Kembali mengunjungi
penjara, membuat saya de ja vu, seperti
kembali ke masa lalu. Ya, karena ayah saya dulu pernah menjadi kepala lapas,
maka, lapas untuk saya tidak asing lagi. Namun, lapas atau penjara dari dulu
sampai sekarang tetaplah sama. Tetap dingin,
kaku, angkuh….
Berkali-kali saya
berkunjung ke penjara, tidak pernah saya temukan senyum lepas disana. Tawa lepas
tanpa beban. Tidak. Berpuluh tahun yang lalu, dan saat ini, sama saja. Tidak pernah
ada kebahagiaan disana. Mata-mata itu tetaplah kosong. Pandangan itu masih
hampa.
Sebenarnya saya tidak ingin
bersedih, tapi itulah yang terjadi. Kembali berkunjung ke penjara, apalagi
penjara anak, membuat hati saya sunguh-sungguh menjerit menangis. Saya tidak
tega menatap mata mereka…
Namun, kegiatan ini,
tetaplah harus dijalankan. Walaupun pedih.
Pagi itu sesuai rencana,
saya, kak Lisya dan kak Edas dari gerakan peduli remaja “smartteen smartlove”,
tiba di penjara anak jam sembilan lebih. Disana telah menanti kak Asep dari “punk
muslim”, kak Fahmi dari Universitas Indonesia dan kak Dian dari Universitas
Negri Jakarta.
Hari ini kami akan
menyumbangkan buku-buku Islam untuk anak-anak lapas. Alhamdulillah, selain
menyumbang buku, kami diberi waktu oleh Kabid Pembinaan Lapas Anak, yaitu bapak
Bagus, untuk memberikan motivasi atau berbagi cerita dengan kak Asep.
Kak Asep memang cocok dengan
anak-anak lapas. Dilihat dari perjalanan kak Asep yang dulunya sempat hidup di
jalan selama enam tahun, terlibat narkotika, kenakalan remaja dan sebagainya,
kemudian memutuskan taubat dan pintar mengaji, tentulah menjadi pengalaman
menarik bagi anak-anak lapas.
Saat berbagi cerita,
sebagian besar anak-anak lapas, masih terlihat malu-malu. Dari 250-an anak,
hanya dua anak saja yang berani maju ke depan. Karena itu, acara berbagi pun
berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam.
Kami pun beranjak menuju
perpustakaan, untuk kembali merapikan buku-buku yang kami bawa. Diluar dugaan,
saat mulai meninggalkan aula, banyak anak lapas yang mengerubungi kak Asep. Begitu
pula yang terjadi pada kami. Beberapa anak mendekati dan mengajak ngobrol
ringan.
Alhamdulillah, keakraban
mulai terjadi, kekakuan mulai cair. Perpustakaan yang tadinya sepi, kini
menjadi ramai. Kami pun berpencar. Kak Fahmi konsentrasi mengawasi dan
memberikan arahan pada anak-anak yang sedang menata dan mencatat buku sumbangan,
kak Asep mengambil posisi di pojok perpustakaan, saya dan kak Lisya mengobrol
dengan beberapa anak, kak Dian memberikan arahan pada anak-anak yang tertarik
dengan kameranya dan kak Edas mengobrol ringan dengan ibu penjaga perpustakaan.
Cerita sedih pun dimulai. Seorang
anak mendekati saya, sebut saja namanya Rian. Perawakannya kurus, tinggi dan
berkulit kuning bersih. Akhir bulan ini ia akan bebas. Tapi ia bingung harus
kemana. Ia malu jika harus kembali ke rumah. Malu dengan stempel “mantan
narapidana”. Ketika saya bertanya apa kasusnya, Rian tidak menjawab, ia hanya
memberikan kode. Di buku tulis yang saya bawa, Rian menulis hukumannya adalah
KUHP 340 –tak lama, saya mendapat informasi bahwa KUHP 340 adalah kasus
pembunuhan-
Keahlian yang dimilikinya
adalah memijit. Sering Rian memijit pegawai penjara yang kelelahan. Dari memijit
itu, Rian mendapat uang yang bisa dipakainya untuk sekedar jajan di koprasi
penjara, ataupun ditabung sedikit untuk bekal ia diluar kelak. Saya tidak bisa
menjanjikan apapun pada Rian, saya menyarankan Rian untuk menyimpan nomor
telpon saya. insyaAllah akan saya carikan jalan keluarnya.
Tidak lama, Andri (nama samaran)
mendekati kami. Andri sedikit lebih ceria dibandingkan teman-teman lainnya. Cocok
jadi pelawak menurut saya J. Usia Andri baru 17 tahun,
ia dipenjara karena kasus narkotik. Ini adalah yang kesekian kalinya ia
dipenjara. Orangtuanya sudah lepas tangan dan tidak mau menjenguk Andri lagi. Namun,
menurut pengakuan Andri, ia menyesal jika ingat ibunya. Kasihan ibu, begitu
katanya.
Andri bercerita, bahwa ia
ingin menjadi seorang ustad, ia pun minta diajarkan cara membaca Alquran yang
baik. Andri memang sudah bisa membaca Alquran, tapi ia minta lebih lagi, agar
seperti peserta MTQ katanya. Saya tersenyum, hati saya mulai gerimis L.
Lain lagi cerita Sami (nama
samaran). Hukumannya “hanya” enam bulan. Lebih singkat dari teman-teman lainnya.
Kasusnya penodongan. Sami menodong anak SMA. Sebelum menodong, terlebih dulu
Sami menenggak minuman keras. Namun sial. Bukannya barang berharga yang
didapatkan, tapi keroyokan massa yang menghadiahkan bgertubi-tubi pukulan pada
tubuhnya.
Sama seperti Rian, bulan
Mei Sami pun akan bebas. Ia bingung harus kemana. Karena ia anak yatim. Orangtuanya
telah meninggal. Satu-satunya tempat adalah, lingkungannya yang dulu, dimana ia
belajar menodong dan menjadi penenggak minuman keras. Saya tidak menyarankan
Sami untuk kembali ke lingkungan lamanya. Pada Sami pun, saya kembali
memberikan nomor telpon saya. Allah… anak-anak ini butuh bantuan, jangan
biarkan mereka kembali ke jalan sesat…. Air mulai menggenang di ujung mata
saya.
Seorang remaja, sejak tadi
melihat saya dari kejauhan. Mungkin karena teman-temannya masih curhat pada
saya, ia pun mengurungkan niatnya. Bolak balik ia jalan melewati tempat saya
duduk. Tak lama ia pun menyapa saya dan meminta waktu untuk bicara berdua saja.
Ismail (nama samaran). Badannya
tinggi besar. Tidak gemuk, tidak juga kurus. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung,
rahangnya pun kuat. Keseluruhan, Isamil bisa saya sebut anak gagah. Umurnya 19
tahun.
Agak lama baru Ismail mau
bercerita pada saya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menahan
perasaannya, Ismail pun mulai bercerita.
Ismail adalah anak pertama
dari lima bersaudara. Bapaknya adalah seorang yang temperamental. Berkali-kali
memukul ibu dan adik-adiknya. Juga Ismail. Siang itu, bapaknya kembali marah. Dalam
kemarahannya, bapaknya mengancam untuk membunuh ibunya. Ismail pun marah. Ibu dan
adik-adiknya disuruh keluar rumah. Ia yang akan menyelesaikan masalah ini
berdua saja dengan bapaknya.
Ismail masuk ke kamar
bapaknya. Dan, perkelahian itu pun tak terelakkan. Ismail dan bapaknya saling
menghunus pisau. Beberapa kali benda tajam itu menghujam tangan dan badannya. Bapak
dan anak itu sama-sama gelap mata. Ismail membabi buta menusukkan pisaunya.
Bapaknya pun terkulai
lemas, tubuhnya terkapar dilantai kamar bersimbah darah. Begitu pun Ismail.
Saya tidak tahan. Ingin rasanya
saya meninggalkan ruangan itu dan menangis. Tapi saya tidak tega melihat mata
Ismail yang mulai berkaca-kaca.
“Bunda, saya bunuh bapak
saya, karena bapak saya mau bunuh ibu saya. Tapi saya menyesal bun, saya ga
lari, saya pasrah. Sekarang yang saya pikirkan adalah ibu dan adik-adik saya. Bagaimana
nasib mereka? karena pencari nafkah sudah meninggal. Saya juga di penjara.”
“Saya menyesal bun. Bunda,
kata orang, surga anak ada di ibu, surga ibu ada di suami. Lalu, bagaimana
dengan saya?”
Mulut saya terkunci. Kaku. Sementara
Ismail menatap kosong ke luar pintu. Sekilas saya melihat butiran air mulai
jatuh dari matanya. Ah, Ismail, rasanya saya ingin sekali mengelus pundakmu,
menenangkan pikiranmu yang kalut, yang penuh dengan rasa sesal.
Agak lama kami berbicara. Saya
memberi semangat padanya. Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan. Memberikan kalimat-kalimat
motivasi, walau dengan suara yang parau menahan tangis. Selalu ingat Allah dan
istiqomah, itu yang berulang-ulang saya katakan padanya. Akhir tahun ini,
Ismail akan bebas, dan sama dengan teman lainnya, ia pun bingung harus
bagaimana.
Tak lama Ismail bercerita,
beberapa teman mengingatkan saya pada jam yang mulai mendekati batas waktu
kami.
Keterbatasan waktu yang
membuat saya dan tim smartteen harus angkat kaki. Dengan berat hati, kami pun
pamit.
Rio (nama samaran) berkata,”
Ah, pasti bunda ga ingat nama saya kan? Pasti bunda minggu depan ga datang lagi.”
Saya tersenyum, jika Allah mengijinkan, tentulah saya dan tim smartteen akan
kembali lagi kesini.
Anak-anakku, bagaimana saya
bisa melupakan senyum kalian…..
insyaAllah, kami akan
datang lagi kesini, menemani kalian walau hanya sejenak, menghibur kalian walau
mungkin tak berbekas…..
I remember your smile
Where there is a right there is no wrong,
I always thought we
were so strong,
but our time just flew by,
there wasnt a chance to say goodbye.
Am so confused,
I feel all alone
Deep in my heart,
I know Allah has called you home.
But yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down and cry.
I remember the time our friendship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart,
Most of all I remember your smile.
Some times I lie awake at night the pain in my heart,
I just cant find why did you have to go away,
Yet i know none of us can stay you will always be so special to me.
In the world you will always live as a memory,
but yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down,
and cry I remember our freidnship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart.
Most of all I rememeber your smile..
but our time just flew by,
there wasnt a chance to say goodbye.
Am so confused,
I feel all alone
Deep in my heart,
I know Allah has called you home.
But yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down and cry.
I remember the time our friendship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart,
Most of all I remember your smile.
Some times I lie awake at night the pain in my heart,
I just cant find why did you have to go away,
Yet i know none of us can stay you will always be so special to me.
In the world you will always live as a memory,
but yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down,
and cry I remember our freidnship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart.
Most of all I rememeber your smile..
By Zain Bikha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar