Minggu, 29 April 2012

I REMEMBER YOUR SMILE....


Kembali mengunjungi penjara, membuat saya  de ja vu, seperti kembali ke masa lalu. Ya, karena ayah saya dulu pernah menjadi kepala lapas, maka, lapas untuk saya tidak asing lagi. Namun, lapas atau penjara dari dulu sampai sekarang tetaplah sama.  Tetap dingin, kaku, angkuh….

Berkali-kali saya berkunjung ke penjara, tidak pernah saya temukan senyum lepas disana. Tawa lepas tanpa beban. Tidak. Berpuluh tahun yang lalu, dan saat ini, sama saja. Tidak pernah ada kebahagiaan disana. Mata-mata itu tetaplah kosong. Pandangan itu masih hampa.

Sebenarnya saya tidak ingin bersedih, tapi itulah yang terjadi. Kembali berkunjung ke penjara, apalagi penjara anak, membuat hati saya sunguh-sungguh menjerit menangis. Saya tidak tega menatap mata mereka…

Namun, kegiatan ini, tetaplah harus dijalankan. Walaupun pedih.

Pagi itu sesuai rencana, saya, kak Lisya dan kak Edas dari gerakan peduli remaja “smartteen smartlove”, tiba di penjara anak jam sembilan lebih. Disana telah menanti kak Asep dari “punk muslim”, kak Fahmi dari Universitas Indonesia dan kak Dian dari Universitas Negri Jakarta.

Hari ini kami akan menyumbangkan buku-buku Islam untuk anak-anak lapas. Alhamdulillah, selain menyumbang buku, kami diberi waktu oleh Kabid Pembinaan Lapas Anak, yaitu bapak Bagus, untuk memberikan motivasi atau berbagi cerita dengan kak Asep.

Kak Asep memang cocok dengan anak-anak lapas. Dilihat dari perjalanan kak Asep yang dulunya sempat hidup di jalan selama enam tahun, terlibat narkotika, kenakalan remaja dan sebagainya, kemudian memutuskan taubat dan pintar mengaji, tentulah menjadi pengalaman menarik bagi anak-anak lapas.

Saat berbagi cerita, sebagian besar anak-anak lapas, masih terlihat malu-malu. Dari 250-an anak, hanya dua anak saja yang berani maju ke depan. Karena itu, acara berbagi pun berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam.

Kami pun beranjak menuju perpustakaan, untuk kembali merapikan buku-buku yang kami bawa. Diluar dugaan, saat mulai meninggalkan aula, banyak anak lapas yang mengerubungi kak Asep. Begitu pula yang terjadi pada kami. Beberapa anak mendekati dan mengajak ngobrol ringan.

Alhamdulillah, keakraban mulai terjadi, kekakuan mulai cair. Perpustakaan yang tadinya sepi, kini menjadi ramai. Kami pun berpencar. Kak Fahmi konsentrasi mengawasi dan memberikan arahan pada anak-anak yang sedang menata dan mencatat buku sumbangan, kak Asep mengambil posisi di pojok perpustakaan, saya dan kak Lisya mengobrol dengan beberapa anak, kak Dian memberikan arahan pada anak-anak yang tertarik dengan kameranya dan kak Edas mengobrol ringan dengan ibu penjaga perpustakaan.

Cerita sedih pun dimulai. Seorang anak mendekati saya, sebut saja namanya Rian. Perawakannya kurus, tinggi dan berkulit kuning bersih. Akhir bulan ini ia akan bebas. Tapi ia bingung harus kemana. Ia malu jika harus kembali ke rumah. Malu dengan stempel “mantan narapidana”. Ketika saya bertanya apa kasusnya, Rian tidak menjawab, ia hanya memberikan kode. Di buku tulis yang saya bawa, Rian menulis hukumannya adalah KUHP 340 –tak lama, saya mendapat informasi bahwa KUHP 340 adalah kasus pembunuhan-

Keahlian yang dimilikinya adalah memijit. Sering Rian memijit pegawai penjara yang kelelahan. Dari memijit itu, Rian mendapat uang yang bisa dipakainya untuk sekedar jajan di koprasi penjara, ataupun ditabung sedikit untuk bekal ia diluar kelak. Saya tidak bisa menjanjikan apapun pada Rian, saya menyarankan Rian untuk menyimpan nomor telpon saya. insyaAllah akan saya carikan jalan keluarnya.

Tidak lama, Andri (nama samaran) mendekati kami. Andri sedikit lebih ceria dibandingkan teman-teman lainnya. Cocok jadi pelawak menurut saya J. Usia Andri baru 17 tahun, ia dipenjara karena kasus narkotik. Ini adalah yang kesekian kalinya ia dipenjara. Orangtuanya sudah lepas tangan dan tidak mau menjenguk Andri lagi. Namun, menurut pengakuan Andri, ia menyesal jika ingat ibunya. Kasihan ibu, begitu katanya.

Andri bercerita, bahwa ia ingin menjadi seorang ustad, ia pun minta diajarkan cara membaca Alquran yang baik. Andri memang sudah bisa membaca Alquran, tapi ia minta lebih lagi, agar seperti peserta MTQ katanya. Saya tersenyum, hati saya mulai gerimis L.

Lain lagi cerita Sami (nama samaran). Hukumannya “hanya” enam bulan. Lebih singkat dari teman-teman lainnya. Kasusnya penodongan. Sami menodong anak SMA. Sebelum menodong, terlebih dulu Sami menenggak minuman keras. Namun sial. Bukannya barang berharga yang didapatkan, tapi keroyokan massa yang menghadiahkan bgertubi-tubi pukulan pada tubuhnya.

Sama seperti Rian, bulan Mei Sami pun akan bebas. Ia bingung harus kemana. Karena ia anak yatim. Orangtuanya telah meninggal. Satu-satunya tempat adalah, lingkungannya yang dulu, dimana ia belajar menodong dan menjadi penenggak minuman keras. Saya tidak menyarankan Sami untuk kembali ke lingkungan lamanya. Pada Sami pun, saya kembali memberikan nomor telpon saya. Allah… anak-anak ini butuh bantuan, jangan biarkan mereka kembali ke jalan sesat…. Air mulai menggenang di ujung mata saya.

Seorang remaja, sejak tadi melihat saya dari kejauhan. Mungkin karena teman-temannya masih curhat pada saya, ia pun mengurungkan niatnya. Bolak balik ia jalan melewati tempat saya duduk. Tak lama ia pun menyapa saya dan meminta waktu untuk bicara berdua saja.

Ismail (nama samaran). Badannya tinggi besar. Tidak gemuk, tidak juga kurus. Kulitnya putih bersih. Hidungnya mancung, rahangnya pun kuat. Keseluruhan, Isamil bisa saya sebut anak gagah. Umurnya 19 tahun.

Agak lama baru Ismail mau bercerita pada saya. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dan menahan perasaannya, Ismail pun mulai bercerita.

Ismail adalah anak pertama dari lima bersaudara. Bapaknya adalah seorang yang temperamental. Berkali-kali memukul ibu dan adik-adiknya. Juga Ismail. Siang itu, bapaknya kembali marah. Dalam kemarahannya, bapaknya mengancam untuk membunuh ibunya. Ismail pun marah. Ibu dan adik-adiknya disuruh keluar rumah. Ia yang akan menyelesaikan masalah ini berdua saja dengan bapaknya.

Ismail masuk ke kamar bapaknya. Dan, perkelahian itu pun tak terelakkan. Ismail dan bapaknya saling menghunus pisau. Beberapa kali benda tajam itu menghujam tangan dan badannya. Bapak dan anak itu sama-sama gelap mata. Ismail membabi buta menusukkan pisaunya.

Bapaknya pun terkulai lemas, tubuhnya terkapar dilantai kamar bersimbah darah. Begitu pun Ismail.

Saya tidak tahan. Ingin rasanya saya meninggalkan ruangan itu dan menangis. Tapi saya tidak tega melihat mata Ismail yang mulai berkaca-kaca.

“Bunda, saya bunuh bapak saya, karena bapak saya mau bunuh ibu saya. Tapi saya menyesal bun, saya ga lari, saya pasrah. Sekarang yang saya pikirkan adalah ibu dan adik-adik saya. Bagaimana nasib mereka? karena pencari nafkah sudah meninggal. Saya juga di penjara.”

“Saya menyesal bun. Bunda, kata orang, surga anak ada di ibu, surga ibu ada di suami. Lalu, bagaimana dengan saya?”

Mulut saya terkunci. Kaku. Sementara Ismail menatap kosong ke luar pintu. Sekilas saya melihat butiran air mulai jatuh dari matanya. Ah, Ismail, rasanya saya ingin sekali mengelus pundakmu, menenangkan pikiranmu yang kalut, yang penuh dengan rasa sesal.

Agak lama kami berbicara. Saya memberi semangat padanya. Ya, hanya itu yang bisa saya lakukan. Memberikan kalimat-kalimat motivasi, walau dengan suara yang parau menahan tangis. Selalu ingat Allah dan istiqomah, itu yang berulang-ulang saya katakan padanya. Akhir tahun ini, Ismail akan bebas, dan sama dengan teman lainnya, ia pun bingung harus bagaimana.

Tak lama Ismail bercerita, beberapa teman mengingatkan saya pada jam yang mulai mendekati batas waktu kami.

Keterbatasan waktu yang membuat saya dan tim smartteen harus angkat kaki. Dengan berat hati, kami pun pamit.

Rio (nama samaran) berkata,” Ah, pasti bunda ga ingat nama saya kan? Pasti bunda minggu depan ga datang lagi.” Saya tersenyum, jika Allah mengijinkan, tentulah saya dan tim smartteen akan kembali lagi kesini.

Anak-anakku, bagaimana saya bisa melupakan senyum kalian…..

insyaAllah, kami akan datang lagi kesini, menemani kalian walau hanya sejenak, menghibur kalian walau mungkin tak berbekas…..

I remember your smile

Where there is a right there is no wrong, I always thought we were so strong,
but our time just flew by,
there wasnt a chance to say goodbye.

Am so confused,
I feel all alone

Deep in my heart, 
I know Allah has called you home.

But yea your smile still lingers in my mind,
and yea its so hard i just break down and cry.

I remember the time our friendship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart,
Most of all I remember your smile.

Some times I lie awake at night the pain in my heart,
I just cant find why did you have to go away,
Yet i know none of us can stay you will always be so special to me.

In the world you will always live as a memory,
but yea your smile still lingers in my mind, 
and yea its so hard i just break down, 
and cry I remember our freidnship was strong,
I remember your eyes find a way to melt my heart.

Most of all I rememeber your smile..
By Zain Bikha


Tidak ada komentar:

Posting Komentar