Rabu, 11 Januari 2012

HIJRAH, bagian satu


“sebuah kisah nyata, ketika seorang wanita memutuskan untuk mengenakan hijab”

11 tahun yang lalu

Widya terlahir dari keluarga muslim. Widya adalah anak terakhir dari empat bersaudara, yang kesemuanya adalah perempuan. Sejak lahir, Widya dan keluarganya tinggal di kawasan Bogor. Rumah mereka sederhana, hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan ruang tamu yang merangkap sebagai ruang keluarga dan ruang makan. Namun, walaupun sederhana, keluarga Widya tidak pernah merasa kekurangan.

Pengetahuan beragama orangtua Widya terbatas, sehingga menyebabkan Widya bebas bergaul dengan siapapun, baik lelaki, maupun perempuan, juga tidak pernah dilarang untuk mengikuti perayaan agama tertentu. Saat Widya duduk di bangku SMP, ia dan teman-temannya membentuk sebuah gank yang semuanya beranggotakan perempuan. Anggota gank terdiri dari lima orang. Saat itu yang ada dalam pikiran mereka hanyalah main, main dan main.  Jadilah mereka sering bolos sekolah, nongkrong di mall-mall, keluar kota tanpa ijin, dan berbagai kenakalan remaja pada umumnya.

Diantara anggota gank Widya, dua orang beragama Nasrani, dan Widya pun paling dekat dengan mereka. Sering kali Widya diajak menemani mereka ke gereja. Selain itu, Widya pun sering diajak untuk ikut perayaan agama mereka. Karena pengetahuan Islam Widya sangat rendah, maka, tanpa rasa bersalah, Widya pun rela ikut acara-acara keagamaan mereka. Hingga suatu saat, Widya ingin sekali memeluk agama mereka. sekolah Widya yang berlokasi di samping sebuah gereja, semakin memperkuat keinginan Widya untuk pindah agama. Dalam pandangannya, betapa enaknya beragama nasrani. Bebas, lepas, tidak beribadah setiap hari, damai, jarang bertikai, dan yang jelas, teman satu gank Widya pun sangat berpengaruh padanya. Begitu memperhatikan pada Widya dan sikapnya pun sangat baik.

Pertentangan batin bukannya tidak ada. Dalam hati kecil sebenarnya Widya masih ragu. Namun, pengaruh lingkungan begitu kuat. Bagaimana tidak? Setiap hari, dalam pandangannya, Widya melihat keindahan gereja, saat Widya menemani teman-temannya ke gerejapun, Widya sering mendengar ceramah yang disampaikan oleh pendeta, dan Widya menikmatinya.

Ditengah pergolakan batin yang cukup lama, salah seorang kakak Widya pun membaca gelagat Widya yang mulai sering meninggalkan shalat. Tak ingin adiknya larut dalam kegalauan, kakak Widya pun memutuskan untuk mengajak Widya berbicara dari hati ke hati. Kekeringan jiwa segera terbaca dari cerita yang mengalir dari mulut Widya. Saat itu Widya telah duduk di bangku terakhir SMP. Karena tidak ingin adiknya tenggelam lebih dalam, maka sejak itu, kakak Widya mulai sering mendampingi Widya. Dan, Alhamdulillah Widya segera tersadar dari kesalahannya. Sesaat sebelum menempuh ujian akhir SMP, Widya pun memutuskan untuk mengenakan hijab, walaupun belum sempurna.

Kedua orang tua Widya yang mengetahui anaknya mengenakan hijab, segera menentang dan melarang. Dalam pandangan orangtuanya, hijab akan membuat susah Widya. Susah dapat jodoh, susah dapat kerja, dll. Namun Widya tetap pada keputusannya. Walaupun dalam hati Widya juga tidak terlalu yakin dengan tindakannya itu.

Lulus dari SMP, Widya diterima di SMAN yang agak jauh dari tempat tinggalnya. Saat itu, Widya masih galau, dalam satu sisi, Widya mulai merasa nyaman dengan hijabnya, namun di sisi lain, lingkungan sekolahnya kurang mendukung. Remaja yang mengenakan hijab saat itu, belumlah banyak, bisa dihitung dengan jari. Ditambah lagi, teman-teman gank semasa SMP pun mulai sering menghampiri Widya dan kembali mempengaruhi WIdya. Saat hati nya semakin galau, tanpa sengaja, Widya membaca sebuah selebaran di majalah dinding sekolah. Disitu tertulis, ajakan untuk mengenal Islam lebih dalam, dengan cara bergabung dengan ROHIS. Widya pun tertarik.

Tanpa menunggu waktu, Widya segera mendatangi musholla yang dijadikan pusat kegiatan ROHIS sekolahnya. Widya diterima dengan tangan terbuka oleh pengurus dan anggota ROHIS. Sejak saat itu, Widya seperti menemukan oase di padang pasir. Kekeringan hati yang dirasakan selama ini pun, seperti disiram air yang sangat sejuk. Setiap seminggu sekali, Widya rajin mengikuti kajian Islam di musholla. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang Widya ungkapkan dan hamper semua bisa terjawab.
Widya menemukan komunitasnya. Ia tidak lagi merasa sendiri. Ketika ada masalahpun, Widya mempunyai tempat untuk bercerita dan memberi solusi dari sisi agama yang membuat hatinya semakin tenang.

Hal ini terus berlangsung hingga Widya pun menamatkan SMA nya. Namun, cobaan kembali datang pada Widya. Karena keterbatasan ekonomi, Widya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Maka, Widya pun memutuskan untuk mencari kerja. Satu hari, Widya mendapat panggilan dari sebuah perusahaan elektronik besar di Indonesia. Setelah menjalani berbagai macam tes, Widya pun diterima, namun dengan syarat harus membuka hijab. Widya pun tertegun. Sempat ada rasa ragu, namun teringat ucapan gurunya saat di ROHIS tentang ketentuan muslimah mengenakan hijab, hati Widya pun kembali mantap. Ia tidak bersedia membuka hijabnya. Widya yakin, ketika ia memutuskan untuk menegakkan syariat, maka Allah swt pasti akan menolongnya.

Namun, ternyata cobaan  tidak berhenti sampai disitu. Lamaran yang dikirim Widya ke sebuah jaringan department store terbesar di Indonesia, diterima. Saat panggilan wawancara, tanpa ada rasa sedikitpun, sang pewawancara mengatakan pada Widya, jika ingin diterima bekerja, Widya harus membuka hijabnya. Kembali Widya menolak.

Widya tidak putus asa, dalam hati ia yakin, Allah swt pasti memberinya rezeki. Dan benar saja, Widya diterima bekerja di sebuah perusahaan konveksi. Sebenarnya, jarak perusahaan konveksi tersebut sangat jauh dengan rumah Widya, yaitu, sekitar jalan Wahid Hasyim Jakarta Pusat. Setiap hari, ia harus naik kereta api dari stasiun Bogor sejak pukul lima dini hari dan pulang pukul delapan malam. Tapi ternyata, semakin lama, pekerjaan ini membebani jiwa Widya. Bukan karena gaji yang sangat kecil, juga bukan karena jarak yang sangat jauh. Tapi, kesempatan untuk shalat yang selalu dihalang-halangi oleh majikannya lah yang membuat Widya merasa tidak nyaman. Pekerjaan sengaja dibuat menumpuk saat-saat shalat. Jika pun shalat bisa dilaksanakan, tidak bisa dalam waktu lama. Karena majikan Widya akan segera mengeluarkan binatang peliharaannya untuk berkeliaran di sekitar tempat Widya shalat. Akhirnya, Widya pun memutuskan untuk keluar.

Widya bingung, ia tidak ingin membebani kedua orangtuanya. Namun, ia juga tidak ingin melepaskan hijabnya demi sebuah pekerjaan. Dalam kebimbangannya, seorang teman mengajak Widya untuk bekerja menjadi guru TK. Tanpa pikir panjang, Widya pun menerima ajakan itu. Walaupun gajinya tak seberapa, namun Widya merasa nyaman, karena diperbolehkan mengenakan hijab. Walau penghasilannya pas-pasan, Widya tetap berusaha menyisihkan gajinya untuk ditabung. Dengan tabungannya itulah Widya memutuskan untuk meneruskan pendidikan ke PGTK yang lamanya satu tahun.

Tamat dari PGTK, Widya diajak temannya untuk bergabung dengan sebuah TK Islam  yang baru saja didirikan. Tanpa berpikir lama, Widya segera menerima ajakan tersebut.

Dua tahun setelah bekerja, Widya merasakan kehausannya dalam beragama, tidak cukup menimba ilmu agama seminggu sekali, Widya pun memutuskan untuk kuliah lagi di sebuah sekolah tinggi agama Islam. Disinilah Widya seperti menemukan jati dirinya yang hilang. Walaupun lelah sehabis mengajar, Widya rela menempuh jarak yang jauh untuk memperdalam agamanya. Ia tidak ingin lagi mengingat-ngingat masa lalunya yang memalukan. Ia ingin bertobat. Ia ingin tetap di jalan ini. Dan ia ingin ikut menyebarkan Islam, agar tak ada lagi remaja-remaja yang mengalami kegamangan seperti dirinya.

*seperti yang dikisahkan seorang teman. Nama, wilayah tempat tinggal & sekolah adalah samaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar