“sebuah
kisah nyata, ketika seorang wanita memutuskan untuk mengenakan hijab”
11 tahun
yang lalu
Widya
terlahir dari keluarga muslim. Widya adalah anak terakhir dari empat
bersaudara, yang kesemuanya adalah perempuan. Sejak lahir, Widya dan
keluarganya tinggal di kawasan Bogor. Rumah mereka sederhana, hanya terdiri
dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan ruang tamu yang
merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan. Namun, walaupun sederhana,
keluarga Widya tidak pernah merasa kekurangan.
Pengetahuan
beragama orangtua Widya terbatas, sehingga menyebabkan Widya bebas bergaul
dengan siapapun, baik lelaki, maupun perempuan, juga tidak pernah dilarang
untuk mengikuti perayaan agama tertentu. Saat Widya duduk di bangku SMP, ia dan
teman-temannya membentuk sebuah gank yang semuanya beranggotakan perempuan. Anggota
gank terdiri dari lima orang. Saat itu yang ada dalam pikiran mereka hanyalah
main, main dan main. Jadilah mereka
sering bolos sekolah, nongkrong di mall-mall, keluar kota tanpa ijin, dan
berbagai kenakalan remaja pada umumnya.
Diantara
anggota gank Widya, dua orang beragama Nasrani, dan Widya pun paling dekat
dengan mereka. Sering kali Widya diajak menemani mereka ke gereja. Selain itu,
Widya pun sering diajak untuk ikut perayaan agama mereka. Karena pengetahuan
Islam Widya sangat rendah, maka, tanpa rasa bersalah, Widya pun rela ikut
acara-acara keagamaan mereka. Hingga suatu saat, Widya ingin sekali memeluk
agama mereka. sekolah Widya yang berlokasi di samping sebuah gereja, semakin
memperkuat keinginan Widya untuk pindah agama. Dalam pandangannya, betapa
enaknya beragama nasrani. Bebas, lepas, tidak beribadah setiap hari, damai,
jarang bertikai, dan yang jelas, teman satu gank Widya pun sangat berpengaruh
padanya. Begitu memperhatikan pada Widya dan sikapnya pun sangat baik.
Pertentangan
batin bukannya tidak ada. Dalam hati kecil sebenarnya Widya masih ragu. Namun,
pengaruh lingkungan begitu kuat. Bagaimana tidak? Setiap hari, dalam pandangannya,
Widya melihat keindahan gereja, saat Widya menemani teman-temannya ke gerejapun,
Widya sering mendengar ceramah yang disampaikan oleh pendeta, dan Widya
menikmatinya.
Ditengah pergolakan
batin yang cukup lama, salah seorang kakak Widya pun membaca gelagat Widya yang
mulai sering meninggalkan shalat. Tak ingin adiknya larut dalam kegalauan,
kakak Widya pun memutuskan untuk mengajak Widya berbicara dari hati ke hati.
Kekeringan jiwa segera terbaca dari cerita yang mengalir dari mulut Widya. Saat
itu Widya telah duduk di bangku terakhir SMP. Karena tidak ingin adiknya tenggelam
lebih dalam, maka sejak itu, kakak Widya mulai sering mendampingi Widya. Dan, Alhamdulillah
Widya segera tersadar dari kesalahannya. Sesaat sebelum menempuh ujian akhir
SMP, Widya pun memutuskan untuk mengenakan hijab, walaupun belum sempurna.
Kedua orang
tua Widya yang mengetahui anaknya mengenakan hijab, segera menentang dan
melarang. Dalam pandangan orangtuanya, hijab akan membuat susah Widya. Susah dapat
jodoh, susah dapat kerja, dll. Namun Widya tetap pada keputusannya. Walaupun dalam
hati Widya juga tidak terlalu yakin dengan tindakannya itu.
Lulus dari
SMP, Widya diterima di SMAN yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Saat itu,
Widya masih galau, dalam satu sisi, Widya mulai merasa nyaman dengan hijabnya,
namun di sisi lain, lingkungan sekolahnya kurang mendukung. Remaja yang
mengenakan hijab saat itu, belumlah banyak, bisa dihitung dengan jari. Ditambah
lagi, teman-teman gank semasa SMP pun mulai sering menghampiri Widya dan
kembali mempengaruhi WIdya. Saat hati nya semakin galau, tanpa sengaja, Widya
membaca sebuah selebaran di majalah dinding sekolah. Disitu tertulis, ajakan
untuk mengenal Islam lebih dalam, dengan cara bergabung dengan ROHIS. Widya pun
tertarik.
Tanpa
menunggu waktu, Widya segera mendatangi musholla yang dijadikan pusat kegiatan ROHIS
sekolahnya. Widya diterima dengan tangan terbuka oleh pengurus dan anggota
ROHIS. Sejak saat itu, Widya seperti menemukan oase di padang pasir. Kekeringan
hati yang dirasakan selama ini pun, seperti disiram air yang sangat sejuk. Setiap
seminggu sekali, Widya rajin mengikuti kajian Islam di musholla. Banyak pertanyaan-pertanyaan
yang Widya ungkapkan dan hamper semua bisa terjawab.
Widya
menemukan komunitasnya. Ia tidak lagi merasa sendiri. Ketika ada masalahpun,
Widya mempunyai tempat untuk bercerita dan memberi solusi dari sisi agama yang
membuat hatinya semakin tenang.
Hal ini
terus berlangsung hingga Widya pun menamatkan SMA nya. Namun, cobaan kembali datang
pada Widya. Karena keterbatasan ekonomi, Widya tidak dapat melanjutkan
pendidikan ke tingkat universitas. Maka, Widya pun memutuskan untuk mencari
kerja. Satu hari, Widya mendapat panggilan dari sebuah perusahaan elektronik
besar di Indonesia. Setelah menjalani berbagai macam tes, Widya pun diterima,
namun dengan syarat harus membuka hijab. Widya pun tertegun. Sempat ada rasa ragu,
namun teringat ucapan gurunya saat di ROHIS tentang ketentuan muslimah
mengenakan hijab, hati Widya pun kembali mantap. Ia tidak bersedia membuka
hijabnya. Widya yakin, ketika ia memutuskan untuk menegakkan syariat, maka
Allah swt pasti akan menolongnya.
Namun,
ternyata cobaan tidak berhenti sampai
disitu. Lamaran yang dikirim Widya ke sebuah jaringan department store terbesar
di Indonesia, diterima. Saat panggilan wawancara, tanpa ada rasa sedikitpun,
sang pewawancara mengatakan pada Widya, jika ingin diterima bekerja, Widya
harus membuka hijabnya. Kembali Widya menolak.
Widya tidak
putus asa, dalam hati ia yakin, Allah swt pasti memberinya rezeki. Dan benar
saja, Widya diterima bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Sebenarnya, jarak
perusahaan konveksi tersebut sangat jauh dengan rumah Widya, yaitu, sekitar
jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Setiap hari, ia harus naik kereta api dari
stasiun Bogor sejak pukul lima dini hari dan pulang pukul delapan malam. Tapi ternyata,
semakin lama, pekerjaan ini membebani jiwa Widya. Bukan karena gaji yang sangat
kecil, juga bukan karena jarak yang sangat jauh. Tapi, kesempatan untuk shalat
yang selalu dihalang-halangi oleh majikannya lah yang membuat Widya merasa
tidak nyaman. Pekerjaan sengaja dibuat menumpuk saat-saat shalat. Jika pun
shalat bisa dilaksanakan, tidak bisa dalam waktu lama. Karena majikan Widya
akan segera mengeluarkan binatang peliharaannya untuk berkeliaran di sekitar
tempat Widya shalat. Akhirnya, Widya pun memutuskan untuk keluar.
Widya bingung, ia tidak ingin membebani kedua
orangtuanya. Namun, ia juga tidak ingin melepaskan hijabnya demi sebuah
pekerjaan. Dalam kebimbangannya, seorang teman mengajak Widya untuk bekerja
menjadi guru TK. Tanpa pikir panjang, Widya pun menerima ajakan itu. Walaupun gajinya
tak seberapa, namun Widya merasa nyaman, karena diperbolehkan mengenakan hijab.
Walau penghasilannya pas-pasan, Widya tetap berusaha menyisihkan gajinya untuk
ditabung. Dengan tabungannya itulah Widya memutuskan untuk meneruskan
pendidikan ke PGTK yang lamanya satu tahun.
Tamat dari
PGTK, Widya diajak temannya untuk bergabung dengan sebuah TK Islam yang baru saja didirikan. Tanpa berpikir lama,
Widya segera menerima ajakan tersebut.
Dua tahun
setelah bekerja, Widya merasakan kehausannya dalam beragama, tidak cukup
menimba ilmu agama seminggu sekali, Widya pun memutuskan untuk kuliah lagi di
sebuah sekolah tinggi agama Islam. Disinilah Widya seperti menemukan jati
dirinya yang hilang. Walaupun lelah sehabis mengajar, Widya rela menempuh jarak
yang jauh untuk memperdalam agamanya. Ia tidak ingin lagi mengingat-ngingat
masa lalunya yang memalukan. Ia ingin bertobat. Ia ingin tetap di jalan ini. Dan
ia ingin ikut menyebarkan Islam, agar tak ada lagi remaja-remaja yang mengalami
kegamangan seperti dirinya.
*seperti
yang dikisahkan seorang teman. Nama, wilayah tempat tinggal & sekolah
adalah samaran.