Kamis, 19 Januari 2012

RAKER SMART TEEN

Rencana Kegiatan Smart Teen Smart Love

Alhamdulillah.... dengan kesederhanaan, RAKER 1 Smart Teen Smart Love (STSL), bisa dilaksanakan juga pada tanggal 19 Januari 2012 kemarin. Dalam raker ini, tim STSL memperinci langkah-langkah program yang harus dilakukan selama setahun ini.

Program-program kegiatan STSL, rencananya akan dikaitkan dengan hari besar nasional setiap bulannya. Ada hal yang lucu ketika kami mencari hari-hari besar nasional. Ternyata, beberapa perayaan dengan tema yang sama, dirayakan di bulan yang berbeda. Misalnya saja, hari lingkungan hidup, ada di dua bulan yang berbeda. Wah kok bisa gitu yah? ^___^

Dalam penetapan program yang akan dilaksanakan, kami mengaitkan dengan hal-hal apa yang bisa dilakukan remaja. Misalnya saja hari lingkungan hidup. Rencananya, kami akan mengajak remaja peduli lingkungan di sekitar mereka, diantaranya dengan melakukan bersih-bersih kali. Dalam pelaksanaannya, kami akan mengadakan kerjasama dengan para pecinta alam. Sebenarnya banyak hal yang bisa remaja lakukan. Namun, karena keterbatasan tenaga, maka, untuk tahun ini, dalam satu bulan, program yang akan dilakukan maksimal hanya dua saja.

Karena tim STSL terdiri dari orang-orang yang "senang bermimpi" :P, maka, ketika usulan-usulan program terlontar dari masing-masing anggota, kami sudah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sibuk membayangkan pelaksanaannya, siapa saja yang dihubungi, apa saja yang harus dikerjakan, mulai kapan harus bekerja dan masih banyak lagi. Sering kali, karena mimpi yang sudah terlalu jauh, membuat kami saling mentertawakan mimpi masing-masing. Hehe... tak apalah, biar tambah semangat ^____^...

Harapan kami, dengan adanya program-program bulanan yang dilaksanakan, akan memberikan pengaruh yang positif pada remaja, generasi penerus bangsa ini. Tentu saja, jika seluruh remaja positif, akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang positif, yang bisa membawa negeri ini ke arah yang lebih baik lagi. Hmmm... mimpikah??? Kenapa ga?? ^___^






Senin, 16 Januari 2012

HIJRAH, bagian dua

"sebuah kisah nyata, ketika seorang wanita memutuskan untuk mengenakan hijab"

"Saya itu bu, dulu termasuk anak yang sangat nakal. Ibu tau pil bk ga? Itu yang biasa dipake anak-anak jaman dulu kalo mo nge fly? Nah, saya dulu biasa pake obat itu." Jelas bu Lastri pada saya. Saya terbengong-bengong. "Subhanallah.... subhanallah...... Allahuakbar.... saya ga nyangka sama sekali." Ucap saya sambil memandang penampilan bu Lastri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bu Lastri pun tersenyum. "Saya maklum bu, memang ga ada yang menyangka masa lalu saya kelam." Dan cerita pun mengalir dari mulut bu Lastri.

Sebut saja namaku Lastri. Tahun ini usiaku genap empat puluh tahun. Alhamdulillah, aku telah menikah dan dikaruniai tiga orang anak yang shaleh, lucu dan sehat. Kehidupan rumah tanggaku sampai saat ini alhamdulillah baik-baik saja. Kalaupun ada kerikil-kerikil, aku anggap itu sebagai sebuah kewajaran dan ujian dari Allah, agar kita lebih baik dari waktu ke waktu.

Kalau aku melihat hidupku saat ini, sungguh aku merasa sangat sangat bersyukur. Rumah tangga yang adem, tentrem, anak-anak yang sehat, ekonomi keluarga yang cukup, dan masih banyak lagi. Bagiku ini seperti sebuah mimpi. 

25 tahun yang lalu, aku tak pernah membayangkan hidupku kelak akan seperti apa. Saat aku berumur lima belas tahun, saat pertama kali menginjak bangku SMA. Saat itulah kenakalanku dimulai.

Aku tumbuh di keluarga dengan pemahaman agama yang sangat minim. KTP keluargaku Islam, tapi kami jarang sekali shalat, apalagi membaca Al-Quran. Aku adalah anak kelima dari enam bersaudara. Kakak ku semua laki-laki, aku dan adikku yang kecil perempuan. Karena kakak ku laki-laki, maka aku pun terbawa dalam pergaulan ala laki-laki.

Penampilanku pun cenderung tomboy. Salah satu kegemaranku waktu itu adalah mengenakan celana jeans sobek-sobek. Kalau sobek nya semakin besar, semakin banggalah aku. Lama kelamaan, tanpa aku sadari, aku terpengaruh bukan hanya dari segi penampilan, tapi sudah masuk ke perilaku.

Aku mulai berani mencoba menghisap rokok. Awalnya, aku merayu kakakku untuk mengijinkan aku mencoba sebatang saja. Namun, akhirnya dari satu batang menjadi berbatang-batang setiap harinya. Orangtuaku tidak pernah melarang, karena mereka tidak terlalu peduli dengan pergaulan ku. Karena bagi mereka, selama nilai-nilai pelajaran ku bagus, tidak ada merah, itu sudah cukup.

Selain merokok, aku pun mulai berpacaran. Awalnya, aku diperkenalkan dengan salah seorang teman kakakku. Karena sering bertemu, akhirnya kami pun memutuskan untuk “jadian”. Cukup lama aku menjalin hubungan dengannya. Namun, karena setamat SMA diminta orangtuanya untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri, maka kami pun akhirnya memutuskan hubungan.
Sejak itulah, selain aku tenggelam memakai obat-obatan, aku pun menjadi petualang cinta. Dari satu lelaki pindah ke lelaki lain. Jika aku mengingat masa kelamku, ya Allah… aku begitu malu pada Allah swt. Allah swt, masih memberiku waktu untuk bertaubat, walaupun dosa ku sudah begitu banyak. Ah, jika mengingat dosa, rasanya mata ini tak berhenti menangis. Kepala ini ingin selalu sujud, memohon ampun.

Begitulah, singkatnya, masa-masa sekolah SMA, aku menjadi wanita liar. Namun, entah bagaimana, dulu aku bisa mengikuti pelajaran dengan baik, lulus pun dengan nilai yang baik.

Saat menginjak bangku kuliah, aku mulai merasa bosan dengan pola hidup yang kujalani. Aku bosan dengan obat-obatan, bosan dengan para lelaki, bosan dengan kehidupan malam. Aku merasa seperti ada ruang hampa. Aku bosan. Benar-benar bosan. Rasanya ingin mati saja. Mungkin sudah jalan Allah swt, ketika aku mulai merasa bosan dengan hidupku, salah satu kakakku memutuskan untuk bertobat. Orangtua ku pun mulai sakit-sakitan. Ekonomi kami mulai terpuruk.

Aku mulai labil. Disatu sisi, aku tetap ingin kuliah, namun disisi lain, aku tidak tega membebani ekonomi keluarga. Aku kasihan dengan adikku yang selalu menunggak biaya SPP. Memang salah satu kakakku sudah ada yang bekerja, namun, itu belum cukup untuk membiayai obat-obatan kedua orangtuaku. Akhirnya dengan kemampuan seadanya, aku memutuskan untuk bekerja.

Saat itu, sebuah rumah sakit ternama di bilangan Lebak Bulus, membuka penerimaan karyawan baru, minimal D1 dan terbiasa menggunakan computer. Bersyukur pada Allah swt, walaupun aku bukan D1 jurusan computer, namun karena aku mahir dalam computer, maka aku pun diterima bekerja di rumah sakit itu.

Inilah awal titik balik hidupku. Setiap hari, di rumah sakit, aku melihat pemandangan yang menyejukkan. Aku berkenalan dengan beberapa teman kerja wanita yang memakai kerudung panjang. Dengan mereka, aku merasa sangat nyaman. Cara bicara mereka sopan, tidak pernah tertawa berlebihan, selalu tersenyum dan yang membuatku semakin kagum adalah kedekatan mereka dengan Al-Quran. Saat istirahat makan siang, sering mereka gunakan untuk membaca Al-Quran. Dengan suara pelan, wajah tertunduk khusyuk, mereka membaca ayat-ayat Allah swt dengan begitu indahnya. Sering kali aku terpana mendengarnya.

Perlahan, aku pun mulai memakai pakaian yang agak panjang. Aku mulai membeli buku-buku agama. Aku penasaran dengan teman-temanku yang memakai kerudung itu. Mengapa mereka mau menutup auratnya? Mengapa ketika berbicara dengan lelaki, mereka tidak berani menatap matanya? Mengapa mereka selalu membaca AL-Quran? Ada apa di Al-Quran? Begitu banyak pertanyaan yang menari di kepalaku, membuatku semakin sering keluar masuk toko buku.

Perubahan sikapku ternyata menjadi perhatian kakakku yang telah bertaubat. Suatu hari, ia mengajak aku untuk menghadiri sebuah pengajian di salah satu masjid besar di bilangan Kebayoran. Awalnya, aku menolak. Aku malu. Bingung. Aku harus memakai baju apa? Namun, kakakku meyakinkan, semua akan baik-baik saja. Tidak usah dandan berlebihan. Cukup masuk masjid, duduk, dan mendengarkan apa yang dikatakan penceramah. Kalaupun aku bosan dan tidak nyaman, kakakku bersedia mengantarku pulang. Begitu kata kakakku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut dengan kakakku. Berdua kami pergi ke masjid itu. Mendekati masjid, hatiku semakin campur aduk, perutku terasa tidak enak, keringat dingin mengucur. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku takut mati. Sangat takut. Sampai-sampai aku sesak nafas. Aku tidak pernah menderita asma. Namun, entah bagaimana, saat itu, nafasku terasa sangat sesak. Dadaku naik turun. semakin mendekati masjid, badanku terasa dingin. Aku tidak bisa bernafas melalui hidung. Badanku pun terasa kejang. Keadaan kami yang saat itu di kendaraan umum, membuat kakakku panic. Ia meminta sopir bus untuk menghentikan kendaraan. Kakakku memapah ku masuk ke dalam pekarangan masjid. Setelah itu dunia terasa gelap. Aku pun pingsan.

Tak berapa lama, aku merasa mendengar suara lantunan ayat-ayat Al-Quran. Aku pun merasa kaki ku seperti dipijit-pijit. Perlahan, aku membuka mata. Ah, aku merasa seperti dikelilingi oleh malikat. Beberapa wanita mengelilingiku. Aku kenal dengan salah satunya. Ternyata teman satu kantorku. Ia tersenyum. Aku kembali melihat sekeliling. Aku baru sadar, aku dibaringkan di salah satu pojok dalam masjid. Di kelilingi wanita berkerudung panjang, ditambah lagi dengan cat dinding masjid yang putih, cuaca yang sejuk, membuatku merasa damai, perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Sejak itu, aku memutuskan untuk mengenakan kerudung. Cukup sudah episode hidupku yang kelam. CUKUP. Aku tidak mau lagi kembali kesana. Aku tidak mau lagi hidup bergelimang dosa. Aku ingin hidupku tenang, aku ingin hidup dekat dengan Allah swt, aku ingin dicintai Allah swt.

Sejak itu pula, aku memutuskan untuk hijrah seutuhnya. Semua yang Allah swt haramkan, aku jauhi. Tentu saja ini perubahan yang besar dan berat. Namun, aku sudah memantapkan dalam hati, aku ingin taubatku benar-benar diterima. Cukuplah masa lalu sebagai kenangan. Aku tidak ingin terulang dan aku juga tak ingin keluarga ku mengalami hal yang sama.

Bu Lastri memandang saya sambil tersenyum. “Yah, begitulah bu, kisah saya. Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil hikmah yah. Jangan sampai ada yang seperti saya. Saya benar-benar bersyukur masih dikasih kesempatan oleh Allah swt untuk bertaubat.” Saya mengangguk. Ya, bu Lastri benar. Bersyukur dengan kesempatan yang selalu diberi Allah swt. Ah, sering kali kitalah yang tidak memanfaatkan waktu untuk bertaubat pada-Nya, dan ketika saatnya tiba, kita pun menyesal.

Ya Allah…. Betapa banyak hikmah yang bisa umat-Mu ambil. Betapa hidayah itu sangat dekat, namun begitu sedikit orang yang mau mengambilnya.


Rabu, 11 Januari 2012

HIJRAH, bagian satu


“sebuah kisah nyata, ketika seorang wanita memutuskan untuk mengenakan hijab”

11 tahun yang lalu

Widya terlahir dari keluarga muslim. Widya adalah anak terakhir dari empat bersaudara, yang kesemuanya adalah perempuan. Sejak lahir, Widya dan keluarganya tinggal di kawasan Bogor. Rumah mereka sederhana, hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan. Namun, walaupun sederhana, keluarga Widya tidak pernah merasa kekurangan.

Pengetahuan beragama orangtua Widya terbatas, sehingga menyebabkan Widya bebas bergaul dengan siapapun, baik lelaki, maupun perempuan, juga tidak pernah dilarang untuk mengikuti perayaan agama tertentu. Saat Widya duduk di bangku SMP, ia dan teman-temannya membentuk sebuah gank yang semuanya beranggotakan perempuan. Anggota gank terdiri dari lima orang. Saat itu yang ada dalam pikiran mereka hanyalah main, main dan main.  Jadilah mereka sering bolos sekolah, nongkrong di mall-mall, keluar kota tanpa ijin, dan berbagai kenakalan remaja pada umumnya.

Diantara anggota gank Widya, dua orang beragama Nasrani, dan Widya pun paling dekat dengan mereka. Sering kali Widya diajak menemani mereka ke gereja. Selain itu, Widya pun sering diajak untuk ikut perayaan agama mereka. Karena pengetahuan Islam Widya sangat rendah, maka, tanpa rasa bersalah, Widya pun rela ikut acara-acara keagamaan mereka. Hingga suatu saat, Widya ingin sekali memeluk agama mereka. sekolah Widya yang berlokasi di samping sebuah gereja, semakin memperkuat keinginan Widya untuk pindah agama. Dalam pandangannya, betapa enaknya beragama nasrani. Bebas, lepas, tidak beribadah setiap hari, damai, jarang bertikai, dan yang jelas, teman satu gank Widya pun sangat berpengaruh padanya. Begitu memperhatikan pada Widya dan sikapnya pun sangat baik.

Pertentangan batin bukannya tidak ada. Dalam hati kecil sebenarnya Widya masih ragu. Namun, pengaruh lingkungan begitu kuat. Bagaimana tidak? Setiap hari, dalam pandangannya, Widya melihat keindahan gereja, saat Widya menemani teman-temannya ke gerejapun, Widya sering mendengar ceramah yang disampaikan oleh pendeta, dan Widya menikmatinya.

Ditengah pergolakan batin yang cukup lama, salah seorang kakak Widya pun membaca gelagat Widya yang mulai sering meninggalkan shalat. Tak ingin adiknya larut dalam kegalauan, kakak Widya pun memutuskan untuk mengajak Widya berbicara dari hati ke hati. Kekeringan jiwa segera terbaca dari cerita yang mengalir dari mulut Widya. Saat itu Widya telah duduk di bangku terakhir SMP. Karena tidak ingin adiknya tenggelam lebih dalam, maka sejak itu, kakak Widya mulai sering mendampingi Widya. Dan, Alhamdulillah Widya segera tersadar dari kesalahannya. Sesaat sebelum menempuh ujian akhir SMP, Widya pun memutuskan untuk mengenakan hijab, walaupun belum sempurna.

Kedua orang tua Widya yang mengetahui anaknya mengenakan hijab, segera menentang dan melarang. Dalam pandangan orangtuanya, hijab akan membuat susah Widya. Susah dapat jodoh, susah dapat kerja, dll. Namun Widya tetap pada keputusannya. Walaupun dalam hati Widya juga tidak terlalu yakin dengan tindakannya itu.

Lulus dari SMP, Widya diterima di SMAN yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Saat itu, Widya masih galau, dalam satu sisi, Widya mulai merasa nyaman dengan hijabnya, namun di sisi lain, lingkungan sekolahnya kurang mendukung. Remaja yang mengenakan hijab saat itu, belumlah banyak, bisa dihitung dengan jari. Ditambah lagi, teman-teman gank semasa SMP pun mulai sering menghampiri Widya dan kembali mempengaruhi WIdya. Saat hati nya semakin galau, tanpa sengaja, Widya membaca sebuah selebaran di majalah dinding sekolah. Disitu tertulis, ajakan untuk mengenal Islam lebih dalam, dengan cara bergabung dengan ROHIS. Widya pun tertarik.

Tanpa menunggu waktu, Widya segera mendatangi musholla yang dijadikan pusat kegiatan ROHIS sekolahnya. Widya diterima dengan tangan terbuka oleh pengurus dan anggota ROHIS. Sejak saat itu, Widya seperti menemukan oase di padang pasir. Kekeringan hati yang dirasakan selama ini pun, seperti disiram air yang sangat sejuk. Setiap seminggu sekali, Widya rajin mengikuti kajian Islam di musholla. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang Widya ungkapkan dan hamper semua bisa terjawab.
Widya menemukan komunitasnya. Ia tidak lagi merasa sendiri. Ketika ada masalahpun, Widya mempunyai tempat untuk bercerita dan memberi solusi dari sisi agama yang membuat hatinya semakin tenang.

Hal ini terus berlangsung hingga Widya pun menamatkan SMA nya. Namun, cobaan kembali datang pada Widya. Karena keterbatasan ekonomi, Widya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Maka, Widya pun memutuskan untuk mencari kerja. Satu hari, Widya mendapat panggilan dari sebuah perusahaan elektronik besar di Indonesia. Setelah menjalani berbagai macam tes, Widya pun diterima, namun dengan syarat harus membuka hijab. Widya pun tertegun. Sempat ada rasa ragu, namun teringat ucapan gurunya saat di ROHIS tentang ketentuan muslimah mengenakan hijab, hati Widya pun kembali mantap. Ia tidak bersedia membuka hijabnya. Widya yakin, ketika ia memutuskan untuk menegakkan syariat, maka Allah swt pasti akan menolongnya.

Namun, ternyata cobaan  tidak berhenti sampai disitu. Lamaran yang dikirim Widya ke sebuah jaringan department store terbesar di Indonesia, diterima. Saat panggilan wawancara, tanpa ada rasa sedikitpun, sang pewawancara mengatakan pada Widya, jika ingin diterima bekerja, Widya harus membuka hijabnya. Kembali Widya menolak.

Widya tidak putus asa, dalam hati ia yakin, Allah swt pasti memberinya rezeki. Dan benar saja, Widya diterima bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Sebenarnya, jarak perusahaan konveksi tersebut sangat jauh dengan rumah Widya, yaitu, sekitar jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Setiap hari, ia harus naik kereta api dari stasiun Bogor sejak pukul lima dini hari dan pulang pukul delapan malam. Tapi ternyata, semakin lama, pekerjaan ini membebani jiwa Widya. Bukan karena gaji yang sangat kecil, juga bukan karena jarak yang sangat jauh. Tapi, kesempatan untuk shalat yang selalu dihalang-halangi oleh majikannya lah yang membuat Widya merasa tidak nyaman. Pekerjaan sengaja dibuat menumpuk saat-saat shalat. Jika pun shalat bisa dilaksanakan, tidak bisa dalam waktu lama. Karena majikan Widya akan segera mengeluarkan binatang peliharaannya untuk berkeliaran di sekitar tempat Widya shalat. Akhirnya, Widya pun memutuskan untuk keluar.

Widya bingung, ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya. Namun, ia juga tidak ingin melepaskan hijabnya demi sebuah pekerjaan. Dalam kebimbangannya, seorang teman mengajak Widya untuk bekerja menjadi guru TK. Tanpa pikir panjang, Widya pun menerima ajakan itu. Walaupun gajinya tak seberapa, namun Widya merasa nyaman, karena diperbolehkan mengenakan hijab. Walau penghasilannya pas-pasan, Widya tetap berusaha menyisihkan gajinya untuk ditabung. Dengan tabungannya itulah Widya memutuskan untuk meneruskan pendidikan ke PGTK yang lamanya satu tahun.

Tamat dari PGTK, Widya diajak temannya untuk bergabung dengan sebuah TK Islam  yang baru saja didirikan. Tanpa berpikir lama, Widya segera menerima ajakan tersebut.

Dua tahun setelah bekerja, Widya merasakan kehausannya dalam beragama, tidak cukup menimba ilmu agama seminggu sekali, Widya pun memutuskan untuk kuliah lagi di sebuah sekolah tinggi agama Islam. Disinilah Widya seperti menemukan jati dirinya yang hilang. Walaupun lelah sehabis mengajar, Widya rela menempuh jarak yang jauh untuk memperdalam agamanya. Ia tidak ingin lagi mengingat-ngingat masa lalunya yang memalukan. Ia ingin bertobat. Ia ingin tetap di jalan ini. Dan ia ingin ikut menyebarkan Islam, agar tak ada lagi remaja-remaja yang mengalami kegamangan seperti dirinya.

*seperti yang dikisahkan seorang teman. Nama, wilayah tempat tinggal & sekolah adalah samaran.


Senin, 09 Januari 2012

SEKOLAH KEHIDUPAN, BERNAMA ORANGTUA


Orang tua adalah sekolah kehidupan pertama bagi anak

Jujur, saya tidak pernah terlalu tertarik untuk membaca berita criminal dalam-dalam. Sekedar tau judulnya, bagi saya sudah cukup. Namun, satu peristiwa criminal yang diberitakn sejak minggu lalu hingga hari ini, membuat hati saya sangat miris.

Minggu lalu, sesosok mayat perempuan di temukan (maaf) tanpa busana di Kampung Mangga, Depok. Saat itu, tidak ditemukan identitas apapun di dekat mayat tersebut. Berbagai spekulasi segera “berseliweran”, menebak-nebak penyebab kematian perempuan tersebut.

Dan hari ini, identitas mayat itu pun terungkap. Sangat miris. Ternyata perempuan itu masih berusia remaja, yaitu 16 tahun. Dan yang lebih membuat saya geleng-geleng kepala adalah, cerita yang mengalir dari mulut ayahnya.

Perempuan remaja itu (sebut saja) bernama AK. Ia berasal dari keluarga broken home. Ayah dan ibunya pisah rumah sejak tahun 2006, namun mereka belum resmi bercerai. Menurut cerita sang ayah, sebelum orangtuanya berpisah, AK adalah anak yang baik, berprestasi dan tidak maca-macam. Namun, semua itu berubah drastis setelah kedua orangtuanya memutuskan untuk berpisah. AK menjadi anak yang susah diatur. Sering bolos sekolah. Hingga sekolahnya pun harus pindah. Selain sering bolos, AK pun jarang pulang ke rumah. Semenjak kedua orangtuanya pisah, AK memang tinggal bersama ibu dan neneknya. Ayah AK masih ingat, jika ia bertemu dengan AK, ia selalu cerita tentang banyak hal, AK bercerita ia punya banyak teman, bahkan punya pacar, namun AK tidak pernah memperlihatkan foto cowoknya itu. Ayah AK juga terkenang, dulu, sebelum ia memutuskan berpisah dengan ibu AK, AK adalah anak yang cerdas.

Subhanallah…… sungguh miris membaca kisah diatas.

Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun. Ibu dan ayah yang terhormat, anak tidak pernah minta dilahirkan. Ketika dua orang memutuskan untuk menikah dan mempunyai anak, maka, mulai saat itu, mereka harus bertanggung jawab penuh atas anak-anak mereka. tidak ada lagi ego pribadi. Orientasi pun berubah, yang tadinya orientasi diri dan pasangan, sejak anak lahir, semua orientasi ke anak.

Apapun yang orang tua lakukan, akan tercermin pada anak. Karena bagaimanapun juga, anak adalah cerminan orangtuanya. Bagaimana anak, ya bagaimana orangtuanya. Anak itu seperti kertas putih, polos dan masih kosong. Orangtua lah yang mengisinya, menulisnya dan menggambarnya. Apa yang hendak ditulis orangtua? Apa yang hendak di gambar orangtua? Ketakwaan pada Allah swt? Kekayaan duniawi? Konsumtif? Atau apa???

Kata yang diucapkan anak pertama kali adalah apa yang sering ia dengar. Jadi, jangan kaget, jika ada orangtua yang (maaf) dirumah sering menyebut nama-nama binatang, maka yang akan diucapkan pertama kali oleh si anak pun nama-nama binatang. Jika anak seperti itu, apakah orangtua marah??

Astaghfirullahahadzim…..

Sebagai orangtua muslim, kita tentu telah menyadari, bahwa jika kelak kita telah menghadap Allah swt, yang dapat menyelamatkan kita salah satunya adalah doa anak-anak yang shaleh. Jika kita tidak mempunyai anak yang shaleh, siapakah yang akan mendoakan kita kelak???

Orangtua adalah sekolah kehidupan pertama bagi anak. Anak akan belajar apapun dari orangtua. Anak pertama kali bisa berjalan, karena orangtua, anak pertama kali bisa berkata karena orangtau, yang pertama kali mengajar mengunyah, menari, tertawa, tepuk tangan, tersenyum, semuanya adalah orangtua.

Betapa indahnya jika orangtua menanamkan tauhid sejak dini pada anak. Anak hanya akan takut pada Allah swt. Ketika adzan berkumandang, walaupun tidak ada orangtuanya, anak bersegera shalat. Ketika masuk waktu maghrib, anak akan reflek menghentikan semua kegiatan dan segera shalat, setelah langsung membaca Al-Quran.

Anak-anak yang sejak awal ditanamakan tauhid, ia tidak akan takut kecuali pada Allah swt. Emosinya stabil. walaupun orangtuanya tidak ada dirumah, dan tidak melihat apa yang ia lakukan, namun ia percaya ada Allah swt Yang Maha Melihat. Walaupun ia kehilangan ayah dan ibunya, ia percaya masih Allah swt akan menjaganya.

Subhanallah… ibu, ayah, yang terhormat, mari, kita tanamkan tauhid sejak dini pada anak. Jangan sampai terlambat, jangan sampai menyesal.




Minggu, 08 Januari 2012

KUMPULAN SMS MOTIVASI DARI SAHABAT ^___^

BERGERAK dan TERUSLAH BERGERAK......

"Bergeraklah dan teruslah bergerak saudarakau. Kutau ragamu lelah, hatimu gundah. Jauhkan pandangan orang tentang perjuangan ini. Azamkan dihati, surga Allah menanti...."

"Mari kita mulai hari ini dengan ungkapan syukur, setiap hari anugrah dan nikmat-Nya turun kepada kita. Setiap jam, perlindungan dan nikmat-Nya terus menerus mengayomi kita. Allah swt telah membawa kita pada hari ini. Allah swt memberi kesempatan pada kita untuk menghapus dosa dan beramal salih..."

"Ada yang mengeluh merasa jenuh, ingin gugur dan jatuh. Ia berkata "LELAH". Ada juga yang lelah, tubuhnya penat tapi semangatnya kuat. Ia berkata "LILLAH". Semoga yang ke dua itu aku, kita dan kamu sahabatku. Salam perjuangan dan optimis. Semangattt :) 

"Jangan melangkah di jalan keputusasaan. Dialam ini terhampar berjuta harapan. Jangan pergi ke arah kegelapan. Di alam ini terdapat banyak cahaya...."

"Iman dalam hati kita ibarat PELITA. Bila cahayanya meredup, berarti kita akan larut dalam gelap dan kehilangan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Dan semakin cahayanya menyala, berarti kita semakin bisa melihat segala sesuatu dihadapan kita dengan jelas...."

"Jangan pernah kalah oleh beratnya cobaan hidup. Tidak semua permintaan kita harus dikabulkan, karena Allah lah yang lebih mengenal batin kita."

"Saudaraku, genggam erat-erat tali keimanan kita, kenalilah diri. Pahami kebiasaannya. Rasakan getaran-getarannya. Lalu berhati-hatilah dan kontrollah kemauan dan kecenderungannya. Waspadai kekurangannya dan manfaatkan kelebihannya. Berdoalah pada Allah agar Ia menyingkapkan ilmu-Nya tentang diri kita."

"Bersyukurlah atas segala curahan nikmat Allah yang tak pernah berhenti dan tak pernah bisa dihitung. Tanam dan lipat gandakan kesabaran atas segala ujian dan kesulitan yang kita alami."

"Tidak seorang pun kecuali mengalami senang dan sedih. Akan tetapi, buatlah kesenangan manjadi syukur dan kesedihan menjadi sabar."

"Berdoa dan perbanyaklah doa saudaraku, kita sangat membutuhkan bantuan dan kekuatan dari Allah swt dalam menjalani hiudp ini. Sejauh mana kadar perasaan kita dalam membutuhkan Allah, sejauh itulah jenjang kedekatan kita kepada Allah swt...."


Sabtu, 07 Januari 2012

IBU-IBU LUAR BIASA, bagian tiga


Tentang sahabat

Bu Hindun. Begitulah saya biasa memanggilnya. Kedatangannya ke kelas yang selalu saja telat, membuat saya penasaran. Dalam hati saya berkata, ini ibu kenapa ya, setiap jam pertama pasti datangnya telat, emang rumahnya dimana, kerjanya apa, apa yang membuatnya selalu saja telat. Kuliah pertama memang dimulai pukup 13.00, biasanya bu Hindun baru masuk ke kelas pukul 13.30 bahkan pernah pukul 14.15. karena penasaran, saya pun mulai mendekatinya.

Dan, mengalirlah cerita dari mulut bu Hindun :)

Bu Hindun mulai bergabung dengan angkatan saya sejak semester empat. Seharusnya saat ini bu Hindun telah duduk di semester tujuh, namun karena beberapa kali cuti, maka akhirnya mundur dan mengulang kembali. Ini adalah kesempatan terakhir dari suami bu Hindun untuk kembali ke bangku kuliah. Karena beberapa kali cuti, suami bu Hindun pun memberi ultimatum, kali ini harus sampai lulus, tidak boleh cuti lagi, sayang dengan waktu dan biaya yang dikeluarkan.

Kegiatan bu Hindun setiap harinya cukup padat. Selain mengisi majlis taklim, bu Hindun pun disibukkan dengan kegiatan organisasi Persatuan Muslimah atau yang biasa disebut SALIMAH. Kedudukan bu Hindun sebagai salah satu pengurusnya, membuat  telepon selular bu Hindun sering berbunyi. Selain aktif di organisasi dan majlis taklim, bu Hindun mempunyai sebuah kios kelontong di pasar Cikampek.

Oya, jangan dikira tempat tinggal bu Hindun di sekitar kampus. Tempat tinggal bu Hindun di Cikampek. Setiap kuliah, bu Hindun berangkat dari rumah pukul 08.00 wib, atau paling telat pukul 09.00wib. setiap kuliah, jarak yang ditempuh bu Hindun -+200km pulang pergi. Subhanallah……

Karena membawahi beberapa majlis taklim, membuat bu Hindun juga mempunyai kesempatan berdagang pakaian muslim. Dan, kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan bu Hindun dengan sangat baik. Saya sudah terbiasa dengan pemandangan bu Hindun yang membawa hampir sekarung pakaian muslimah. Dan, dengan tersenyum bu Hindun berkata pada saya,”biasa bu, dari tanah abang.” Tentu saja sekarung pakaian itu tidak dibawa masuk ke kelas, namun dititipkan pada umi kantin di samping kampus.

Entah karena energy yang sangat banyak ataupun kesempatan dan waktu yang dirasa masih luang, selain kegiatan-kegiatan diatas, bu Hindun pun  bekerja sebagai tenaga pemasaran sebuah biro perjalanan umroh dan haji. Hal ini pulalah yang membuat bu Hindun tahun ini bisa kembali berangkat umroh. Subhanallah walhamdulillah….

Belum cukup sampai disitu. Bu Hindun pun berjualan buku yang dikeluarkan oleh Tazkia, yang ditulis oleh Prof Dr Syafi’I Antonio. Dan seperti biasa, buku-buku yang dijual bu Hindun, walaupun mahal menurut saya, tetap saja buku-buku itu laris manis tanjung timpul :).

Apalagi yang dijual bu Hindun??? Masih ada, yaitu (maaf) pakaian dalam wanita yang harganya sangat murah. Mulai dari 10rb sampai 25rb. Tentu saja, dengan harga semurah itu, dagangan bu Hindun pun laris dibeli oleh teman-teman saya untuk dijual kembali.

Belum berhenti sampai disitu. Ketika mendengar saya berjualan makanan cepat saji, bu Hindun pun langsung memesan dan minta diantar ke Cikampek. Semua barang yang bu Hindun jual itu, sudah ada penadahnya masing-masing. Untuk pakaian misalnya, sudah ada orang yang “ngiderin”, makanan jadi sudah ada kiosnya, begitu seterusnya. Luar biasa bukan? Seorang ibu yang penuh dengan seabreg kegiatan namun masih bisa mengurus keluarga dengan baik.

Karena rumah saya dan bu Hindun searah, maka, seringkali kami pulang bersama. Selama perjalanan, kami sering terlibat pembicaraan seru. Tapi, dari sekian lama pembicaraan, hampir tak pernah saya dengar bu Hindun mengeluh. Melihat suatu persoalan selalu dengan optimis. Menurut bu Hindun, setiap masalah pasti selalu ada jalan keluarnya. Tidak ada masalah yang mandeg, begitu istilah bu Hindun.

Selama perjalanan pun, saya sering tertawa dengan kata-kata yang dilontarkan oleh  bu Hindun. Logat Sunda bu Hindun yang begitu kental, membuat bu Hindun sering terpeleset saat mengucap huruf “F” menjadi “P”. misalnya saja, minuman fanta, jadi panta, kata favorit, jadi paporit hehehe :)

Selain berdagang, majlis taklim, agen pemasaran buku dan biro haji dan umroh, bu Hindun dan teman-temannya juga mengelola sebuah yayasan sekolah. Hal ini juga yang membuat bu Hindun sering bertemu dengan Gubernur Jawa Barat saat ini, juga tak jarang bertemu dengan istri Gubernur Jawa Barat yaitu ibu Netty.

Bu Hindun, dengan segala kesibukkannya, tetaplah mahasiswi yang baik dan sangat cerdas. Nilai-nilai bu Hindun tidak pernah dibawah A. Selain karena bu Hindun pernah mengenyam pendidikan di pesantren, bu Hindun juga rajin menyimak penjelasan dosen.

Begitulah bu Hindun. Jarak Cikampek – Jakarta tak pernah dihiraukan. Tekadnya hanya satu, menuntut ilmu dengan baik. Cape dan lelah tak pernah dirasakan. Saya pernah bertanya ,”Bu, emang ga cape yah pulang pergi gitu? Mana ke tanah abang dulu lagi baru ke kampus.” “Ah, saya mah dibawa senang aja. Lagian ini ijin terakhir dari abinya, kalo nanti saya ga boleh kuliah lagi, wah sayang banget.”

Bu Hindun. Dengan seabreg kegiatan, dengan beragam orang yang dikenalnya, mulai dari sopir taksi, ustad Yusuf Mansur hingga Gubernur Jawa Barat, tak membuatnya jumawa. Tetap sederhana, tetap tersenyum dengan siapa saja. Dan yang pasti, tekad bulatnya untuk terus menuntut ilmu, itulah yang membuat saya sangat sangat kagum dengan beliau.



TOPLES MIMPI DAN NOTA KESEPAKATAN


Tentang Mimpi :)

Pagi itu saat saya membaca sebuah surat kabar nasional, mata saya segera tertuju pada sebuah tulisan resonansi mba Asma Nadia. Judul tulisannya Toples Mimpi. Judul yang sangat menarik. Saya langsung membaca tulisan itu dengan seksama. Sama dengan tulisan-tulisan mba Asma, selalu penuh inspirasi dan motivasi. Singkat cerita, saya pun memutuskan membuat hal yang sama untuk suami dan Adam.
Pagi itu, saya memasak dengan pikiran yang menari-nari. Membayangkan saat menulis mimpi bersama, menggulung kertas dan memasukkannya ke dalam toples. Saya tersenyum.

Setelah memasak, saya segera mengambil toples yang memang tidak terpakai. Saya menulis “TOPLES MIMPI” di kaca toples dengan huruf besar. Saya dan Adam menyiapkan kertas A4 dan pulpen. Adam masih penasaran. “Untuk apa sih ma?” Tanya nya. Saya tersenyum, “Addda ajah”. Toples, kertas dan pulpen telah siap. Di ruang tamu oma, kami bertiga berkumpul. “Sekarang, masing-masing kita nulis satu mimpi di kertas kecil. Kalo sudah, langsung masukin ke toples ya. Awas, ga boleh nyontek lo,” kata saya pada suami dan Adam.

Persis seperti yang saya bayangkan saat memasak tadi. Acara menulis mimpi ini menjadi lucu. Bukan apa-apa, karena sebenarnya, kami telah tau mimpi masing-masing. Adam tau apa yang saya impikan. Saya tau apa yang suami impikan, begitu juga saya tau apa yang Adam impikan. Ya, karena sebenarnya sejak pergantian tahun Islam, kami telah bercerita tentang mimpi masing-masing.
Menulis mimpi, bukanlah hal baru bagi saya. Sejak SMP, saya telah hobi menulis mimpi. Begitu juga menulis diary. Apa yang saya inginkan, selalu saya bayangkan dan saya tuliskan. Seringkali saya menjadi tertawaan kakak dan abang saya. Tapi tak mengapa, itu hal yang sangat wajar. Malah, menjadi pemicu saya untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya.

Saat launching STSL di Puncak akhir Desember lalu, saya pun bercerita pada anak-anak La Tansa. Tuliskan mimpi dan tempelkan di tempat yang sering kita lihat. Dan tulislah mimpi secara spesifik. Saya selalu mencontohkan pada adik-adik, anak-anak, teman dan saudara. Dulu, saat saya masih duduk di bangku SMP saya secara spesifik menuliskan criteria orang yang akan menjadi pendamping hidup saya. Dan Alhamdulillah, beberapa criteria memang dimiliki oleh suami saya J. Begitupun saat SMA. Saya ingin sekali jadi pramugari. Kesannya kok enak banget yah. Bisa jalan-jalan gratis, naik pesawat gratis, juga pakaian pramugari yang keren banget. Saat tamat SMA, saya mengantarkan teman untuk mendaftar disebuah maskapai penerbangan nasional. Saya yang saat itu juga ingin sekali mendaftar, harus mengurungkan niat dan menguburkan mimpi saya. Karena ada satu syarat yang memang tidak bisa saya penuhi.

Mimpi bisa terbang gratis tetap saya tanamkan dalam benak, tidak pernah saya hilangkan. Hanya saya memikirkan bagaimana caranya??? Alhamdulillah, tujuh tahun kemudian mimpi itu terwujud. Memang waktu yang cukup lama. Tapi setidaknya saya bisa terbang gratis, umroh gratis, dan tentu saja mendapat gaji yang lebih dari cukup J.
Karena itulah saya selalu menanamkan pada suami dan Adam untuk tidak lelah bermimpi. Tulislah sebanyak-banyaknya.

Tentang toples mimpi sendiri, sebenarnya lebih pada target-target apa yang ingin kami capai dalam setahun ini. Dan rencananya akan dibuka saat akhir tahun nanti. Jika ada target-target yang belum tercapai, maka akan kami evaluasi dan kertas mimpi itu pun akan dimasukkan kembali ke dalam toples, sebagai target atau mimpi tahun berikutnya.


Saat menulis Adam sempat berkata ,” Ahhh mama mah gampang. Mama udah tau mo nulis apa. Pasti mama deh yang paling banyak.” Hehehe…. Saya pun menyemangati Adam ,”Ya, Adam tulis aja mimpi-mimpi Adam yang gampang-gampang aja. Misalnya nih, tiap hari baca Al-Quran minimal satu halaman tiap hari, shalat tepat waktu, atau pingin sepeda baru.” Kata saya sambil tersenyum. “Iiiihhh mama kok tau mimpi Adam,” ucap Adam sambil tersenyum dan garuk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Kami pun tertawa bersama.

“Mama juga tau lo mimpi papa apa,” goda saya pada suami sambil tersenyum. “Hahaha…. Papa juga tau mimpi mama apa aja,” jawab suami saya sambil tertawa. “Ya iyalah, kan papa dan baca mimpi-mimpi yang mama tulis weeee,” dan kami pun kembali tertawa J.

Ya, saya dan Adam memang sudah menulis beberapa mimpi. Hanya kami belum menemukan tempat yang strategis untuk menempel mimpi-mimpi itu. Karena tempat strategis sudah ditempel oleh beberapa tulisan J
Toples mimpi memang belum terisi penuh. Saya sengaja memilih toples berukuran besar. Agar mimpi-mimpi yang ditulis lebih banyak dan detail. Bukan sekedar target menjadi baik, tapi baik yang seperti apa.

Oya, tentang nota kesepakatan, sebenarnya ini sudah pernah dilakukan Adam. Tapi berhubung hari Senin sudah masuk kembali ke sekolah, maka nota kesepakatan juga kembali dibuat. Isinya tentang kesetujuan Adam untuk melakukan hal-hal apa saja setiap harinya. Misalnya setiap pulang sekolah harus melakukan apa, nonton tv hanya boleh hari Jumat saja, main game hanya dua jam, setelah shalat maghrib baca Al-Quran dan belajar dll. Dan itu semua ditulis oleh Adam sendiri. Saya hanya membantu Adam untuk berpikir, kira-kira setiap harinya Adam harus melakukan apa.

InsyaAllah, toples mimpi akan ditutup akhir bulan ini dan dibuka kembali akhir tahun ini. Kira-kira mimpi apa saja ya yang terwujud tahun ini? Berapakah mimpi yang dapat terwujud??? Sepuluh, dua puluh, atau semuanya??? Entahlah. Wallahualam. Yang jelas, dengan mempunyai mimpi atau target, hidup menjadi lebih bersemangat dan lebih terarah. Karena target itu merupakan tujuan hidup bukan? J

Jumat, 06 Januari 2012

LIKA LIKU MENUNTUT ILMU KEMBALI ^___^, bagian akhir


Siang itu tes masuk pun dilaksanakan. Bismillah…. Mengingat jalan yang saya tempuh dari rumah ke kampus masih nyasar-nyasar, maka dengan tekad bulat, saya memutuskan harus lulus dengan baik. Saya harus diterima di kampus ini. Begitu tekad saya dalam hati.

Terus terang pertama kali memutuskan kuliah agama, saya merasa sangat minder. Itu karena saya tidak memiliki pendidikan formal agama. Jadi pertama kali masuk ke kampus untuk ujian masuk, perasaan saya campur aduk, antara ingin sekali diterima dan juga malu sekali.

Saya melihat sekeliling kelas. Wajah-wajah di kelas ini masih sangat muda. Membuat hati saya semakin ciut. Saya pun mencoba membuang semua kegundahan dengan membuka pembicaraan. Pertama kali saya berkenalan dengan seorang akhwat bercadar. Ternyata ia tamatan sebuah pesantren di Solo. Duuhh,,, hati saya makin ciut. Saya kembali melihat sekeliling kelas, mencari orang yang minimal sama lah dengan saya, yang belum pernah menempuh pendidikan pesantren dan belum terlalu fasih berbahasa Arab. Mata saya tertuju pada seorang ibu. Saya pun mendekatinya dan mulai mengobrol. Namanya mba Vivi. Alhamdulillah, latar belakangnya membuat rasa optimis saya bangkit kembali. Walaupun mba Vivi seorang murobbi, tapi ia memberi saya semangat untuk terus menuntut ilmu, kapanpun, dimanapun J, Alhamdulillah.

Ujian masuk pun dimulai. Kelas tidak begitu penuh. Hanya ada sekitar sepuluh orang saja. Kami duduk berjauhan. Kertas-kertas soal dibagikan. Saya memandang mba Vivi, ia tersenyum. Dari tatap matanya saya yakin, ia ingin berkata, kamu bisa. Saya pun balas tersenyum. Ujian dilaksanakan kurang lebih satu jam. Alhamdulillah, walaupun saya tidak yakin dengan beberapa jawaban, tapi ada sebersit harapan bahwa insyaAllah saya akan diterima di kampus ini.

Satu jam lebih ujian dilaksanakan. Tidak ada pengawas yang berlebihan. Pengawas yang ada pun jauh dari tampang angker. Malahan cenderung cuek, pengawas asik membaca kitab berbahasa Arab. Satu persatu peserta berdiri dan mengumpulkan kertas jawabannya. Saya kembali melihat sekeliling, wajah-wajah yang yakin dengan hasil ujiannya. Saya memeriksa kembali soal-soal yang ada di kertas. Setelah yakin (setengah yakin J ), saya pun mengumpulkan kertas jawaban.

Pulang dari ujian masuk, pikiran saya agak tenang, berbeda dengan saat pergi. Saya sudah pasrah. Kalau memang diterima Alhamdulillah, kalau tidak ya yang penting saya sudah berusaha.

Beberapa hari kemudian, hasil ujian masuk diumumkan. Sebenarnya hasil ujian dapat dilihat di website kampus. Tapi saya memutuskan untuk melihat langsung. Kesannya gimana ya, lebih puas melihat langsung J. Saya kembali mengajak mba Desi. Rencana saya, kalau memang saya tidak diterima, masih ada mba Desi yang bisa saya jadikan teman curhat J.

Alhamdulillah, setelah beberapa kali nyasar, kali ini perjalanan menuju kampus lancar. Saya tidak membuang waktu lama, segera saya berjalan menuju papan pengumuman. Mata saya terus mencari. Alhamdulillah Allahuakbar….. saya diterima J. Waahh ga nyangka sama sekali. Senangnya bukan main. Saya segera menghubungi suami, ibu, kakak dan teman-teman. Norak sebentar ga pa pa lah J.

Senyum lebar mengiringi perjalanan saya kembali ke rumah. Sungguh saya ga sangka, setelah lebih 10 tahun menamatkan pendidikan di sebuah universitas negeri di Malang, saat ini saya kembali sebagai mahasiswi baru. Bedanya, 10 tahun yang lalu saya masih gadis, sekarang, saya adalah ibu dari seorang anak, sungguh luar biasa J.

Masih dalam keadaan hati yang berbunga-bunga, saya bertemu dengan teman-teman saya. Tentu yang saya harapkan adalah dukungan dan motivasi dari mereka. Tapi ternyata, jauh dari yang saya bayangkan. 

Beginilah beberapa komentar dari teman-teman saya ;

”wah susah lo kuliah disana, suamiku aja Cuma sampai semester dua.”

Teman saya yang lain bahkan berkata seperti ini ,”ngapain kuliah lagi. Kalo kata suami saya mah, baca aja buku-buku yang ada di rumah, materinya sama aja kok.”

Atau seperti ini ,”kuliah lagi? Ga salah bu? Trus nanti anak sama siapa?”

Yah, berharaplah hanya pada Allah swt. Saya pulang dengan perasaan sangat kecewa. Dukungan yang saya harapkan justru sebaliknya. Saya segera SMS suami. Saya ceritakan semuanya. Begitupun saat tiba di rumah. Saya menceritakan semuanya pada ibu saya. Tak lupa juga saya menghubungi kakak saya di Bandung. Alhamdulillah, semua mendukung keputusan saya. Walaupun agak sedih, tapi saya bersyukur, orang-orang terdekat saya, semua mendukung dan mereka tau kalau saya bisa membagi waktu.

Mengingat kembali semua kejadian itu, membuat saya tersenyum dan sangat bersyukur. Jika dulu mungkin saya agak sedih  karena tidak mendapat dukungan dari teman-teman, saat ini, saya bersyukur teman-teman saya dulu berbuat seperti itu. Karena, berkat mereka lah saya terpacu untuk membuktikan bahwa saya mampu, saya bisa, dan insyaAllah saya akan lulus dengan baik. Aamiin J.

Dan, Alhamdulillah. Saat ini saya sudah semester lima, dan insyaAllah tinggal tiga semester lagi. Selain itu, yang sangat sangat saya syukuri adalah, setiap tiga kali seminggu saya bertemu dengan sosok-sosok luar biasa. Sosok-sosok yang selalu bersemangat, optimis dan penuh ilmu. Subhanallah…Alhamdulillah…

Niat saya untuk melanjutkan S2 pun didukung penuh oleh suami dan anak saya. Saya dan suami sepakat untuk terus melanjutkan pendidikan selama umur dan biaya masih ada. Kami ingin membuktikan pada anak kami, bahwa menuntut ilmu tidak mengenal waktu dan usia.


Wallahualambisawab.

Tamat J

LIKA LIKU MENUNTUT ILMU KEMBALI ^___^, bagian satu


Sebuah cerita 2 tahun yang lalu

“Jadi gimana mba, daftar angkotnya dah dapet?” Tanya saya pada mba Desi. “Udah mba, dari rumah, kita naik mikrolet 29 aja, turun di Cawang, nyambung lagi sampe Trans TV, dari situ kita naik bajaj aja. Karna kata temenku, ga ada angkot yang lewat kampus.” Jawab mba Desi panjang lebar. Alhamdulillah, ucap saya dalam hati.

Entah kenapa, dorongan untuk kuliah kembali begitu kuat. Itulah mengapa sejak beberapa minggu yang lalu, saya dan mba Desi rajin mencari informasi tentang universitas agama. Searching di internet, membaca majalah, sampai bertanya pada banyak orang. Dan, pilihan pun jatuh pada Sekolah Tinggi Dakwah Al-Hikmah (STIDI Al-Himah) di jalan Bangka, Mampang.

Jujur aja, pengetahuan tentang kampus agama minim banget. Saya hanya tau IAIN, itupun setau saya, yang kuliah disana haruslah lulusan SMA, atau fresh graduate lah. Bukan ibu-ibu seperti saya. Kenapa saya ingin kuliah agama? Ya, karna itu tadi, saya merasa selama saya hidup, saya ga pernah benar-benar mendalami agama saya sendiri, walaupun sejak lahir saya sudah memeluk Islam. Sejak SD saya telah belajar membaca Al-Quran, mendengar kisah Nabi-Nabi, mengetahui letak Mekkah, Madinah  dsb. Mengaji seminggu sekali pun telah saya lakoni selama beberapa tahun. Tapi, saya masih saja merasa kurang, kurang dan kurang J.

Tibalah saat dimana saya dan mba Desi mendaftar masuk STIDI Al-Hikmah sebagai mahasiswi baru. Exited, tentu saja. Pagi itu seperti matahari tersenyum maniiisss sekali (hehe,,,,lebay :P). Berkas-berkas persyaratan saya cek kembali. Setelah yakin lengkap, saya pun menghubungi mba Desi untuk janjian di depan perumahan. Suami tercinta sejak pagi sudah wanti-wanti untuk hati-hati di jalan. Hati-hati menyimpan barang dll. Begitu juga bunda tercinta, mengantar saya hingga depan pagar. Waahhh,,,, seperti anak kecil saja. Kan 11 thn yang lalu saya juga pernah kuliah hehe…. J. Hari itu saya memang sengaja tidak membawa kendaraan. Saya ingin membandingkan ongkos yang harus dikeluarkan antara angkot dengan kendaraan pribadi.

Bismillah, saya dan mba Desi pun berangkat. Siang itu jalanan Jakarta cukup padat. Begitu juga keadaan di dalam angkot. Seperti yang disarankan oleh teman mba Desi, kami pun naik mikrolet 29, turun di Cawang, naik bis lagi yang melewati Trans TV, kemudian turun, dilanjutkan dengan bajaj. Alhamdulillah. Sampai di bajaj, supir bajaj bertanya,”Kemana bu?” “Al-Hikmah,” jawab mba Desi yakin. Supir bajaj mengangguk dan menjalankan bajajnya. Huuffhh,,, Alhamdulillah, bisa duduk agak legaan. Tidak lama, kami pun sampai di Al-Hikmah. Setelah membayar, kami berdua langsung masuk ke gedung. Tapi, loh kok begini??? Saya dan mba Desi terbengong-bengong. Ga seperti yang kami bayangkan. Kok malah masjid Al-Hikmah dan didalamnya ada sekolah dasar?? Wah, jangan-jangan salah nih, ucap saya dalam hati. Mba Desi kemudian berinisiatif bertanya pada anak-anak yang sedang asik bermain bola. “Ooooo itu kampus Al-Hikmah. Bukan disini.” Jawab mereka. Dan mereka pun menunjukkan jalan serta patokannya.

Saya dan mba Desi buta sekali daerah Jakarta Selatan, apalagi sampai masuk-masuk jalan kecil segala. Duuuhhh…. Mana siang-siang lagi. Panassss…. Kami berdua jalan kaki menuruti saran anak-anak tadi. Setelah sepuluh menit berputar-putar dan belum juga ketemu. Akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Sambil minum air mineral, kami bertanya lagi pada orang disitu. Dengan seksama saya dan mba Desi mengingat-ingat jalan yang harus kami lalui. Setelah dahaga hilang dan lelah berkurang, kami memutuskan untuk mencoba kembali. Dan, ternyata, kami kembali terputar-putar di jalan Bangka. Ya. Allah, saya ingin mendalami agama-Mu, mudahkanlah ya Allah, ucap saya dalam hati, setengah putus asa. Sekitar satu jam kami hanya berputar-putar di sekitar jalan Bangka, setengah putus asa, kami pun memutuskan untuk bertanya kembali pada sekumpulan anak muda. “Oh, kampus Al-Hikmah, tuh di belakang ibu.” Kata salah satu dari mereka. Waahhh,,,, jadi malu J. Alhamdulillah….. ya Allah…. Akhirnya ketemu juga, jerit saya dalam hati.

Melihat kampus Al-Hikmah pertama kali, yang ada di benak saya hanya satu, sederhana J. Ga mau buang waktu, saya dan mba Desi langsung masuk ke kampus dan menuju kantor pendaftaran. Niat saya untuk kuliah bidang agama selain ingin mendalami kembali agama Islam,  saya juga ingin kelak, jika anak saya menginjak remaja, saya dapat membekalinya dengan pemahaman agama yang baik, hingga ia dapat bertahan dari godaan pergaulan remaja saat ini. Sederhana, hanya itu. Tidak ada pikiran atau niat lainnya.

Setelah mengisi formulir, saya pun menyerahkan berkas-berkas yang saya bawa. Berkas-berkas saya pun diperiksa. Setelah semuanya lengkap dan uang pendaftaran pun sudah dibayar, kami pun memutuskan untuk segera pulang.


Keluar dari kampus, saya dan mba Desi tersenyum. Mengingat perjalanan ke kampus yang muter-muter, kami sama-sama bertanya, gimana kami harus pulang? Lewat jalan yang mana? Kami pun senyum-senyum J sendiri. bersambung insyaAllah.

Kamis, 05 Januari 2012

IBU-IBU LUAR BIASA, bagian 2

Tentang sahabatku,

"Eh, jangan salah lo, umur saya sudah 60-an, udah punya cucu nih." begitulah yang sering diucapkan oleh ibu Yerita. Saya biasa memanggilnya ibu Tin.

Ibu Tin, seorang ibu yang masih sangat gesit. Kegiatan sehari-hari ibu Tin lumayan sibuk. Sebagai pendiri sebuah sekolah Taman Kanak-Kanak dengan konsep alam, membuat ibu Tin setiap hari harus bolak balik Depok-Cibinong. Kadang naik angkot, tapi juga tak jarang membawa mobil sendiri. Dari rumah, menuju TK, dilanjutkan ke kampus, kemudian sore hari kembali ke rumah.

Ibu Tin, memang mempunyai semangat yang luar biasa. Hingga kami, yang masih muda-muda, sering merasa malu. Bagaimana tidak, dengan umur yang sudah lumayan, masih semangat menimba ilmu. "Ga pernah ada kata telat deh," begitu kata bu Tin. Dalam menimba ilmu pun selalu serius dan pantang menyerah. Jika memang bu Tin belum mengerti, maka akan berkali-kali bertanya hingga mengerti. Karena itu juga lah bu Tin tidak pernah mau duduk di bangku belakang, yang banyak digunakan mahasiswi muda untuk ngobrol, bermain hp, atau bahkan tidur :D. Bu Tin selalu memilih bangku paling depan. Walaupun terkadang tidak bisa menjawab pertanyaan dosen, atau terbata-bata dalam bahasa Arab, bu Tin tetap memilih bangku paling depan. Subhanallah....

Saat ujian, ketika beberapa mahasiswi kasak kusuk, bu Tin berkata pada mereka ,"yang penting paham, bukan masalah nilai di kertas." Saat nilai ujiannya kurang memuaskan pun, bu Tin tetap optimis dan berkata,"Aku emang belum paham kok, mau diapain lagi, ga pa-pa di her biar tambah ngerti." :)

Semangat lain yang cukup membuat kagum adalah, kepedulian pada remaja. Bu Tin, termasuk salah satu pencetus gerakan peduli remaja Smart Teen Smart Love. Bahkan, saat ke Puncak untuk launching pun, bu Tin ikut dalam tim. Padahal, hari sebelumnya kegiatan bu Tin sudah cukup padat. Janji bertemu di UKI jam 06.30 pun dipenuhi bu Tin tepat waktu. 

Jarang sekali saya mendengar bu Tin mengeluh. Yang saya dengar selalu kata-kata penuh semangat, motivasi, kepedulian pada lingkungan, remaja dan masih banyak lagi. 

Semoga bu Tin selalu bisa menularkan semangatnya & keoptimisannya dalam memandang suatu masalah kepada kami, yang masih muda-muda ini :).


Senin, 02 Januari 2012

IBU-IBU LUAR BIASA, bagian satu

Tentang sahabatku

Saya baru mengenalnya kurang lebih dua tahun, sejak ia dan saya sama-sama duduk di bangku kuliah. 

Pertama kali kenal, tidak hal yang istimewa. Namun, seiring waktu, ia sering membuat mulut saya menganga :D. Bagaimana tidak? Ia mempunyai sembilan anak. Note : SEMBILAN ANAK. Bukan dua atau tiga. Dan kesemuanya adalah perempuan. Subhanallah..... Dari cerita-cerita yang saya dengar, punya dua anak perempuan saja sudah ribet, apalagi sembilan :)

Setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, ia menempuh jarak -+60an km, dari rumah menuju kampus. Dan itu semua menggunakan kendaraan umum. Mulai dari angkot-angkot kecil, sampai bus besar dan metromini. Itu sudah menjadi santapan 3x perminggu. Alasannya hanya satu, UNTUK MENDAPAT ILMU. Lagi-lagi saya hanya bisa berucap subhanallah.

Tahun ini, ia pun kembali membuat mulut saya menganga :D. Karena, ternyata ia memasukkan anak pertamanya ke kampus kami. Anak tertuanya mengambil dua jurusan sekaligus. Kelas pagi berbeda jurusan, sedangkan sorenya, jurusan yang sama dengan kami. Luar biasa.....

Kembali ke teman saya. Selama mengenalnya, jarang sekali saya mendengar ia berkeluh kesah. Bahkan ketika terjadi kemacetan yang parah pun, ia malah bercerita berbagai hal, yang sering membuat saya termotivasi bahkan terinspirasi.

Banyak hal yang diceritakannya. Mulai dari bagaimana ia memenej waktu anak-anaknya, mengatur uang belanja, mengisi beberapa pengajian, sampai kisahnya tentang tabloid yang dikelolanya saat ini. Saya selalu tergelitik dengan pertanyaan,"Kok bisa sih ga punya khadimat? Gimana ngaturnya?" 

Mau tau jawabannya apa? "Alhamdulillah bisa bu, kan anak saya sembilan, tinggal diatur aja tugasnya masing-masing. Lagian, khadimat mana mau kerja dirumah saya. Wong masak aja sebakul, belum lagi cucian dan setrikaan yang menggunung." Hehe,,, iya yah, bener juga, khadimat sekarang memang pilih-pilih tempat kerja :P

Oya, jangan dikira karena jumlah anaknya yang banyak, jarak tempuh dari rumah ke kampus yang jauh, membuat sahabat saya ini jarang kuliah. Salah! Malahan, absennya jarang sekali kosong. Kalau betul-betul ada hal yang tidak bisa ditinggalkan barulah ia menitip untuk diijinkan. Bahkan, sakit pun ia tetap memaksa masuk.

Seperti kejadian baru-baru ini. Sahabat saya dan teman-temannya mengisi liburan dengan refting. Entah bagaimana, sahabat saya yang masih belum mahir itu, terpental dari perahu dan kepalanya membentur batu besar. Bibirnya pecah dan beberapa giginya pun patah. Hal ini menyebabkan bibir atasnya harus dijahit, hingga membuat ia susah untuk bicara. 



Tapi, subhanallah, walaupun sakit seperti itu. Ia tetap memaksa untuk kuliah. Ketika saya tanya ,"Bu, udah deh, istrahat aja dirumah." Apa jawabannya??? "Ga bu, ga pa pa, saya tetap kuliah. Kalo dirumah malah sakitnya terasa. Cenut-cenut terus. Kalo di kampus kan ga. Saya bisa becanda dengan teman-teman, bisa ketemu dengan ustad-ustad. Ga pa pa kok, insyaAllah." Lagi-lagi subhanallah. 


Bagaimana dengan nilai-nilai kuliahnya? Setahu saya, sejak semester 1, nilai sahabat saya ini tidak ada yang C, lebih banyak A dan sedikit B. Dikelas pun ia kritis, sangat kritis malah :). Sering mengajukan pertanyaan yang jarang dipikirkan oleh saya dan teman-teman.


Saya berharap, semoga, jika kuliah ini usai, persabatannya saya dengannya tidak usai juga.

Tetap semangat ya sahabatku.... :)

to my bestfriend bu Ida Rosana.