sekeliling kelas. Wajah-wajah di kelas ini masih sangat muda. Membuat
hati saya semakin ciut. Saya pun mencoba membuang semua kegundahan dengan
membuka pembicaraan. Pertama kali saya berkenalan dengan seorang akhwat
bercadar. Ternyata ia tamatan sebuah pesantren di Solo. Duuhh,,, hati saya makin
ciut. Saya kembali melihat sekeliling kelas, mencari orang yang minimal sama
lah dengan saya, yang belum pernah menempuh pendidikan pesantren dan belum
terlalu fasih berbahasa Arab. Mata saya tertuju pada seorang ibu. Saya pun
mendekatinya dan mulai mengobrol. Namanya mba Vivi. Alhamdulillah, latar
belakangnya membuat rasa optimis saya bangkit kembali. Walaupun mba Vivi
seorang murobbi, tapi ia memberi saya semangat untuk terus menuntut ilmu,
kapanpun, dimanapun J, Alhamdulillah.
Ujian masuk
pun dimulai. Kelas tidak begitu penuh. Hanya ada sekitar sepuluh orang saja.
Kami duduk berjauhan. Kertas-kertas soal dibagikan. Saya memandang mba Vivi, ia
tersenyum. Dari tatap matanya saya yakin, ia ingin berkata, kamu bisa. Saya pun
balas tersenyum. Ujian dilaksanakan kurang lebih satu jam. Alhamdulillah,
walaupun saya tidak yakin dengan beberapa jawaban, tapi ada sebersit harapan
bahwa insyaAllah saya akan diterima di kampus ini.
Satu jam
lebih ujian dilaksanakan. Tidak ada pengawas yang berlebihan. Pengawas yang ada
pun jauh dari tampang angker. Malahan cenderung cuek, pengawas asik membaca
kitab berbahasa Arab. Satu persatu peserta berdiri dan mengumpulkan kertas
jawabannya. Saya kembali melihat sekeliling, wajah-wajah yang yakin dengan
hasil ujiannya. Saya memeriksa kembali soal-soal yang ada di kertas. Setelah yakin
(setengah yakin J ), saya pun mengumpulkan kertas jawaban.
Pulang dari
ujian masuk, pikiran saya agak tenang, berbeda dengan saat pergi. Saya sudah
pasrah. Kalau memang diterima Alhamdulillah, kalau tidak ya yang penting saya
sudah berusaha.
Beberapa hari
kemudian, hasil ujian masuk diumumkan. Sebenarnya hasil ujian dapat dilihat di
website kampus. Tapi saya memutuskan untuk melihat langsung. Kesannya gimana
ya, lebih puas melihat langsung J. Saya kembali mengajak mba Desi. Rencana
saya, kalau memang saya tidak diterima, masih ada mba Desi yang bisa saya
jadikan teman curhat J.
Alhamdulillah,
setelah beberapa kali nyasar, kali ini perjalanan menuju kampus lancar. Saya tidak
membuang waktu lama, segera saya berjalan menuju papan pengumuman. Mata saya
terus mencari. Alhamdulillah Allahuakbar….. saya diterima J. Waahh ga nyangka sama sekali. Senangnya
bukan main. Saya segera menghubungi suami, ibu, kakak dan teman-teman. Norak sebentar
ga pa pa lah J.
Senyum
lebar mengiringi perjalanan saya kembali ke rumah. Sungguh saya ga sangka,
setelah lebih 10 tahun menamatkan pendidikan di sebuah universitas negeri di
Malang, saat ini saya kembali sebagai mahasiswi baru. Bedanya, 10 tahun yang
lalu saya masih gadis, sekarang, saya adalah ibu dari seorang anak, sungguh
luar biasa J.
Masih dalam
keadaan hati yang berbunga-bunga, saya bertemu dengan teman-teman saya. Tentu yang
saya harapkan adalah dukungan dan motivasi dari mereka. Tapi ternyata, jauh
dari yang saya bayangkan.
Beginilah beberapa komentar dari teman-teman saya ;
”wah susah
lo kuliah disana, suamiku aja Cuma sampai semester dua.”
Teman saya
yang lain bahkan berkata seperti ini ,”ngapain kuliah lagi. Kalo kata suami saya
mah, baca aja buku-buku yang ada di rumah, materinya sama aja kok.”
Atau seperti
ini ,”kuliah lagi? Ga salah bu? Trus nanti anak sama siapa?”
Yah,
berharaplah hanya pada Allah swt. Saya pulang dengan perasaan sangat kecewa. Dukungan
yang saya harapkan justru sebaliknya. Saya segera SMS suami. Saya ceritakan
semuanya. Begitupun saat tiba di rumah. Saya menceritakan semuanya pada ibu
saya. Tak lupa juga saya menghubungi kakak saya di Bandung. Alhamdulillah,
semua mendukung keputusan saya. Walaupun agak sedih, tapi saya bersyukur,
orang-orang terdekat saya, semua mendukung dan mereka tau kalau saya bisa
membagi waktu.
Mengingat kembali
semua kejadian itu, membuat saya tersenyum dan sangat bersyukur. Jika dulu
mungkin saya agak sedih karena tidak
mendapat dukungan dari teman-teman, saat ini, saya bersyukur teman-teman saya
dulu berbuat seperti itu. Karena, berkat mereka lah saya terpacu untuk
membuktikan bahwa saya mampu, saya bisa, dan insyaAllah saya akan lulus dengan
baik. Aamiin J.
Dan, Alhamdulillah.
Saat ini saya sudah semester lima, dan insyaAllah tinggal tiga semester lagi. Selain
itu, yang sangat sangat saya syukuri adalah, setiap tiga kali seminggu saya
bertemu dengan sosok-sosok luar biasa. Sosok-sosok yang selalu bersemangat,
optimis dan penuh ilmu. Subhanallah…Alhamdulillah…
Niat saya
untuk melanjutkan S2 pun didukung penuh oleh suami dan anak saya. Saya dan
suami sepakat untuk terus melanjutkan pendidikan selama umur dan biaya masih
ada. Kami ingin membuktikan pada anak kami, bahwa menuntut ilmu tidak mengenal
waktu dan usia.
Wallahualambisawab.
Tamat J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar