Siang itu, suasana yang biasanya ceria, berubah menjadi sedih. Satu
persatu ibu yang hadir, mulai meneteskan air mata. Ibu Lia (nama samaran),
menyeka air yang menggenangi matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan
kisahnya yang terputus.
“Jadi, saya ini posisi sulit bu. Satu sisi, ibu kandung saya selalu
meminta uang untuk menutupi hutang-hutang kakak saya. Dan di sisi lain, suami
saya, yang sudah cape untuk terus membantu ekonomi keluarga saya. Suami memang
ga pernah menolak langsung di depan ibu saya. Tapi begitu ibu saya pulang, saya
yang diomelin suami.”
Ruangan sepi. Tidak ada yang berkomentar. Semua menunggu kelanjutan
cerita ibu Lia. Ibu Lia kembali menyeka air matanya.
“Kejadian yang kemarin itu mungkin sudah puncaknya bagi suami saya.
Sudah dua hari ini saya ga di tegur sama suami. Saya siapkan sarapannya, tidak
pernah dimakan. Begitupun makan malam. Tapi kalau suami di kantor, saya tetap
sms untuk sekedar mengingatkan makan siang atau shalat.”
Sikap diam suami ibu Lia, disebabkan melayangnya kalung emas yang
dibelikan suaminya, ke tangan ibu kandung ibu Lia. Karena biasanya,
barang-barang berharga yang dipinjam, tak pernah kembali.
Lain lagi kisah ibu Dini (nama samaran). Sudah tiga tahun ini, suami
ibu Dini tidak mau menengok ibunya di kampung. Sikap ini diambil suami ibu
Dini, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu dan saudara-saudara
lainnya. Saat ibunya sakit, suami ibu Dini hanya mengirimkan uang. Saat ibunya
menangis rindu dengan anak dan cucunya, suami ibu Dini diam seribu bahasa.
“Sebenarnya semua itu bukan tanpa alasan bu. Suami saya kapok dengan
sikap ibu dan saudara-saudaranya. Waktu saya hampir keguguran dan bedrest di
rumah sakit, ibu dan saudara-saudara suami satupun ga ada yang datang jenguk. Jangankan
jenguk, telpon atau sms pun ga.” Cerita ibu Dini.
“Selain itu bu, suami saya merasa, kok ada perbedaan sikap, dari ibu
ke suami, dengan dari ibu ke saudara yang lain. Pernah satu kali, adik suami
saya telpon, katanya ibu sakit parah, ga bisa ngapa-ngapin lagi. Cuma baringan
di tempat tidur. Ternyata waktu kita datang ke sana, ibu sehat, hanya magh nya
kambuh. Sedangkan saya waktu itu magh kronis, terpaksa saya tahan agar tetap
bisa jenguk ibu.” Ibu Dini menghela nafas.
“Itu juga kejadiannya sering bu. Bukan sekali dua kali. Pernah suami
saya lagi rapat penting dengan direktur perusahaan. Ibunya telpon harus pulang
saat itu juga. Karena sakit keras, takutnya nanti ga bisa ketemu lagi. Akhirnya,
dengan sangat terpaksa, suami saya minta ijin ke kantor. Seperti biasa bu,
sampai di kampung, ibu sehat walafiat. Hanya pusing saja. Akhirnya suami saya
bilang, kalau mau minta uang, jangan begini caranya.” Ibu Dini mengakhiri
ceritanya sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.
Allah….. tak sadar, sudut-sudut mata saya menggenang. Teringat ibu
di rumah, dengan rambutnya yang telah memutih, jalannya yang tak lagi tegak,
namun masih tetap berusaha menyiapkan makanan untuk saya dan keluarga. Setiap hari,
tak henti saya melarang agar ibu tidak perlu menyiapkan makanan ataupun
minuman. Namun, semakin dilarang, semakin ibu berkeras untuk melakukannya.
Sungguh, saya malu, sangat malu…. Ibu dan ayah, orangtua kita,
apapun yang mereka lakukan, tentulah untuk melindungi kita anak-anaknya. Untuk kebaikan
kita. Orangtua yang baik, tentulah akan memberikan yang terbaik pula pada
anak-anaknya.
Dalam Alquran surat Luqman, Allah memerintahkan untuk berbuat baik
pada kedua orangtua, ibu yang sudah mengandung kita selama sembilan bulan. Bahkan,
dalam sebuah hadits, kedudukan orangtua lebih tinggi dari pada jihad di jalan
Allah.
Jika kita kembali ke masa kecil. Akan jelas diingatan kita, betapa
kesabaran orangtua pada kita, tanpa batas. Kenakalan apapun yang kita lakukan,
orangtua kita tetap bersabar, tetap menerima kita apa adanya. Bagaimana saat
kita sakit dulu? Apa yang orangtua kita lakukan?..... aahh…jujur saya tidak
menahan air mata.
Saya selalu teringat cerita alhmarhum ayah. Ketika kecil, saya
pernah sakit panas yang sangat tinggi. Keterbatasan biaya dan kendaraan,
menyebabkan ayah menunda membawa saya ke rumah sakit. Dan apa yang dilakukan
ayah saya? Beliau bertelanjang dada dan mendekap erat tubuh kecil saya. Ayah saya
berharap, jika ia melakukan hal itu, maka, panas badan saya akan turun.
Bagaimana dengan ibu? Apakah keberadaan kita selama sembilan bulan
di perut ibu masih kurang cukup untuk setidaknya berkata baik padanya, memberikan
senyum tulus, atau mendengar ceritanya yang selalu diulang-ulang?
Setitik kesalahan yang orangtua kita lakukan, seringkali membuat
emosi kita naik turun berhari-hari. Namun segunung kesalahan yang kita perbuat
dari kecil hingga saat ini, tak membuat kasih sayang mereka surut.
Allah…. Saya teringat kisah seorang yang bertanya pada sahabat
Rasulullah saw, ia menggendong ibunya
mengelilingi Ka’bah berkali-kali, kemudian bertanya, apakah yang ia lakukan
dapat membalas apa yang telah ibunya lakukan selama ini? Sahabat Rasulullah saw pun
menjawab, Tidak. Sama sekali tak terbalas.
Cinta orangtua pada kita, tak terbatas, tak terbalas. Bagaimana cinta
kita pada mereka??....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar