Seorang ibu menarik gerobak kecilnya yang penuh dengan
kardus bekas. Umurnya masih muda. Begitupun anaknya yang ada diatas gerobak. Anak
perempuan dengan pakaian sangat sederhana, duduk diatas tumpukan kardus tanpa
rewel.
Ditengah padatnya kendaraan, ibu pemulung itu terus menarik
gerobaknya dijalan menanjak.
Mungkin karena lelah atau karena matahari yang memang tengah
bersinar terang, ibu pemulung berhenti sejenak dibawah pohon. Ia menyeka
keringatnya. Kemudian tersenyum pada anaknya yang tengah bermain boneka lusuh.
Tak jauh dari ibu pemulung, ada beberapa pengemis yang
berjejer di pinggir jalan. Jalan ini merupakan jalan akses menuju pusat kota. Tak
heran jika jalanan ini selalu ramai dengan kendaraan. Hal itu dimanfaatkan oleh
para pengemis untuk mengais rejeki.
Ibu pemulung melanjutkan langkahnya. Menapaki jalanan
menanjak sambil menarik gerobak. Saat melewati seorang pengemis, ia tersenyum. Ibu
pemulung berbincang pada pengemis itu. Ia pun merogoh koceknya, mengeluarkan
uang seadanya dan diberikan pada pengemis. Subhanallah...
Ia pun melanjutkan
kembali perjalanannya menarik gerobak. Sekitar 100 meter, kembali ia menjumpai
pengemis. Seorang bapak duduk di kursi roda, didampingi istrinya. Dipangkuan bapak
itu, ada sebuah papan kecil bertuliskan “sedekah amal jariah”.
Ibu pemulung kembali menghentikan langkahnya. Kembali, ia
berbincang dengan bapak pengemis yang cacat itu. Mereka saling bercanda dan
tertawa. Anak ibu pemulung pun ikut tertawa. Kembali, ibu pemulung merogoh
kantongnya, dikeluarkannya uang receh dan diberikan pada bapak pengemis.
Bapak pengemis dan istrinya mengucapkan terimakasih. Ibu pemulung
tersenyum. Ia pun melanjutkan menarik gerobaknya. Entah ke arah mana.....
Hari berganti...
Kembali bertemu dengan seorang ibu yang tengah menarik
gerobak. Namun, gerobaknya tampak berbeda. Tidak ada tumpukan kardus.
Gerobak itu dirancang sedemikian rupa hingga menyerupai
tenda kecil. Disudut-sudut gerobak, tampak kayu yang dibiarkan menonjol. Kemudian,
seutas tali diikatkan pada kayu-kayu itu, hingga jadilah semacam tiang
gantungan untuk pakaian.
Tiang itu dipenuhi dengan pakaian. Mulai pakaian anak-anak,
dewasa, hingga beberapa helai kain. Saat melintasi mobil, terlihat dua anak
sedang menjulurkan kepalanya dari celah-celah pakaian.
Saya memperhatikan gerobak itu. Gerobak berwarna biru yang
lumayan bersih. Terawat. Disekeliling gerobak itu, terdapat tulisan. Tulisan berwarna
putih yang menggunakan huruf kapital. Saya terkesiap. Tulisannya berbunyi “inilah
rumah kami”....
Gerobak dengan panjang kurang lebih dua meter dan lebar satu
meter itu adalah tempat tinggal mereka. Tidur, makan, bermain dan sebagainya,
dilakukan di dalam gerobak....
Seperti ibu pemulung sebelumnya, ibu pemilik gerobak biru
inipun bertemu dengan bapak pengemis kursi roda, yang selalu didampingi
istrinya. Ia berhenti, berbincang sejenak dengan bapak pengemis, dan tak lama
memberikan selembar uang. Bapak pengemis dan istrinya tersenyum dan mengucapkan
terimakasih.
Allah.... hati ini tak sanggup berkata....
Lain hari, kembali melewati jalan ini. Sebuah jalan satu
arah, yang merupakan akses menuju pusat kota. Jalan yang selalu dipenuhi oleh
kendaraan mewah, seperti rumah-rumah mewah disepanjang jalan ini.
Seorang lelaki penjual krupuk berdiri dipinggir jalan. Sekilas,
tampak seperti biasa. Layaknya orang normal. Plastik-plastik krupuk memenuhi
tangan dan punggungnya. Namun, ketika berada dekat dengannya, barulah kita akan
sadar, ternyata bapak itu buta.
Kedua matanya memang tidak tertutup seperti tunanetra
lainnya, namun, jika diamati, kelopak matanya hanya menutup setengah saja. Bagian
mata yang biasa hitam, tampak keabu-abuan. Tangannya menggenggam erat sebuah
tongkat hitam.
Allah... bagaimana caranya ia bertransaksi?? Bagaimana bapak
tunanetra itu tau jika uang pembeli pas atau harus menyediakan uang kembalian??...
Allah....kecil rasanya diri ini...
Bapak penjual krupuk yang tunanetra itu terus saja berdiri. Menanti
orang yang mau membeli krupuknya.
Hari yang cerah, tiba-tiba saja mendung. Suara petir bergantian
diatas langit Jakarta. Perlahan, hujan pun turun. Saya melihat bapak penjual
krupuk itu segera mengemasi krupuknya. Ia mengencangkan ikatan tali-tali krupuk
itu ke bahunya. Memastikan ikatan-ikatan kencang, kemudian perlahan ia
berjalan.
Tongkatnya yang penjang menuntun jalannya, agar tidak terjatuh
atau tersandung. Namun, langkahnya tidak secepat hujan yang menyapa bumi. Air dari
langit semakin deras. Jika orang normal, tentulah akan berlari mencari tempat
untuk berteduh.
Tapi, bapak penjual krupuk itu berjalan dengan tenang. Tidak
panik. Ia berjalan pelan. Tongkatnya bergerak ke kanan, ke kiri, memastikan
langkahnya aman. Ia pun terus berjalan. Tak lama, ia berhenti dibawah pohon. Pohon
yang tidak cukup untuk melindungi tubuhnya yang telah basah kuyup.
Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya dan plastik-plastik
krupuk yang bertengger dikedua punggungnya. Ia tidak mengeluh. Tidak juga
marah. Tidak juga melampiaskan kekesalan. Ia hanya berdiri. Menunggu, hingga hujan
reda.
Tiga orang berbeda yang memberi seribu makna. Ibu pemulung
yang begitu dermawan dan pekerja keras. Ibu pemilik gerobak biru, yang
menjadikan gerobaknya sebagi “rumah idaman” dan seorang bapak tunanetra penjual
krupuk, yang tidak menyerah pada kekurangannya.
Mereka adalah pejuang sejati. Menjalani kehidupan di kota
besar, bukan hal yang mudah. Namun mereka bertahan. Bertahan untuk tidak
mengemis, padahal bisa, karena keadaan mereka sangat mendukung untuk itu. Tapi,
pantang bagi seorang pejuang, untuk mengemis memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mereka adalah orang-orang pemberani, yang seakan kerdil di
tengah hiruk pikuknya ibukota. Sosok mereka nyaris tidak diperhatikan. Dianggap
biasa. Lumrah bagi kota besar mempunyai yang miskin dan yang kaya.
Sesungguhnya, jalan-jalan di ibukota memberi beribu hikmah,
sejuta makna. Diantara kokohnya jembatan, ada orang-orang yang menjadikan
kolong jembatan sebagai tempat tinggalnya. Diantara tingginya gedung-gedung
ibukota, terselip rumah-rumah kumuh seadanya. Beratapkan terpal plastik warna
warni dan tembok yang terbuat dari kardus.
Sering kali, kehadiran mereka dianggap “sampah”. Namun,
mereka menyajikan seribu kesahajaan. Tentang hidup dan tentang masa depan, yang
secara perlahan hilang, digerus dengan hedonisnya kaum ibukota.