Selasa, 24 April 2012

Wawancara dengan Pizaro, penulis novel "The Brain Charger"

Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, seorang pemuda asli Minang, yang lahir dan besar di Jakarta. Menamatkan sarjananya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, jurusan Islamic Conselling. Selain menjabat sebagai redaktur eramuslim.com, Pizaro juga aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi dunia Islam. Tulisan-tulisan Pizaro tentang dunia Islam, telah tersebar di berbagai media.

Baru-baru ini, Pizaro meluncurkan novel terbarunya yang berjudul "The Brain Charger" (TBC). Novel ini berangkat dari kegelisahan Pizaro pada pemikiran liberal yang berkembang pesat di masyarakat. Selain itu juga, sebagai bentuk tanggung jawab Pizaro pada almamaternya. Menurutnya, pemahaman liberal saat ini sudah menyebar luas dan sistematis.

Berikut wawancara dengan Pizaro, tentang novel terbarunya ;

Novel terbaru ustad, apa latar belakangnya?

Jadi novel ini sebenarnya berangkat dari kegelisahan saya melihat liberalisme yang terjadi di banyak kampus Islam. Saya sendiri adalah alumnus salah satu kampus Islam yang melihat liberalisme yang terjadi sudah pada tahapan sistemik. Dari mulai rektor, dosen, mahasiswa semuanya terjebak pada pemahaman liberalisme yang banyak merugikan Islam itu sendiri dan masyarakat kampus pada umumnya. 

Dari situlah saya berangkat untuk menulis kisah fiksi yang semula berawal dari sebuah cerpen dan novelet yang saya buat mengenai seorang mahasiswi cerdas, cantik, tapi neurosis dan tidak bahagia. Hal itu terjadi karena ia salah mendudukkan ilmu.  

Respon dari cerpen dan novelet itu cukup banyak. Bahkan beberapa Ustadz yang concern melawan liberalisme meminta saya meneruskan kisah ini menjadi novel. Akhirnya saya mulai menulis Novel The Brain Charger (TBC). Prosesnya juga tidak mudah saya melakukan riset dan kembali membuka beberapa buku kuliah yang menjadi pegangan waktu itu. Karena saya ingin novel ini berbeda dan memiliki mutu tidak kalah dari novel liberal.


          Tujuannya apa?
Selama beberapa bulan, saya pernah bergelut menjadi konselor di sebuah Rumah Sakit jiwa di Jakarta. Disitu saya menangani beberapa saudara-saudara kita yang menderita skizofrenia, neurosis, dan fobia. Tidak sedikit pasien mengalami sekat traumatis mendalam akibat masa lalunya. 

Sebagai seorang mahasiswa idealis, saya berangkat dengan menerapkan ilmu Psikologi Barat yang sebelumnya saya pelajari bahkan geluti. Hasilnya ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. Metodelogi Barat yang saya pakai ternyata tidak banyak merubah pasien menjadi lebih baik. 

Menariknya ketika saya memakai metode Islam dengan hal-hal yang sederhana seperti taddabur Qur’an, Shalat Dhuha, dan dzikir kepada Allah ternyata perkembangan psikologis pasien beranjak kepada peningkatan posisitif.

Jadi jika ditanya apa tujuan dibalik penulisan TBC, maka jawabannya adalah      penyadaran. Menyadarkan bahwa Islam memiliki konsep tersendiri dalam mewujudkan kebahagiaan. Karena Islam tidak memisahkan Ilmu dengan Iman.
          
Mengapa memilih tema yang "kurang populer", mengapa tidak memilih tema percintaan misalnya?

Saya ingat sekali dalam menulis, ada sebuah diktum yang berbunyi: Tulislah apa yang memang kamu ingin tulis. Jadi ketika kita bingung ingin menulis, maka mulailah dengan menulis tema yang memang kita senangi dan kuasai.

Sasaran usia pembaca, kira2 untuk kisaran umur berapa?

Ada kisah menarik saat pergelaran Islamic Book Fair yang baru-baru ini berlangsung di Jakarta. Ketika itu, penjaga stand sempat bilang kepada saya bahwa novel saya banyak diminati siswa SMA. Padahal segmentasi novel ini lebih saya tujukan untuk kalangan kampus. Dari situ saya berkesimpulan novel ini bisa dibaca siapa saja mulai remaja hingga dewasa.

Sampai saat ini, sejauh mana tanggapan masyarakat ?

Alhamdulillah responnya cukup baik. Saya kerap mendapatkan pesan berupa sms, inbox FB, chat yang mengapresiasi novel ini. Mereka beranggapan novel ini mewakili kegelisahan mereka juga terhadap fenomena liberalisme ditambah adegan novel ini yang dibumbui setting thriller dan kebanggaan terhadap peradaban Islam hingga pembaca tidak bosan. Mereka ingin TBC difilmkan, saya hanya menyerahkan kepada Allah saja bagaimana baiknya. Novel ini terbit saja, saya sudah bersyukur.

Penjualan di Islamic Book Fair juga alhamdulillah. Bahkan menjadi novel paling laris di penerbit. Saya juga cukup surprise, karena novel ini belum sempat dilaunching di masyarakat.

Isi ceritanya sendiri sebenarnya bagaimana?

Secara garis besar, Novel TBC mengisahkan pergulatan seorang perempuan yang sempurna dalam berbagai hal namun memiliki satu kekurangan yang bisa meruntuhkan semua kelebihannya, yakni ingkar terhadap Tuhan. Uniknya, ia menganggap bentuk pemisahan diri terhadap Tuhan adalah jalan meraih kebahagiaan. Cara berfikir seperti ini tentu menjadi kontroversi di sebuah kampus yang menjunjung agama sebagai nilai tertinggi. Ia kemudian berhadapan dengan seorang pemuda yang memang sudah meniatkan diri untuk mengangkat kejayaan ilmu-ilmu Islam. Mereka akhirnya bertemu di satu kelas. Si perempuan ini menjadi dosennya, dan pemuda itu adalah mahasiswanya.

Ada berapa tokoh dalam novel ini dan bagaimana peran mereka masing-masing?

Tokoh utamanya ada tiga. Pertama adalah tokoh antagonis bernama Annisatu Lexa Meteorika. Dia mahasiswi cerdas, cantik, dan hebat. Baru semester 7 sudah menjadi asisten dosen dan mahasiswa terbaik dua tahun berturut-turut. Sayangnya, dia tidak percaya Tuhan. Baginya Tuhan adalah ilusi. Seperti perkataan Sigmund Freud dan Ludwig Feurbach, Tuhan hanyalah hasil imajinasi manusia. Sayangnya dengan pemahaman seperti itu, Annisa berharap bisa hidup bahagia, namun kenyataannya adalah ia tetap tidak bisa keluar dari ujian neurosis yang melandanya.

Kedua tokoh protagonis beranama Muhammad Rizki Ramadhan. Rizki lebih mewakili tipikal mahasiswa yang hanif tapi gila ilmu. Kemiskinan tidak membuatnya pantang surut meraih impian untuk mengangkat kejayaan ilmu-ilmu Islam. Sebagai pemuda desa, Rizki tidak silau melihat peradaban Barat. Karena ia sadar dibalik kemajuannya, Barat sangatlah rapuh. Rizki inilah yang nanti banyak bersentuhan dalam debat-debat bersama sang dosennya yang tidak lain adalah Annisa.

Ketiga, seorang mahasiswi bernama Arisiska Lenila Wahid. Tokoh terakhir juga protagonist yang memiliki pemahaman kajian perbandingan agama yang cukup mendalam. Ia meneliti berbagai kode mutilasi yang menyimpan sekat agama-agama kuno dalam sebuah kasus pembunuhan di kampusnya. Arisiska inilah yang membantu Rizki dalam memecahkan kasus-kasus kejiwaan. Kasus kejiwaan yang lahir dalam penghayatan terhadap pengkajian atheisme di sebuah perguruan tinggi. Selebihnya ada juga tokoh-tokoh pendukung seperti Farel, Arif, Poltak, yang ketiganya memiliki cita-cita membangun peradaban Islam.

Tema besarnya apa?

Tema besarnya sebenarnya Psikologi. Tapi psikologi saya jadikan kasus untuk membicarakan wacana kritik terhadap liberalisme dan atheisme.

Akankah novel ini ada triloginya?

Banyak yang bilang ke saya, “Kenapa novelnya tipis?” Jujur saja, masyarakat Indonesia belum biasa membaca novel yang terlalu berat dan panjang. Karena itu saya buat novel ini singkat, padat, dan jelas. Dengan alur thriller yang membuat pembaca nyaman menikmatinya. Rata-rata-rata pembaca menghabiskan novel saya dalam sehari. Saya sempat surprise. Dari situ tidak sedikit pembaca minta dibuat kelanjutannya. Tapi TBC memang saya buat habis saat itu saja. Mungkin saya akan membuat novel kembali namun dengan judul yang berbeda.

Sebagai seorang wartawan, menurut ustad, apakah novel ini sedikit banyak terpengaruh oleh pengalaman ustad di lapangan?

Tidak, karena proses membuat novel ini saya mulai sebelum menjadi wartawan. Akan tetapi gaya menulis yang baik memang banyak saya dapati ketika menjadi wartawan. Itu membantu saya untuk membuat tulisan yang enak dibaca.

Mengapa ustad memilih menulis novel, ketimbang menulis buku kajian, tentang liberal misalnya?

Saya ingat sekali Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam launching INSISTS ke 9 bilang bahwa jalur melawan penulisan liberalisme pemikran Islam bisa ditempuh dalam dua cara. Pertama non fiksi, kedua fiksi. Saya merasa yang kedua ini masih jarang digeluti. Padahal novel-novel Liberal menjamur dimana-dimana, katakanlah Perempuan Berkalung Sorban atau Pelangi Melbourne.

Kemudian, saya memang orang yang suka menulis genre fiksi, baik itu cerpen maupun novelet. Jiwa sastra saya betul-betul tertantang disitu.Dengan menulis novel kita dapat menyalurkan ide-ide dalam bentuk sastra yang enak dibaca dan ditulis serta bermanfaat bagi orang lain.




1 komentar:

  1. Subhanallah....Semoga ilmu-ilmunya bermanfaat buat sang penulis dan buat Bunda Suci yang sudah meliput wawancara ;) :)

    Salam

    BalasHapus