"sebuah kisah nyata, ketika seorang wanita memutuskan untuk mengenakan hijab"
"Saya itu bu,
dulu termasuk anak yang sangat nakal. Ibu tau pil bk ga? Itu yang biasa dipake
anak-anak jaman dulu kalo mo nge fly? Nah, saya dulu biasa pake obat itu."
Jelas bu Lastri pada saya.
Saya terbengong-bengong. "Subhanallah.... subhanallah...... Allahuakbar....
saya ga nyangka sama sekali." Ucap saya sambil memandang penampilan bu
Lastri dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bu Lastri pun tersenyum. "Saya
maklum bu, memang ga ada yang menyangka masa lalu saya kelam." Dan cerita
pun mengalir dari mulut bu Lastri.
Sebut saja namaku
Lastri. Tahun ini usiaku genap empat puluh tahun. Alhamdulillah, aku telah
menikah dan dikaruniai tiga orang anak yang shaleh, lucu dan sehat. Kehidupan
rumah tanggaku sampai saat ini alhamdulillah baik-baik saja. Kalaupun ada
kerikil-kerikil, aku anggap itu sebagai sebuah kewajaran dan ujian dari Allah,
agar kita lebih baik dari waktu ke waktu.
Kalau aku melihat
hidupku saat ini, sungguh aku merasa sangat sangat bersyukur. Rumah tangga yang
adem, tentrem, anak-anak yang sehat, ekonomi keluarga yang cukup, dan masih
banyak lagi. Bagiku ini seperti sebuah mimpi.
25 tahun yang
lalu, aku tak pernah membayangkan hidupku kelak akan seperti apa. Saat aku
berumur lima belas tahun, saat pertama kali menginjak bangku SMA. Saat itulah
kenakalanku dimulai.
Aku tumbuh di
keluarga dengan pemahaman agama yang sangat minim. KTP keluargaku Islam, tapi
kami jarang sekali shalat, apalagi membaca Al-Quran. Aku adalah
anak kelima dari enam bersaudara. Kakak ku semua laki-laki, aku dan adikku yang
kecil perempuan. Karena kakak ku laki-laki, maka aku pun terbawa dalam
pergaulan ala laki-laki.
Penampilanku pun cenderung tomboy. Salah satu
kegemaranku waktu itu adalah mengenakan celana jeans sobek-sobek. Kalau sobek
nya semakin besar, semakin banggalah aku. Lama kelamaan, tanpa aku sadari, aku
terpengaruh bukan hanya dari segi penampilan, tapi sudah masuk ke perilaku.
Aku mulai berani mencoba menghisap rokok. Awalnya, aku
merayu kakakku untuk mengijinkan aku mencoba sebatang saja. Namun, akhirnya
dari satu batang menjadi berbatang-batang setiap harinya. Orangtuaku tidak
pernah melarang, karena mereka tidak terlalu peduli dengan pergaulan ku. Karena
bagi mereka, selama nilai-nilai pelajaran ku bagus, tidak ada merah, itu sudah
cukup.
Selain merokok, aku pun mulai berpacaran. Awalnya, aku
diperkenalkan dengan salah seorang teman kakakku. Karena sering bertemu,
akhirnya kami pun memutuskan untuk “jadian”. Cukup lama aku menjalin hubungan
dengannya. Namun, karena setamat SMA diminta orangtuanya untuk melanjutkan
pendidikan di luar negeri, maka kami pun akhirnya memutuskan hubungan.
Sejak itulah, selain aku tenggelam memakai
obat-obatan, aku pun menjadi petualang cinta. Dari satu lelaki pindah ke lelaki
lain. Jika aku mengingat masa kelamku, ya Allah… aku begitu malu pada Allah
swt. Allah swt, masih memberiku waktu untuk bertaubat, walaupun dosa ku sudah
begitu banyak. Ah, jika mengingat dosa, rasanya mata ini tak berhenti menangis.
Kepala ini ingin selalu sujud, memohon ampun.
Begitulah, singkatnya, masa-masa sekolah SMA, aku
menjadi wanita liar. Namun, entah bagaimana, dulu aku bisa mengikuti pelajaran
dengan baik, lulus pun dengan nilai yang baik.
Saat menginjak bangku kuliah, aku mulai merasa bosan
dengan pola hidup yang kujalani. Aku bosan dengan obat-obatan, bosan dengan
para lelaki, bosan dengan kehidupan malam. Aku merasa seperti ada ruang hampa. Aku
bosan. Benar-benar bosan. Rasanya ingin mati saja. Mungkin sudah jalan Allah
swt, ketika aku mulai merasa bosan dengan hidupku, salah satu kakakku
memutuskan untuk bertobat. Orangtua ku pun mulai sakit-sakitan. Ekonomi kami
mulai terpuruk.
Aku mulai labil. Disatu sisi, aku tetap ingin kuliah,
namun disisi lain, aku tidak tega membebani ekonomi keluarga. Aku kasihan
dengan adikku yang selalu menunggak biaya SPP. Memang salah satu kakakku sudah
ada yang bekerja, namun, itu belum cukup untuk membiayai obat-obatan kedua
orangtuaku. Akhirnya dengan kemampuan seadanya, aku memutuskan untuk bekerja.
Saat itu, sebuah rumah sakit ternama di bilangan Lebak
Bulus, membuka penerimaan karyawan baru, minimal D1 dan terbiasa menggunakan computer.
Bersyukur pada Allah swt, walaupun aku bukan D1 jurusan computer, namun karena
aku mahir dalam computer, maka aku pun diterima bekerja di rumah sakit itu.
Inilah awal titik balik hidupku. Setiap hari, di rumah
sakit, aku melihat pemandangan yang menyejukkan. Aku berkenalan dengan beberapa
teman kerja wanita yang memakai kerudung panjang. Dengan mereka, aku merasa
sangat nyaman. Cara bicara mereka sopan, tidak pernah tertawa berlebihan,
selalu tersenyum dan yang membuatku semakin kagum adalah kedekatan mereka
dengan Al-Quran. Saat istirahat makan siang, sering mereka gunakan untuk
membaca Al-Quran. Dengan suara pelan, wajah tertunduk khusyuk, mereka membaca
ayat-ayat Allah swt dengan begitu indahnya. Sering kali aku terpana
mendengarnya.
Perlahan, aku pun mulai memakai pakaian yang agak
panjang. Aku mulai membeli buku-buku agama. Aku penasaran dengan teman-temanku
yang memakai kerudung itu. Mengapa mereka mau menutup auratnya? Mengapa ketika
berbicara dengan lelaki, mereka tidak berani menatap matanya? Mengapa mereka
selalu membaca AL-Quran? Ada apa di Al-Quran? Begitu banyak pertanyaan yang
menari di kepalaku, membuatku semakin sering keluar masuk toko buku.
Perubahan sikapku ternyata menjadi perhatian kakakku
yang telah bertaubat. Suatu hari, ia mengajak aku untuk menghadiri sebuah
pengajian di salah satu masjid besar di bilangan Kebayoran. Awalnya, aku
menolak. Aku malu. Bingung. Aku harus memakai baju apa? Namun, kakakku
meyakinkan, semua akan baik-baik saja. Tidak usah dandan berlebihan. Cukup masuk
masjid, duduk, dan mendengarkan apa yang dikatakan penceramah. Kalaupun aku
bosan dan tidak nyaman, kakakku bersedia mengantarku pulang. Begitu kata
kakakku.
Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut dengan kakakku. Berdua
kami pergi ke masjid itu. Mendekati masjid, hatiku semakin campur aduk, perutku
terasa tidak enak, keringat dingin mengucur. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku
takut mati. Sangat takut. Sampai-sampai aku sesak nafas. Aku tidak pernah
menderita asma. Namun, entah bagaimana, saat itu, nafasku terasa sangat sesak. Dadaku
naik turun. semakin mendekati masjid, badanku terasa dingin. Aku tidak bisa
bernafas melalui hidung. Badanku pun terasa kejang. Keadaan kami yang saat itu
di kendaraan umum, membuat kakakku panic. Ia meminta sopir bus untuk
menghentikan kendaraan. Kakakku memapah ku masuk ke dalam pekarangan masjid. Setelah
itu dunia terasa gelap. Aku pun pingsan.
Tak berapa lama, aku merasa mendengar suara lantunan
ayat-ayat Al-Quran. Aku pun merasa kaki ku seperti dipijit-pijit. Perlahan, aku
membuka mata. Ah, aku merasa seperti dikelilingi oleh malikat. Beberapa wanita
mengelilingiku. Aku kenal dengan salah satunya. Ternyata teman satu kantorku. Ia
tersenyum. Aku kembali melihat sekeliling. Aku baru sadar, aku dibaringkan di
salah satu pojok dalam masjid. Di kelilingi wanita berkerudung panjang,
ditambah lagi dengan cat dinding masjid yang putih, cuaca yang sejuk, membuatku
merasa damai, perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Sejak itu, aku memutuskan untuk mengenakan kerudung. Cukup
sudah episode hidupku yang kelam. CUKUP. Aku tidak mau lagi kembali kesana. Aku
tidak mau lagi hidup bergelimang dosa. Aku ingin hidupku tenang, aku ingin
hidup dekat dengan Allah swt, aku ingin dicintai Allah swt.
Sejak itu pula, aku memutuskan untuk hijrah seutuhnya.
Semua yang Allah swt haramkan, aku jauhi. Tentu saja ini perubahan yang besar
dan berat. Namun, aku sudah memantapkan dalam hati, aku ingin taubatku
benar-benar diterima. Cukuplah masa lalu sebagai kenangan. Aku tidak ingin
terulang dan aku juga tak ingin keluarga ku mengalami hal yang sama.
Bu Lastri memandang saya sambil tersenyum. “Yah,
begitulah bu, kisah saya. Mudah-mudahan kita semua bisa mengambil hikmah yah. Jangan
sampai ada yang seperti saya. Saya benar-benar bersyukur masih dikasih
kesempatan oleh Allah swt untuk bertaubat.” Saya mengangguk. Ya, bu Lastri
benar. Bersyukur dengan kesempatan yang selalu diberi Allah swt. Ah, sering
kali kitalah yang tidak memanfaatkan waktu untuk bertaubat pada-Nya, dan ketika
saatnya tiba, kita pun menyesal.
Ya Allah…. Betapa banyak hikmah yang bisa umat-Mu
ambil. Betapa hidayah itu sangat dekat, namun begitu sedikit orang yang mau
mengambilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar