Senin, 30 April 2012

KALA CINTA HARUS MEMILIH


*tulisan lama, satu tahun yang lalu*

Alkisah, ada seorang gadis bernama Cinta yang berasal dari negeri merah jambu.

Siang itu Cinta, raja dan permaisuri tengah menerima beberapa pemuda yang hendak melamar Cinta sebagai istri mereka.

Raja memanggil pemuda pertama, raja bertanya ,”Siapa namamu  wahai anak muda?”

“Nama saya materi paduka,” jawab pemuda itu

“Hmm…. apa maksud kedatanganmu kemari wahai materi?”

“Hamba ingin melamar putri paduka raja, yaitu Cinta,” jawab nya

“Aku ingin tahu, sebagai ayah, apa yang akan kau lakukan kelak, jika Cinta menerima lamaranmu?” tanya sang raja kembali

“Paduka raja yang mulia, paduka tidak perlu khawatir, hamba akan memberikan apa saja yang Cinta minta, mobil, rumah, apartemen, tabungan, pakaian yang indah, semua akan hamba penuhi. Bahkan, hamba akan membangun sebuah istana yang lebih indah dan lebih besar dari pada istana ini dan Cinta akan hamba ajak berkeliling dunia,” materi menjawab dengan panjang lebar.

“Baiklah, cukup itu saja, atau ada lagi yang ingin kau sampaikan pada Cinta?’ tanya raja kembali

“Apapun yang Cinta minta, akan saya penuhi, paduka,” jawab materi penuh keyakinan

“Baik kalau begitu, Cinta, bagaimana jawabanmu putriku?” tanya raja pada Cinta

Cinta tersenyum dan berkata ,”ayah, Cinta merasa sangat berlebihan dengan harta yang ayahanda raja miliki, Cinta adalah putri  ayah satu satunya, sudah pasti, suatu saat nanti Cinta yang akan memimpin negeri ini, dan bagi Cinta, memiliki negeri ini lebih dari cukup jika dibandingkan dengan apa yang materi tawarkan tadi. Bukan itu yang Cinta mau ayahanda….”

Sang raja mengangguk-ngangguk, dia pun berpaling kepada materi, yang saat itu menampakakkan raut kekecewaan.

“Nah, materi, kamu sudah dengar sendiri bukan, Cinta tidak memerlukan hartamu, jika itu yang engkau tawarkan. Karena itu, silakan engkau tinggalkan ruangan ini,”

Materi terdiam, kemudian ia berkata,”Baiklah baginda raja, hamba mohon ijin,” materi berjalan keluar ruangan dengan langkah lunglai dan tertunduk.

“Giliranmu anak muda, siapa namamu?” raja bertanya pada pemuda berbadan tinggi dan tegap

“Nama hamba Gagah baginda,” jawab pemuda itu

“Baiklah gagah, apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang raja

“Hamba ingin melamar putri paduka yaitu Cinta, untuk menjadi istri hamba,” jawab gagah dengan senyum yang sangat menawan

“Hmm…. sebagai ayah, aku ingin tahu, apa yang akan kau berikan pada Cinta, jika ia kelak bersedia menjadi istrimu?” tanya raja

“Paduka, hamba akan memastikan keindahan Cinta di dunia ini tidak akan pudar, hamba akan selalu menjaga Cinta, agar tetap cantik, tetap indah. Hamba akan memastikan, kecantikan Cinta tak lekang oleh waktu, walaupun usia kita pasti akan bertambah, hamba akan memastikan, tidak ada yang berubah pada diri Cinta. Cinta akan tetap indah dan tidak akan termakan oleh usia.” jawab Gagah penuh kepastian dan senyum yang sangat menawan

“Baiklah, hanya itu saja, atau masih ada lagi?” tanya raja kembali

“Hamba rasa cukup paduka,” jawab gagah sambil memandangi Cinta dengan penuh keyakinan, bahwa lamarannya akan diterima.

“Baik, sekarang saatnya kita dengarkan dengar jawaban Cinta, bagaimana jawabanmu putriku?”

Cinta menatap gagah sejenak, pemuda itu membalas pandangan Cinta, kemudian Cinta memandang ayahnya dan berkata

“Ayah, hamba ragu dengan pernyataan gagah, betulkah ia dapat menjaga Cinta agar selalu terlihat cantik, walaupun Cinta telah tua kelak…….. Ayah, menjadi tua adalah sebuah kepastian, dan itu terbukti pada  diri ayah. Seberapa pun kerasnya ayah menjaga fisik, baik itu dengan olahraga, meminum vitamin, makan makanan yang sehat dan bergizi, menjaga tidur, menjaga pikiran, tetap saja, fisik ayah yang dulu dan saat ini berubah. Kening ayah tetap berkerut, kantung mata ayah telah menghitam, rambut ayah pun sudah memutih. Saat ini, gagah memang sangat menawan, namun, jika gagah mencintai Cinta hanya karena kecantikan, Cinta terpaksa harus menolak ayah, karena seperti yang tadi Cinta katakan, menjadi tua adalah sebuah kepastian. Cinta tidak ingin gagah mencintai Cinta hanya karena fisik, karena kecantikan itu tidak abadi.” jelas Cinta panjang lebar

Gagah terkejut mendengar jawaban raja.

“Nah, gagah, engkau sudah mendengar jawaban dari Cinta. Ia tidak menilai kedalaman cinta dari fisik semata, karena itu, silakan engkau tinggalkan ruangan ini.” kata raja

Gagah tertunduk lemas. Ia tak bisa berkata-kata, ia pun meninggalkan ruangan dengan langkah lunglai.

“Kamu anak muda, siapa namamu?” tanya raja pada seorang pemuda berpenampilan trendi, masa kini, sambil membawa bunga dan sebuah gitar.

“Salam sejahtera duhai raja yang memiliki negeri nan indah, rakyatnya tentram dan damai……. perkenalkan, nama hamba Gombal.” jawab pemuda itu sambil melemparkan senyum manis pada cinta.

“Baiklah gombal, apa maksud kedatanganmu kemari, wahai anak muda?”

“Wahai paduka raja yang mulia, yang terkenal di seantero negeri dengan kedermawanannya, maksud kedatangan hamba kemari adalah untuk melamar putri paduka  raja, Cinta, yang cantik jelita, elok bagai bidadari, rupawan bagai bunga, indah di pandang bak pelangi.”

“Hmm…baiklah, lalu, jika kelak Cinta menerima lamaranmu, apa yang akan kau berikan padanya?” tanya raja

“Baginda raja yang arif dan bijaksana, paduka raja  yang terhormat tidak perlu merasa khawatir, hamba akan selalu ada di sisi Cinta, kapanpun dan dimanapun. jika cinta terluka, biarlah hamba melukai diri hamba juga, jika cinta menangis sedih, biarkan hamba menanti air mata cinta sebelum air mata itu sempat membasahi pipi cinta, hamba akan membuat cinta selalu tersenyum, hamba akan membuat hari-hari cinta indah bagaikan hidup di surga, hamba tidak akan membiarkan cinta kesusahan, jika masalah datang menghadang, hamba yang pertama akan menghadapinya, hamba tidak akan membiarkan cinta tersakiti ataupun disakiti, dan jika kelak cinta mati,  hambapun akan ikut mati bersamanya……oohhh cinta, ijinkan aku untuk menjadi pendampingmu…” jawab gombal panjang lebar.

“Baiklah, jawabanmu sangat panjang, sekarang, saatnya kita mendengar jawaban Cinta, bagaimana jawabanmu nak?” tanya raja

Tiba-tiba, gombal berlutut di hadapan Cinta dan menyerahkan setangkai bunga yang sejak tadi di genggamnya, ia berkata pada Cinta “Wahai cinta, dindaku terkasih,  terimalah bunga ini sebagai tanda cintaku padamu,”

Cinta terkejut, kemudian berkata, “Maafkan wahai gombal, dengarlah dulu jawabanku.” Cinta berkata sambil menepis dengan halus, bunga yang  gombal berikan.

“Ayahanda tercinta, hamba tidak habis pikir dengan jawaban gombal, tidak mungkin rasanya, kelak, gombal akan selalu ada disisi Cinta juga tidak mungkin Cinta akan selalu merasa senang, tidak mungkin dalam suatu pernikahan tidak ada masalah, tidak ada perbedaan. Ayah sendiri sudah mengalaminya bukan. Ayah dan ibu terkadang berselisih paham, berdebat, namun, setelah itu ayah dan ibu kembali rukun dan mesra seperti biasa, tidak mungkin pula, jika cinta terluka, gombal akan rela melukai dirinya sendiri, tidak mungkin cinta akan bahagia selamanya, karena dalam hidup ini, pasti ada saat susah dan ada saat senang,  dan satu lagi, adalah sebuah kemustahilan jika cinta mati, gombal pun akan ikut mati bersama cinta…. ahhh…. bukan itu yang Cinta cari ayah…..” jawab Cinta dengan nada mulai putus asa.

“ooohhhh cinta, jawabanmu melukai hatikuuuu…….” jawab gombal penuh duka.

“nah, gombal, sudah dengar sendiri jawabannya bukan, sekarang, silakan kau tinggalkan ruangan ini” kata raja

“Aha, ternyata tinggal satu pemuda lagi, siapa namamu anak muda?” tanya raja pada seorang pemuda berpenampilan santun

“Assalammualaikum paduka raja yang terhormat, nama hamba Iman.” jawab pemuda itu sambil menatap  raja.

“Baiklah iman, apa maksud kedatanganmu kemari, wahai anak muda?” tanya raja

“Hamba bermaksud untuk melamar putri  paduka, yaitu Cinta, untuk hamba jadikan istri.”
 jawab Iman dengan sopan

“Iman, perlu engkau ketahui, tak mudah untuk menaklukan hati putriku, ia sudah menolak tiga lamaran pemuda yang begitu meyakinkan, yang rela memberi  apapun yang ia inginkan. nah, engkau sendiri, apa yang akan kau berikan pada cinta, jika kelak ia bersedia menjadi istrimu?”

“Paduka raja, hamba memang tidak seperti tiga pemuda tadi, yang bisa memberikan apapun yang  Cinta inginkan. yang bisa hamba berikan, mungkin tidak bisa dilihat oleh mata, karena kasih sayang yang hamba berikan berbentuk ketulusan, keikhlasan dan pengertian. hamba tidak  bisa memberikan kepastian akan kecantikan cinta yang abadi, namun yang bisa hamba berikan, adalah menerima Cinta apa adanya saat ini ataupun nanti jika kita sudah tua.”

“Hamba tidak dapat memberi  istana yang besar di dunia, tapi hamba ingin mengajak cinta membangun istana untuk keluarga kita kelak di surga abadi. hamba memang tidak mungkin untuk selalu menemani cinta dimanapun cinta berada, namun hamba akan selalu menemani setiap langkah cinta dengan iringan doa yang tulus.”

“Hamba tidak mungkin dapat melukai diri hamba sendiri saat cinta terluka, namun hamba akan mengajak cinta menikmati ujian luka, dengan selalu mengingat bahwa ada saat sehat dan juga ada saat sedih.  hamba juga tidak dapat menjaga agar cinta tetap muda dan menawan, karena seperti yang sudah cinta katakan  tadi bahwa, menjadi tua adalah sebuah kepastian, karena itu, hamba akan mengajak cinta untuk menikmati kasih sayang ini dengan kedewasaan…..”

Iman menghela napas sejenak kemudian melanjutkan ,”dan yang terpenting paduka, hamba akan mengajak cinta untuk membuat sebuah keluarga yang berlandaskan pada cinta Allah,  saling mencintai karena Allah  dan berharap agar cinta kita selalu di ridhoi oleh Allah….” kata Iman mengakhiri penjelasannya.
Sebelum ayahnya sempat bertanya pada Cinta, Cinta segera berkata,“Ayah, inilah yang Cinta harapkan, inilah pemuda yang Cinta cari selama ini…..”

Sang raja dan permaisuri pun tersenyum puas…..


Minggu, 29 April 2012

I REMEMBER YOUR SMILE....


Kembali mengunjungi penjara, membuat saya  de ja vu, seperti kembali ke masa lalu. Ya, karena ayah saya dulu pernah menjadi kepala lapas, maka, lapas untuk saya tidak asing lagi. Namun, lapas atau penjara dari dulu sampai sekarang tetaplah sama.  Tetap dingin, kaku, angkuh….

Berkali-kali saya berkunjung ke penjara, tidak pernah saya temukan senyum lepas disana. Tawa lepas tanpa beban. Tidak. Berpuluh tahun yang lalu, dan saat ini, sama saja. Tidak pernah ada kebahagiaan disana. Mata-mata itu tetaplah kosong. Pandangan itu masih hampa.

Sebenarnya saya tidak ingin bersedih, tapi itulah yang terjadi. Kembali berkunjung ke penjara, apalagi penjara anak, membuat hati saya sunguh-sungguh menjerit menangis. Saya tidak tega menatap mata mereka…

Namun, kegiatan ini, tetaplah harus dijalankan. Walaupun pedih.

Pagi itu sesuai rencana, saya, kak Lisya dan kak Edas dari gerakan peduli remaja “smartteen smartlove”, tiba di penjara anak jam sembilan lebih. Disana telah menanti kak Asep dari “punk muslim”, kak Fahmi dari Universitas Indonesia dan kak Dian dari Universitas Negri Jakarta.

Hari ini kami akan menyumbangkan buku-buku Islam untuk anak-anak lapas. Alhamdulillah, selain menyumbang buku, kami diberi waktu oleh Kabid Pembinaan Lapas Anak, yaitu bapak Bagus, untuk memberikan motivasi atau berbagi cerita dengan kak Asep.

Kak Asep memang cocok dengan anak-anak lapas. Dilihat dari perjalanan kak Asep yang dulunya sempat hidup di jalan selama enam tahun, terlibat narkotika, kenakalan remaja dan sebagainya, kemudian memutuskan taubat dan pintar mengaji, tentulah menjadi pengalaman menarik bagi anak-anak lapas.

Saat berbagi cerita, sebagian besar anak-anak lapas, masih terlihat malu-malu. Dari 250-an anak, hanya dua anak saja yang berani maju ke depan. Karena itu, acara berbagi pun berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam.

Kami pun beranjak menuju perpustakaan, untuk kembali merapikan buku-buku yang kami bawa. Diluar dugaan, saat mulai meninggalkan aula, banyak anak lapas yang mengerubungi kak Asep. Begitu pula yang terjadi pada kami. Beberapa anak mendekati dan mengajak ngobrol ringan.

Alhamdulillah, keakraban mulai terjadi, kekakuan mulai cair. Perpustakaan yang tadinya sepi, kini menjadi ramai. Kami pun berpencar. Kak Fahmi konsentrasi mengawasi dan memberikan arahan pada anak-anak yang sedang menata dan mencatat buku sumbangan, kak Asep mengambil posisi di pojok perpustakaan, saya dan kak Lisya mengobrol dengan beberapa anak, kak Dian memberikan arahan pada anak-anak yang tertarik dengan kameranya dan kak Edas mengobrol ringan dengan ibu penjaga perpustakaan.

Cerita sedih pun dimulai. Seorang anak mendekati saya, sebut saja namanya Rian. Perawakannya kurus, tinggi dan berkulit kuning bersih. Akhir bulan ini ia akan bebas. Tapi ia bingung harus kemana. Ia malu jika harus kembali ke rumah. Malu dengan stempel “mantan narapidana”. Ketika saya bertanya apa kasusnya, Rian tidak menjawab, ia hanya memberikan kode. Di buku tulis yang saya bawa, Rian menulis hukumannya adalah KUHP 340 –tak lama, saya mendapat informasi bahwa KUHP 340 adalah kasus pembunuhan-

Keahlian yang dimilikinya adalah memijit. Sering Rian memijit pegawai penjara yang kelelahan. Dari memijit itu, Rian mendapat uang yang bisa dipakainya untuk sekedar jajan di koprasi penjara, ataupun ditabung sedikit untuk bekal ia diluar kelak. Saya tidak bisa menjanjikan apapun pada Rian, saya menyarankan Rian untuk menyimpan nomor telpon saya. insyaAllah akan saya carikan jalan keluarnya.

Tidak lama, Andri (nama samaran) mendekati kami. Andri sedikit lebih ceria dibandingkan teman-teman lainnya. Cocok jadi pelawak menurut saya J. Usia Andri baru 17 tahun, ia dipenjara karena kasus narkotik. Ini adalah yang kesekian kalinya ia dipenjara. Orangtuanya sudah lepas tangan dan tidak mau menjenguk Andri lagi. Namun, menurut pengakuan Andri, ia menyesal jika ingat ibunya. Kasihan ibu, begitu katanya.

Andri bercerita, bahwa ia ingin menjadi seorang ustad, ia pun minta diajarkan cara membaca Alquran yang baik. Andri memang sudah bisa membaca Alquran, tapi ia minta lebih lagi, agar seperti peserta MTQ katanya. Saya tersenyum, hati saya mulai gerimis L.

Lain lagi cerita Sami (nama samaran). Hukumannya “hanya” enam bulan. Lebih singkat dari teman-teman lainnya. Kasusnya penodongan. Sami menodong anak SMA. Sebelum menodong, terlebih dulu Sami menenggak minuman keras. Namun sial. Bukannya barang berharga yang didapatkan, tapi keroyokan massa yang menghadiahkan bgertubi-tubi pukulan pada tubuhnya.

Sama seperti Rian, bulan Mei Sami pun akan bebas. Ia bingung harus kemana. Karena ia anak yatim. Orangtuanya telah meninggal. Satu-satunya tempat adalah, lingkungannya yang dulu, dimana ia belajar menodong dan menjadi penenggak minuman keras. Saya tidak menyarankan Sami untuk kembali ke lingkungan lamanya. Pada Sami pun, saya kembali memberikan nomor telpon saya. Allah… anak-anak ini butuh bantuan, jangan biarkan mereka kembali ke jalan sesat…. Air mulai menggenang di ujung mata saya.

Seorang remaja, sejak tadi melihat saya dari kejauhan. Mungkin karena teman-temannya masih curhat pada saya, ia pun mengurungkan niatnya. Bolak balik ia jalan melewati tempat saya duduk. Tak lama ia pun menyapa saya dan meminta waktu untuk bicara berdua saja.

Ismail (nama samaran). Badannya tinggi besar. Tidak gemuk, tidak juga kurus. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung, rahangnya pun kuat. Keseluruhan, Isamil bisa saya sebut anak gagah. Umurnya 19 tahun.

Agak lama baru Ismail mau bercerita pada saya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menahan perasaannya, Ismail pun mulai bercerita.

Ismail adalah anak pertama dari lima bersaudara. Bapaknya adalah seorang yang temperamental. Berkali-kali memukul ibu dan adik-adiknya. Juga Ismail. Siang itu, bapaknya kembali marah. Dalam kemarahannya, bapaknya mengancam untuk membunuh ibunya. Ismail pun marah. Ibu dan adik-adiknya disuruh keluar rumah. Ia yang akan menyelesaikan masalah ini berdua saja dengan bapaknya.

Ismail masuk ke kamar bapaknya. Dan, perkelahian itu pun tak terelakkan. Ismail dan bapaknya saling menghunus pisau. Beberapa kali benda tajam itu menghujam tangan dan badannya. Bapak dan anak itu sama-sama gelap mata. Ismail membabi buta menusukkan pisaunya.

Bapaknya pun terkulai lemas, tubuhnya terkapar dilantai kamar bersimbah darah. Begitu pun Ismail.

Saya tidak tahan. Ingin rasanya saya meninggalkan ruangan itu dan menangis. Tapi saya tidak tega melihat mata Ismail yang mulai berkaca-kaca.

“Bunda, saya bunuh bapak saya, karena bapak saya mau bunuh ibu saya. Tapi saya menyesal bun, saya ga lari, saya pasrah. Sekarang yang saya pikirkan adalah ibu dan adik-adik saya. Bagaimana nasib mereka? karena pencari nafkah sudah meninggal. Saya juga di penjara.”

“Saya menyesal bun. Bunda, kata orang, surga anak ada di ibu, surga ibu ada di suami. Lalu, bagaimana dengan saya?”

Mulut saya terkunci. Kaku. Sementara Ismail menatap kosong ke luar pintu. Sekilas saya melihat butiran air mulai jatuh dari matanya. Ah, Ismail, rasanya saya ingin sekali mengelus pundakmu, menenangkan pikiranmu yang kalut, yang penuh dengan rasa sesal.

Agak lama kami berbicara. Saya memberi semangat padanya. Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan. Memberikan kalimat-kalimat motivasi, walau dengan suara yang parau menahan tangis. Selalu ingat Allah dan istiqomah, itu yang berulang-ulang saya katakan padanya. Akhir tahun ini, Ismail akan bebas, dan sama dengan teman lainnya, ia pun bingung harus bagaimana.

Tak lama Ismail bercerita, beberapa teman mengingatkan saya pada jam yang mulai mendekati batas waktu kami.

Keterbatasan waktu yang membuat saya dan tim smartteen harus angkat kaki. Dengan berat hati, kami pun pamit.

Rio (nama samaran) berkata,” Ah, pasti bunda ga ingat nama saya kan? Pasti bunda minggu depan ga datang lagi.” Saya tersenyum, jika Allah mengijinkan, tentulah saya dan tim smartteen akan kembali lagi kesini.

Anak-anakku, bagaimana saya bisa melupakan senyum kalian…..

insyaAllah, kami akan datang lagi kesini, menemani kalian walau hanya sejenak, menghibur kalian walau mungkin tak berbekas…..

I remember your smile

Where there is a right there is no wrong, I always thought we were so strong,
but our time just flew by,
there wasnt a chance to say goodbye.

Am so confused,
I feel all alone

Deep in my heart, 
I know Allah has called you home.

But yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down and cry.

I remember the time our friendship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart,
Most of all I remember your smile.

Some times I lie awake at night the pain in my heart,
I just cant find why did you have to go away,
Yet i know none of us can stay you will always be so special to me.

In the world you will always live as a memory,
but yea your smile still lingers in my mind, 
and yea its so hard i just break down, 
and cry I remember our freidnship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart.

Most of all I rememeber your smile..
By Zain Bikha


Selasa, 24 April 2012

Wawancara dengan Pizaro, penulis novel "The Brain Charger"

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, seorang pemuda asli Minang, yang lahir dan besar di Jakarta. Menamatkan sarjananya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Islamic Conselling. Selain menjabat sebagai redaktur eramuslim.com, Pizaro juga aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi dunia Islam. Tulisan-tulisan Pizaro tentang dunia Islam, telah tersebar di berbagai media.

Baru-baru ini, Pizaro meluncurkan novel terbarunya yang berjudul "The Brain Charger" (TBC). Novel ini berangkat dari kegelisahan Pizaro pada pemikiran liberal yang berkembang pesat di masyarakat. Selain itu juga, sebagai bentuk tanggung jawab Pizaro pada almamaternya. Menurutnya, pemahaman liberal saat ini sudah menyebar luas dan sistematis.

Berikut wawancara dengan Pizaro, tentang novel terbarunya ;

Novel terbaru ustad, apa latar belakangnya?

Jadi novel ini sebenarnya berangkat dari kegelisahan saya melihat liberalisme yang terjadi di banyak kampus Islam. Saya sendiri adalah alumnus salah satu kampus Islam yang melihat liberalisme yang terjadi sudah pada tahapan sistemik. Dari mulai rektor, dosen, mahasiswa semuanya terjebak pada pemahaman liberalisme yang banyak merugikan Islam itu sendiri dan masyarakat kampus pada umumnya. 

Dari situlah saya berangkat untuk menulis kisah fiksi yang semula berawal dari sebuah cerpen dan novelet yang saya buat mengenai seorang mahasiswi cerdas, cantik, tapi neurosis dan tidak bahagia. Hal itu terjadi karena ia salah mendudukkan ilmu.  

Respon dari cerpen dan novelet itu cukup banyak. Bahkan beberapa Ustadz yang concern melawan liberalisme meminta saya meneruskan kisah ini menjadi novel. Akhirnya saya mulai menulis Novel The Brain Charger (TBC). Prosesnya juga tidak mudah saya melakukan riset dan kembali membuka beberapa buku kuliah yang menjadi pegangan waktu itu. Karena saya ingin novel ini berbeda dan memiliki mutu tidak kalah dari novel liberal.


          Tujuannya apa?
Selama beberapa bulan, saya pernah bergelut menjadi konselor di sebuah Rumah Sakit jiwa di Jakarta. Disitu saya menangani beberapa saudara-saudara kita yang menderita skizofrenia, neurosis, dan fobia. Tidak sedikit pasien mengalami sekat traumatis mendalam akibat masa lalunya. 

Sebagai seorang mahasiswa idealis, saya berangkat dengan menerapkan ilmu Psikologi Barat yang sebelumnya saya pelajari bahkan geluti. Hasilnya ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Metodelogi Barat yang saya pakai ternyata tidak banyak merubah pasien menjadi lebih baik. 

Menariknya ketika saya memakai metode Islam dengan hal-hal yang sederhana seperti taddabur Qur’an, Shalat Dhuha, dan dzikir kepada Allah ternyata perkembangan psikologis pasien beranjak kepada peningkatan posisitif.

Jadi jika ditanya apa tujuan dibalik penulisan TBC, maka jawabannya adalah      penyadaran. Menyadarkan bahwa Islam memiliki konsep tersendiri dalam mewujudkan kebahagiaan. Karena Islam tidak memisahkan Ilmu dengan Iman.
          
Mengapa memilih tema yang "kurang populer", mengapa tidak memilih tema percintaan misalnya?

Saya ingat sekali dalam menulis, ada sebuah diktum yang berbunyi: Tulislah apa yang memang kamu ingin tulis. Jadi ketika kita bingung ingin menulis, maka mulailah dengan menulis tema yang memang kita senangi dan kuasai.

Sasaran usia pembaca, kira2 untuk kisaran umur berapa?

Ada kisah menarik saat pergelaran Islamic Book Fair yang baru-baru ini berlangsung di Jakarta. Ketika itu, penjaga stand sempat bilang kepada saya bahwa novel saya banyak diminati siswa SMA. Padahal segmentasi novel ini lebih saya tujukan untuk kalangan kampus. Dari situ saya berkesimpulan novel ini bisa dibaca siapa saja mulai remaja hingga dewasa.

Sampai saat ini, sejauh mana tanggapan masyarakat ?

Alhamdulillah responnya cukup baik. Saya kerap mendapatkan pesan berupa sms, inbox FB, chat yang mengapresiasi novel ini. Mereka beranggapan novel ini mewakili kegelisahan mereka juga terhadap fenomena liberalisme ditambah adegan novel ini yang dibumbui setting thriller dan kebanggaan terhadap peradaban Islam hingga pembaca tidak bosan. Mereka ingin TBC difilmkan, saya hanya menyerahkan kepada Allah saja bagaimana baiknya. Novel ini terbit saja, saya sudah bersyukur.

Penjualan di Islamic Book Fair juga alhamdulillah. Bahkan menjadi novel paling laris di penerbit. Saya juga cukup surprise, karena novel ini belum sempat dilaunching di masyarakat.

Isi ceritanya sendiri sebenarnya bagaimana?

Secara garis besar, Novel TBC mengisahkan pergulatan seorang perempuan yang sempurna dalam berbagai hal namun memiliki satu kekurangan yang bisa meruntuhkan semua kelebihannya, yakni ingkar terhadap Tuhan. Uniknya, ia menganggap bentuk pemisahan diri terhadap Tuhan adalah jalan meraih kebahagiaan. Cara berfikir seperti ini tentu menjadi kontroversi di sebuah kampus yang menjunjung agama sebagai nilai tertinggi. Ia kemudian berhadapan dengan seorang pemuda yang memang sudah meniatkan diri untuk mengangkat kejayaan ilmu-ilmu Islam. Mereka akhirnya bertemu di satu kelas. Si perempuan ini menjadi dosennya, dan pemuda itu adalah mahasiswanya.

Ada berapa tokoh dalam novel ini dan bagaimana peran mereka masing-masing?

Tokoh utamanya ada tiga. Pertama adalah tokoh antagonis bernama Annisatu Lexa Meteorika. Dia mahasiswi cerdas, cantik, dan hebat. Baru semester 7 sudah menjadi asisten dosen dan mahasiswa terbaik dua tahun berturut-turut. Sayangnya, dia tidak percaya Tuhan. Baginya Tuhan adalah ilusi. Seperti perkataan Sigmund Freud dan Ludwig Feurbach, Tuhan hanyalah hasil imajinasi manusia. Sayangnya dengan pemahaman seperti itu, Annisa berharap bisa hidup bahagia, namun kenyataannya adalah ia tetap tidak bisa keluar dari ujian neurosis yang melandanya.

Kedua tokoh protagonis beranama Muhammad Rizki Ramadhan. Rizki lebih mewakili tipikal mahasiswa yang hanif tapi gila ilmu. Kemiskinan tidak membuatnya pantang surut meraih impian untuk mengangkat kejayaan ilmu-ilmu Islam. Sebagai pemuda desa, Rizki tidak silau melihat peradaban Barat. Karena ia sadar dibalik kemajuannya, Barat sangatlah rapuh. Rizki inilah yang nanti banyak bersentuhan dalam debat-debat bersama sang dosennya yang tidak lain adalah Annisa.

Ketiga, seorang mahasiswi bernama Arisiska Lenila Wahid. Tokoh terakhir juga protagonist yang memiliki pemahaman kajian perbandingan agama yang cukup mendalam. Ia meneliti berbagai kode mutilasi yang menyimpan sekat agama-agama kuno dalam sebuah kasus pembunuhan di kampusnya. Arisiska inilah yang membantu Rizki dalam memecahkan kasus-kasus kejiwaan. Kasus kejiwaan yang lahir dalam penghayatan terhadap pengkajian atheisme di sebuah perguruan tinggi. Selebihnya ada juga tokoh-tokoh pendukung seperti Farel, Arif, Poltak, yang ketiganya memiliki cita-cita membangun peradaban Islam.

Tema besarnya apa?

Tema besarnya sebenarnya Psikologi. Tapi psikologi saya jadikan kasus untuk membicarakan wacana kritik terhadap liberalisme dan atheisme.

Akankah novel ini ada triloginya?

Banyak yang bilang ke saya, “Kenapa novelnya tipis?” Jujur saja, masyarakat Indonesia belum biasa membaca novel yang terlalu berat dan panjang. Karena itu saya buat novel ini singkat, padat, dan jelas. Dengan alur thriller yang membuat pembaca nyaman menikmatinya. Rata-rata-rata pembaca menghabiskan novel saya dalam sehari. Saya sempat surprise. Dari situ tidak sedikit pembaca minta dibuat kelanjutannya. Tapi TBC memang saya buat habis saat itu saja. Mungkin saya akan membuat novel kembali namun dengan judul yang berbeda.

Sebagai seorang wartawan, menurut ustad, apakah novel ini sedikit banyak terpengaruh oleh pengalaman ustad di lapangan?

Tidak, karena proses membuat novel ini saya mulai sebelum menjadi wartawan. Akan tetapi gaya menulis yang baik memang banyak saya dapati ketika menjadi wartawan. Itu membantu saya untuk membuat tulisan yang enak dibaca.

Mengapa ustad memilih menulis novel, ketimbang menulis buku kajian, tentang liberal misalnya?

Saya ingat sekali Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam launching INSISTS ke 9 bilang bahwa jalur melawan penulisan liberalisme pemikran Islam bisa ditempuh dalam dua cara. Pertama non fiksi, kedua fiksi. Saya merasa yang kedua ini masih jarang digeluti. Padahal novel-novel Liberal menjamur dimana-dimana, katakanlah Perempuan Berkalung Sorban atau Pelangi Melbourne.

Kemudian, saya memang orang yang suka menulis genre fiksi, baik itu cerpen maupun novelet. Jiwa sastra saya betul-betul tertantang disitu.Dengan menulis novel kita dapat menyalurkan ide-ide dalam bentuk sastra yang enak dibaca dan ditulis serta bermanfaat bagi orang lain.




Jumat, 20 April 2012

"BETMEN", KEPEDULIAN MENEMBUS BATAS


Malam itu watsap grup betmen tidak terlalu ramai. Hanya beberapa orang saja yang ‘berkicau’. Sesekali saya melihat komen-komen di watsap betmen, dengan tersenyum. Candaan malam yang membuat bibir tersungging J

Saat membaca watsap teman-teman itulah, abah, kepala suku betmen, berkicau, keponakan bu Rieza (salah seorang anggota betmen) hilang diculik pembantu. Mata saya langsung membelalak. Tanpa menunggu waktu lama, kicauan betmen langsung ramai. Beberapa teman yang tadinya ga nimbrung pun muncul. Semua berkomentar.

Dalam hitungan menit, foto dua gadis cilik yang hilang pun muncul di watsap. Semua anggota betmen merasa iba. Tanpa menunggu lama, foto itu segera  muncul di jejaring social facebook. Seperti juga tanggapan yang muncul di grup watsap,  tanggapan yang serupa juga terjadi di foto facebook.

Malam itu, yang tadinya sepi, berubah menjadi sangat ramai. Teman-teman di facebook bergerak cepat membagikan foto itu ke teman lainnya. Begitu juga teman-teman yang mempunyai jaringan di jalanan sekitar rumah dua gadis cilik itu pun segera terhubung. Beberapa teman juga membagikan foto itu di jejaring social twitter. Dan semua itu hanya terjadi dalam hitungan menit. Semua serempak bergerak, tanpa bertemu langsung.

Semua saling memantau, saling memberi kabar. Cepatnya informasi di facebook, juga diimbangi twitter. Teman lainnya sengaja “mention” beberapa akun yang mempunyai banyak pengikut. Alhamdulillah, begitu banyak yang menanggapi, juga berbagi berita.

Keramaian itu pun agak mereda menjelang pukul dua belas malam. Beberapa teman yang hendak tidur saling mendoakan agar kedua gadis cilik itu dapat segera ditemukan. Mungkin saja, dalam tidurnya mereka masih memikirkan tentang penculikan itu. Dan berdoa, agar tidak terjadi apapun pada kedua gadis itu.

Pagi sekali, bu Rieza memberi kabar gembira bahwa kedua keponakannya telah ditemukan. Bu Rieza pun bercerita tentang kronologi penculikan. Semua teman diam menyimak. Setelah cerita selesai, segera saja muncul komentar-komentar kegeraman. Banyak yang mengecam pembantu, dan juga bersyukur kedua gadis itu telah ditemukan. Kicauan harapan dan doa pun  segera ramai. Berharap agar kejadian ini tak terulang lagi, juga berdoa agar Allah selalu menjaga mereka.

Alhamdulillah…. Subhanallah…. Puji syukur hanya pada Allah. Semua teman dan saya, sangat lega. Beberapa teman segera membagikan kabar gembira itu di facebook dan twitter.

Subhanallah…. Allah swt telah memberikan pelajaran luar biasa. Betapa ikatan kepedulian, dapat menembus batas ruang dan waktu.

Watsap grup betmen sendiri adalah grup yang terdiri dari teman-teman alumni SMA saya dulu. Dinamakan betmen, karena betmen identik dengan kelelawar yang malam harinya "melek" dan siang hari tidur. Hal ini sama dengan beberapa anggota grup yang mempunyai kebiasaan "begadang" :). 

Banyak info yang telah disebar dari sana. Banyak juga doa yang telah dibagikan dari grup ini. Ketika seorang teman sakit, anggota betmen segera saling mendoakan. Ketika seorang teman sedang merasa ‘galau’, teman lain segera menghibur. Semua kepedulian itu muncul dari obrolan-obrolan ringan. Padahal, jarang sekali ada waktu yang dapat mengumpulkan semua anggota grup untuk bertemu di ‘dunia nyata’ J. Masing-masing anggota mempunyai kesibukan sendiri, namun hal itu tidak membuat rasa peduli menjadi luntur.

Dalam Alquran surat Al-maidah : 2, Allah swt berkata,”…..wata’aawanu ‘alalbirri….” Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan.

Dalam hadits, Rasulullah saw pun berkata ,”Barangsiapa yang ingin selalu diingat orang dan diluaskan rezekinya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatannya (dengan silaturahim)”. HR Bukhari dan Muslim, hadits dengan tambahan disisi Ahmad dan al-Hakim dengan sanad jayyid.

Tolong menolong dan silaturahim di “dunia watsap” ternyata dapat merekatkan tali kekerabatan antara sesama muslim. Sejak pagi hingga malam, ucapan salam dan doa selalu mewarnai watsap betmen. Walaupun masing-masing anggota tinggal berjauhan dan mempunyai kesibukan yang berbeda, namun rasa peduli itu tetap ada dan terjaga.

Alhamdulillah…. Terima kasih teman, kalian sudah berbagi hikmah yang luar biasa….

Salam peduli betmen.

Salam satu jari J


Rabu, 18 April 2012

Dan, menulislah.....

Kartini, dikenal banyak orang karena menulis....

Asma Nadia, mendapat predikat Tokoh Perubahan 2012 dari harian Republika, karena menulis....

Helvy Tiana Rosa, menjadi salah satu dari 500 tokoh muslim berpengaruh di dunia, karena menulis....

Pikiran, pebuatan, tingkahlaku, kata-kata, dapat terpengaruh, karena membaca tulisan....

Karena itulah Allah swt pun memerintahkan pada kita semua, untuk membaca, membaca apa yang dituliskan. Karena dengan membaca, maka akan terbukalah wawasan kita, berubahlah pola pikir kita, bertambah pula lah ilmu pengetahuan kita....

Bagi sebagian orang, dengan menulis, dapat mengurangi tekanan jiwa yang tengah dialaminya.

Bagi sebagian orang lagi, dengan menulis, dapat menambah pundi-pundi kekayaannya.

Bagi sebagian orang lainnya, dengan menulis, maka dapat mempengaruhi pikiran orang untuk menjadi lebih baik di hadapan Allah swt dan manusia.

Apapun alasannya, menulislah.....

“Sesuatu yang hebat  berawal dari sesutu yang sederhana, dan sesuatu yang

 sederhana bisa menyimpan sebuah daya tarik yang luar biasa mengalahkan 

sebuah kehebatan”.



Selasa, 17 April 2012

CINTA TAK TERBATAS, TAK TERBALAS.....


Siang itu, suasana yang biasanya ceria, berubah menjadi sedih. Satu persatu ibu yang hadir, mulai meneteskan air mata. Ibu Lia (nama samaran), menyeka air yang menggenangi matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan kisahnya yang terputus.

“Jadi, saya ini posisi sulit bu. Satu sisi, ibu kandung saya selalu meminta uang untuk menutupi hutang-hutang kakak saya. Dan di sisi lain, suami saya, yang sudah cape untuk terus membantu ekonomi keluarga saya. Suami memang ga pernah menolak langsung di depan ibu saya. Tapi begitu ibu saya pulang, saya yang diomelin suami.”

Ruangan sepi. Tidak ada yang berkomentar. Semua menunggu kelanjutan cerita ibu Lia. Ibu Lia kembali menyeka air matanya.

“Kejadian yang kemarin itu mungkin sudah puncaknya bagi suami saya. Sudah dua hari ini saya ga di tegur sama suami. Saya siapkan sarapannya, tidak pernah dimakan. Begitupun makan malam. Tapi kalau suami di kantor, saya tetap sms untuk sekedar mengingatkan makan siang atau shalat.”

Sikap diam suami ibu Lia, disebabkan melayangnya kalung emas yang dibelikan suaminya, ke tangan ibu kandung ibu Lia. Karena biasanya, barang-barang berharga yang dipinjam, tak pernah kembali.

Lain lagi kisah ibu Dini (nama samaran). Sudah tiga tahun ini, suami ibu Dini tidak mau menengok ibunya di kampung. Sikap ini diambil suami ibu Dini, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu dan saudara-saudara lainnya. Saat ibunya sakit, suami ibu Dini hanya mengirimkan uang. Saat ibunya menangis rindu dengan anak dan cucunya, suami ibu Dini diam seribu bahasa.

“Sebenarnya semua itu bukan tanpa alasan bu. Suami saya kapok dengan sikap ibu dan saudara-saudaranya. Waktu saya hampir keguguran dan bedrest di rumah sakit, ibu dan saudara-saudara suami satupun ga ada yang datang jenguk. Jangankan jenguk, telpon atau sms pun ga.” Cerita ibu Dini.

“Selain itu bu, suami saya merasa, kok ada perbedaan sikap, dari ibu ke suami, dengan dari ibu ke saudara yang lain. Pernah satu kali, adik suami saya telpon, katanya ibu sakit parah, ga bisa ngapa-ngapin lagi. Cuma baringan di tempat tidur. Ternyata waktu kita datang ke sana, ibu sehat, hanya magh nya kambuh. Sedangkan saya waktu itu magh kronis, terpaksa saya tahan agar tetap bisa jenguk ibu.” Ibu Dini menghela nafas.

“Itu juga kejadiannya sering bu. Bukan sekali dua kali. Pernah suami saya lagi rapat penting dengan direktur perusahaan. Ibunya telpon harus pulang saat itu juga. Karena sakit keras, takutnya nanti ga bisa ketemu lagi. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, suami saya minta ijin ke kantor. Seperti biasa bu, sampai di kampung, ibu sehat walafiat. Hanya pusing saja. Akhirnya suami saya bilang, kalau mau minta uang, jangan begini caranya.” Ibu Dini mengakhiri ceritanya sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Allah….. tak sadar, sudut-sudut mata saya menggenang. Teringat ibu di rumah, dengan rambutnya yang telah memutih, jalannya yang tak lagi tegak, namun masih tetap berusaha menyiapkan makanan untuk saya dan keluarga. Setiap hari, tak henti saya melarang agar ibu tidak perlu menyiapkan makanan ataupun minuman. Namun, semakin dilarang, semakin ibu berkeras untuk melakukannya.

Sungguh, saya malu, sangat malu…. Ibu dan ayah, orangtua kita, apapun yang mereka lakukan, tentulah untuk melindungi kita anak-anaknya. Untuk kebaikan kita. Orangtua yang baik, tentulah akan memberikan yang terbaik pula pada anak-anaknya.

Dalam Alquran surat Luqman, Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orangtua, ibu yang sudah mengandung kita selama sembilan bulan. Bahkan, dalam sebuah hadits, kedudukan orangtua lebih tinggi dari pada jihad di jalan Allah.

Jika kita kembali ke masa kecil. Akan jelas diingatan kita, betapa kesabaran orangtua pada kita, tanpa batas. Kenakalan apapun yang kita lakukan, orangtua kita tetap bersabar, tetap menerima kita apa adanya. Bagaimana saat kita sakit dulu? Apa yang orangtua kita lakukan?..... aahh…jujur saya tidak menahan air mata.

Saya selalu teringat cerita alhmarhum ayah. Ketika kecil, saya pernah sakit panas yang sangat tinggi. Keterbatasan biaya dan kendaraan, menyebabkan ayah menunda membawa saya ke rumah sakit. Dan apa yang dilakukan ayah saya? Beliau bertelanjang dada dan mendekap erat tubuh kecil saya. Ayah saya berharap, jika ia melakukan hal itu, maka, panas badan saya akan turun.

Bagaimana dengan ibu? Apakah keberadaan kita selama sembilan bulan di perut ibu masih kurang cukup untuk setidaknya berkata baik padanya, memberikan senyum tulus, atau mendengar ceritanya yang selalu diulang-ulang?

Setitik kesalahan yang orangtua kita lakukan, seringkali membuat emosi kita naik turun berhari-hari. Namun segunung kesalahan yang kita perbuat dari kecil hingga saat ini, tak membuat kasih sayang mereka surut.

Allah…. Saya teringat kisah seorang yang bertanya pada sahabat Rasulullah saw, ia  menggendong ibunya mengelilingi Ka’bah berkali-kali, kemudian bertanya, apakah yang ia lakukan dapat membalas apa yang telah ibunya lakukan selama ini? Sahabat Rasulullah saw pun menjawab, Tidak. Sama sekali tak terbalas.

Cinta orangtua pada kita, tak terbatas, tak terbalas. Bagaimana cinta kita pada mereka??....




Selasa, 03 April 2012

EMPATI YANG HILANG


Mikrolet M29
Mayasari 45
Metromini 77

Ketiga angkutan itulah yang akan mengiringi langkah saya dari rumah menuju kampus, hari ini. Berangkat pukul 11.00 WIB menuju kampus dikawasan Bangka Jakarta Selatan, semoga jalanan lancar dan cuaca tidak terlalu panas.

Saya menanti kendaraan pertama yang akan membawa saya ke daerah Cawang atas, yaitu M-29. Agak lama menunggu, Alhamdulillah, M-29 datang juga. Sebelum naik, sekilas, angkutan tampak penuh oleh anak-anak lelaki usia SMP. Dari penampilannya, terlihat mereka seperti habis berenang. Saya pun naik dan mencari tempat duduk dekat jendela yang terbuka. Melihat saya naik, tak satupun dari anak-anak lelaki itu bergeser untuk memberikan tempat duduk. Mereka asyik bercanda dan mengobrol. Akhirnya, setengah memaksa, saya menggeser salah satu anak lelaki yang duduk dibarisan kiri. Alhamdulillah.

Saya memperhatikan anak-anak itu. Kapasitas mikrolet, biasanya cukup untuk sepuluh orang, dengan komposisi enam empat. Bisa ditambah dua orang lagi, dengan bangku tambahan di dekat pintu. Saya lihat, sebenarnya, tempat duduk itu masih sangat luas. Tapi mengapa anak-anak itu enggan bergeser, memberikan tempat duduk untuk saya? Tanya saya dalam hati. Hmm… anak-anak ini, seandainya yang naik ibunya atau neneknya, apakah mereka juga bersikap tidak peduli?

Tidak lama kemudian, naiklah seorang ibu dengan anak perempuan berusia sekitar empat tahun. Dan, lagi-lagi, rombongan anak lelaki itu, tidak mau bergeser. Mereka tetap tidak peduli. Mungkin karena kasihan, bapak sopir pun meminta anak-anak lelaki untuk memberi tempat duduk. Mereka pun bergeser sedikit, tetap dengan sikap yang cuek bebek. Heeehh…

Mobil pun melanjutkan perjalanan menyusuri Kalimalang, menuju Cawang. Di Curug, mobil berhenti. Seorang ibu paru baya naik, dan masih seperti tadi, anak-anak lelaki itu tetap cuek. Sekali lagi, bapak sopir pun mengingatkan mereka, dan lagi-lagi mereka bergeser, namun masih tetap dengan sikap acuh. Saya bertemu pandang dengan ibu paru baya, tak sengaja, kami pun tersenyum samar. Senyum prihatin dengan sikap tidak peduli dari anak-anak sekarang.

Tiba di Cawang, saya pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan Mayasari 45. Siang itu, bis agak kosong, jadi lebih leluasa memilih tempat duduk. Saya duduk agak ke belakang, agar nyaman membaca buku dan tidak terganggu dengan para pedagang yang sering meletakkan dagangannya di pangkuan penumpang.

Setelah menunggu agak lama, bis pun mulai penuh. Kursi-kursi terisi. Tepat di depan gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), bis berhenti. Seorang ibu dengan dua orang anak perempuan berusia dua dan tiga tahun pun naik. Ibu itu agak kelimpungan memegang kedua anaknya yang masih kecil. Belum lagi semua tempat duduk sudah terisi penuh. Saat bis berjalan, seorang anaknya pun jatuh. Seorang bapak langsung membantu menolong. Tak jauh dari tempat ibu itu berdiri, enam orang remaja perempuan asyik mengobrol dan bercanda. Mereka saling melempar kata-kata. Sama sekali tak peduli dengan posisi ibu dengan dua orang anaknya yang mulai “terombang-ambing” bis. Saat bis berjalan, salah seorang anaknya pun reflek mundur, saat bis berhenti, anak-anaknya pun maju. Sementara, ibunya sibuk mempertahankan posisi berdirinya agar tetap stabil. subhanallah…. Remaja-remaja itu… tidakkah mereka kasihan dengan pemandangan itu?

Suasana bis yang agak penuh dan posisi saya yang agak dibelakang, tidak memungkinkan untuk memberikan tempat duduk untuk ibu dan anak-anaknya. Dari kejauhan saya melihat ibu itu mulai kewalahan mengawasi kedua anaknya dan mempertahankan posisinya berdirinya agar tetap stabil. Alhamdulillah, seorang bapak tua, memberikan tempat duduk untuk ibu itu.

Saya menghela nafas. Lega.

Turun dari bis Mayasari, saya kemudian menanti Metromini 77. Angkutan ini, memang terkenal ugal-ugalan, namun ,tetap dibutuhkan dan digunakan oleh sebagian besar penduduk ibukota. Selain karena tarifnya yang murah, juga karena jalurnya yang masih bisa menembus hingga ke perumahan penduduk.

Cukup lama saya menanti, Alhamdulillah, metromini 77 sudah terlihat. Segera saya naik. Jam saya kuliah, adalah jam pulangnya anak-anak sekolahan. Ga heran, jika metromini ini selalu dipenuhi anak-anak berseragam. Lagi-lagi, saya mengalami hal yang bikin hati sedih. Seorang ibu hamil, harus tetap berdiri bersama saya, sementara segerombolan anak-anak berseragam abu-abu, duduk dengan santai, bercanda sambil memainkan gadget mereka. Mereka sama sekali tidak peduli dengan orang-orang tua yang berdiri di sekeliling mereka.

Tiba di jalan Bangka dua, saya pun turun. Sekilas, saya melepas senyum pada ibu yang tengah hamil tua. Sekedar ingin mengatakan “sabar dan hati-hati ya bu”. Ibu itu pun membalas senyum saya.

Ya Allah, saya berharap, semoga generasi muda yang saya temui sepanjang perjalanan dari rumah menuju kampus, bukan menggambarkan sikap kebanyakan dari mereka. Mudah-mudahan generasi muda yang saya temui itu, hanya sebagian kecil. Semoga diluar sana, masih banyak generasi muda yang peduli dengan lingkungan sekitarnya dan kejadian di sekelilingnya.