Selasa, 17 April 2012

CINTA TAK TERBATAS, TAK TERBALAS.....


Siang itu, suasana yang biasanya ceria, berubah menjadi sedih. Satu persatu ibu yang hadir, mulai meneteskan air mata. Ibu Lia (nama samaran), menyeka air yang menggenangi matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan kisahnya yang terputus.

“Jadi, saya ini posisi sulit bu. Satu sisi, ibu kandung saya selalu meminta uang untuk menutupi hutang-hutang kakak saya. Dan di sisi lain, suami saya, yang sudah cape untuk terus membantu ekonomi keluarga saya. Suami memang ga pernah menolak langsung di depan ibu saya. Tapi begitu ibu saya pulang, saya yang diomelin suami.”

Ruangan sepi. Tidak ada yang berkomentar. Semua menunggu kelanjutan cerita ibu Lia. Ibu Lia kembali menyeka air matanya.

“Kejadian yang kemarin itu mungkin sudah puncaknya bagi suami saya. Sudah dua hari ini saya ga di tegur sama suami. Saya siapkan sarapannya, tidak pernah dimakan. Begitupun makan malam. Tapi kalau suami di kantor, saya tetap sms untuk sekedar mengingatkan makan siang atau shalat.”

Sikap diam suami ibu Lia, disebabkan melayangnya kalung emas yang dibelikan suaminya, ke tangan ibu kandung ibu Lia. Karena biasanya, barang-barang berharga yang dipinjam, tak pernah kembali.

Lain lagi kisah ibu Dini (nama samaran). Sudah tiga tahun ini, suami ibu Dini tidak mau menengok ibunya di kampung. Sikap ini diambil suami ibu Dini, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu dan saudara-saudara lainnya. Saat ibunya sakit, suami ibu Dini hanya mengirimkan uang. Saat ibunya menangis rindu dengan anak dan cucunya, suami ibu Dini diam seribu bahasa.

“Sebenarnya semua itu bukan tanpa alasan bu. Suami saya kapok dengan sikap ibu dan saudara-saudaranya. Waktu saya hampir keguguran dan bedrest di rumah sakit, ibu dan saudara-saudara suami satupun ga ada yang datang jenguk. Jangankan jenguk, telpon atau sms pun ga.” Cerita ibu Dini.

“Selain itu bu, suami saya merasa, kok ada perbedaan sikap, dari ibu ke suami, dengan dari ibu ke saudara yang lain. Pernah satu kali, adik suami saya telpon, katanya ibu sakit parah, ga bisa ngapa-ngapin lagi. Cuma baringan di tempat tidur. Ternyata waktu kita datang ke sana, ibu sehat, hanya magh nya kambuh. Sedangkan saya waktu itu magh kronis, terpaksa saya tahan agar tetap bisa jenguk ibu.” Ibu Dini menghela nafas.

“Itu juga kejadiannya sering bu. Bukan sekali dua kali. Pernah suami saya lagi rapat penting dengan direktur perusahaan. Ibunya telpon harus pulang saat itu juga. Karena sakit keras, takutnya nanti ga bisa ketemu lagi. Akhirnya, dengan sangat terpaksa, suami saya minta ijin ke kantor. Seperti biasa bu, sampai di kampung, ibu sehat walafiat. Hanya pusing saja. Akhirnya suami saya bilang, kalau mau minta uang, jangan begini caranya.” Ibu Dini mengakhiri ceritanya sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya.

Allah….. tak sadar, sudut-sudut mata saya menggenang. Teringat ibu di rumah, dengan rambutnya yang telah memutih, jalannya yang tak lagi tegak, namun masih tetap berusaha menyiapkan makanan untuk saya dan keluarga. Setiap hari, tak henti saya melarang agar ibu tidak perlu menyiapkan makanan ataupun minuman. Namun, semakin dilarang, semakin ibu berkeras untuk melakukannya.

Sungguh, saya malu, sangat malu…. Ibu dan ayah, orangtua kita, apapun yang mereka lakukan, tentulah untuk melindungi kita anak-anaknya. Untuk kebaikan kita. Orangtua yang baik, tentulah akan memberikan yang terbaik pula pada anak-anaknya.

Dalam Alquran surat Luqman, Allah memerintahkan untuk berbuat baik pada kedua orangtua, ibu yang sudah mengandung kita selama sembilan bulan. Bahkan, dalam sebuah hadits, kedudukan orangtua lebih tinggi dari pada jihad di jalan Allah.

Jika kita kembali ke masa kecil. Akan jelas diingatan kita, betapa kesabaran orangtua pada kita, tanpa batas. Kenakalan apapun yang kita lakukan, orangtua kita tetap bersabar, tetap menerima kita apa adanya. Bagaimana saat kita sakit dulu? Apa yang orangtua kita lakukan?..... aahh…jujur saya tidak menahan air mata.

Saya selalu teringat cerita alhmarhum ayah. Ketika kecil, saya pernah sakit panas yang sangat tinggi. Keterbatasan biaya dan kendaraan, menyebabkan ayah menunda membawa saya ke rumah sakit. Dan apa yang dilakukan ayah saya? Beliau bertelanjang dada dan mendekap erat tubuh kecil saya. Ayah saya berharap, jika ia melakukan hal itu, maka, panas badan saya akan turun.

Bagaimana dengan ibu? Apakah keberadaan kita selama sembilan bulan di perut ibu masih kurang cukup untuk setidaknya berkata baik padanya, memberikan senyum tulus, atau mendengar ceritanya yang selalu diulang-ulang?

Setitik kesalahan yang orangtua kita lakukan, seringkali membuat emosi kita naik turun berhari-hari. Namun segunung kesalahan yang kita perbuat dari kecil hingga saat ini, tak membuat kasih sayang mereka surut.

Allah…. Saya teringat kisah seorang yang bertanya pada sahabat Rasulullah saw, ia  menggendong ibunya mengelilingi Ka’bah berkali-kali, kemudian bertanya, apakah yang ia lakukan dapat membalas apa yang telah ibunya lakukan selama ini? Sahabat Rasulullah saw pun menjawab, Tidak. Sama sekali tak terbalas.

Cinta orangtua pada kita, tak terbatas, tak terbalas. Bagaimana cinta kita pada mereka??....




Tidak ada komentar:

Posting Komentar