Sabtu, 22 September 2012

CINTA JANGAN KAU PERGI....


Cinthya membunyikan klakson mobilnya beberapa kali di depan pagar rumahnya. “Ugh, kemana saja orang rumah, kok ga ada satupun yang membukakan pagar,” gumam Cintyha dalam hati. Dibunyikan nya lagi klakson mobil agak lama. Dari dalam rumah, keluar sosok pria berjalan agak tergopoh-gopoh. Cintyha segera beranjak turun dari mobil. “Kok mas yang buka pagar, si mbok kemana?” tanya Cithya heran pada suaminya. 

“Masuklah dulu, nanti didalam aku ceritakan.” Jawab Bimo, suami Cintyha  sambil membukakan pagar. Cintyha naik kembali ke mobil, dan segera memasukkan mobilnya ke garasi rumahnya.

“Memang si mbok kemana sih mas?” tanya Cinthya lagi pada suaminya, setelah mereka berdua sama-sama duduk di meja makan. “Si mbok minta ijin pulang, anaknya sakit, ga ada yang ngurus. Ya, aku ijinkan.” Jawab Bimo.

Cinthya kaget ,”Mas ini gimana sih, kok ga bilang-bilang ke aku, kan bisa telpon mas, kalo si mbok pulang, trus yang ngurus rumah siapa, aku kan sibuk di kantor, kamu gimana sih,” kata Cinthya pada suaminya panjang lebar. “Aku tadi telpon-telpon kamu terus kok. tapi ga pernah kamu angkat. Aku telpon ke sekretarismu, katanya kamu lagi meeting, aku telpon lagi, ga diangkat lagi, trus kata sekretarismu meeting lagi.” Bimo berkata sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Cinthya.

“Mas, aku kan belum selesai ngomong, kok kamu udah pergi sih.” Cinthya berkata sambil mengejar Bimo ke dalam kamar. “Aku cape de, nafasku sesak sejak tadi sore, karena si mbok pulang terburu-buru, dia ga sempat menyiapkan makan malam untukku. Jadi aku tadi ke warung depan sendiri. Aku mau istrahat dulu,” jawab Bimo.

Cinthya cemberut sambil memandangi suaminya. Dibiarkan suaminya berjalan masuk kamar seorang diri. Cinthya kembali duduk di kursi makan. Nafsu makannya mendadak hilang. Ia termenung. Mengingat kembali saat-saat pertama kali menikah degan Bimo. Usia mereka memang terpaut jauh, tujuh belas tahun. Waktu itu Bimo berumur tiga puluh tujuh tahun, sedangkan Cinthya baru berumur dua puluh tahun. Saat itu Cinthya sangat mengagumi sosok Bimo yang kebapaan, sangat perhatian dengan Cinthya. Walau banyak pertentangan pada keluarga masing-masing, namun mereka berdua tetap bersikukuh untuk menikah.

Saat-saat awal pernikahan, semua terasa indah bagi Cinthya, semua yang ia bayangkan tentang sosok suami ideal, ada pada Bimo. Sebagai seorang pengusahasukses, Bimo sangat mampu memenuhi semua kemauan Cynthia. Bimo juga mendukung agar Cinthya melanjutkan pendidikan hingga S2. Karir Cinthya pun bagus, dan usaha Bimo semakin berkembang.

Masalah mulai muncul saat lima tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Walau telah berusaha hingga keluar negeri. Keduanya sehat, hanya saja entah kenapa hingga tahun kelima, mereka belum juga mendapat kan anak. Cinthyapun mulai melampiaskan rasa kecewa pada pekerjaannya. Ia mulai pulang malam, sering rapat di luar kota, meninggalkan suami hingga satu minggu. Walaupun karirnya menanjak, namun waktu pertemuannya dengan Bimo semakin berkurang.

Dan puncaknya adalah di tahun pernikahan mereka yang kesepuluh. Bimo terserang penyakit gagal ginjal yang menyebabkannya harus melakukan cuci darah tiga bulan sekali. Cinthya yang sedang berada di puncak karir merasa terganggu dengan penyakit yang diderita Bimo, karena ia harus selalu ada di sisi suaminya pada saat cuci darah, sedangkan ia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaan di kantornya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencari pembantu yang khusus merawat suaminya. Si mbok yang masih saudara jauh Bimo, didatangkan dari Magelang, kota kelahirannya. Si mboklah yang selama ini telaten merawat Bimo. Dari pagi saat Cynthia telah berangkat ke kantor, hingga malam hari, semua keperluan Bimo, si mbok yang mengurus. Saat ke rumah sakit untuk cuci darah pun, Bimo ditemani si mbok dan sopir Cinthya.

Karena penyakit gagal ginjal yang diderita Bimo, maka perlahan, usaha Bimo pun mengalami penurunan. Ia tak lagi bisa maksimal dalam bekerja. Banyak pekerjaan yang diselesaikan di rumah, itupun masih harus dibantu oleh beberapa karyawannya. Selain karena penyakitya, usia Bimo yang menginjak lima puluh tahun, turut mempengaruhi daya tahan fisiknya. Akhirnya, Bimo pun memutusan untuk menjual asset perusahaannya dan menginvestasikan sebagian besar uangnya.

Hal inilah yang membuat Cinthya kecewa. Ia malu dengan rekan-rekan bisnisnya. Ia malu karena suaminya tidak mempunyai usaha lagi dan hanya tinggal di rumah.

Cinthya memandang pintu kamar. Ingin rasanya masuk ke kamar untuk beristirahat, namun ketika ia ingat kembali pada Bimo, rasanya malas sekali untuk berbaring di samping suaminya itu. Cinthya kecewa, karena sejak Bimo menderita penyakit, ia seperti orang yang putus asa. Dalam pandangan Cinthya, hari-hari Bimo hanya dihabiskan untuk meratapi nasibnya. Itulah yang membuat Cinthya kecewa. Seandainya Bimo lebih semangat, lebih optimis, lebih berusaha lagi, ya seandainya….. gumam Cinthya dalam hati.

Akhirnya Cinthya masuk ke dalam kamarnya. Di tatapnya Bimo yang telah tertidur lelap. Ditatapnya obat-obat disamping tempat tidur suaminya. Ada kurang lebih lima jenis obat yang harus rutin diminum Bimo setiap harinya. Cinthya memandangi wajah Bimo lekat-lekat. Wajah yang dulu begitu gagah, badan yang dulu begitu tegap. Kini badan itu mulai menghitam, wajah Bimo pun ikut menghitam karena cuci darah yang ia lakukan. Badan Bimo saat ini kurus, kulitnya mengerut. Mas, kamu keliatan lebih tua dari usiamu, resah Cinthya dalam hati.

Perlahan, Cinthya mengusap kepala Bimo. Rambut yang dulu tebal, kini mulai rontok dan memutih. Cinthya meneteskan air matanya. Inilah pria yang dulu sangat aku cintai. Dulu…. bagaimana dengan sekarang Cinthya??.... tanya Cinthya sendiri dalam hati. Mas, kamu begitu baik padaku, selama sepuluh tahun menikah, tak sekalipun kamu membentakku, apapun mauku, kamu selalu berusaha untuk memenuhinya, kamu juga tidak pernah protes jika aku banyak menghabiskan waktu di kantor, menghabiskan waktu untuk bertemu klien, dan masih banyak lagi…. Cynthia memejamkan matanya. Ingin sekali ia memeluk Bimo seperti dulu.

Perlahan Cynthia bangkit dari sisi Bimo. Tak ingin membangunkan suaminya, Cynthia berjalan pelan menuju meja kerjanya. Banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan. Besok aku harus memberikan presentasi terbaikku di depan klien, gumam Cynthia dalam hati.

Cinthya membuka laptopnya, meneliti beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Lampu utama kamar sengaja ia matikan, ia tak ingin Bimo terbangun. Tinggal nyala lampu meja kerja, lampu laptop dan alunan pelan instrumen yang menemaninya malam itu. Jari-jari Cynthi lincah bergerak diatas laptop. Pikirannya pun larut dalam layar di depannya.

Tanpa terasa, jam menunjukkan pukul satu dini hari.  Cinthya masih berkutat dengan data-data. Tak sadar  ia dengan kehadiran Bimo disampingnya. Bimo menepuk pelan bahunya. “Sudah shalat Isya de?” tanya Bimo. Cinthya kaget. “Belum sempat,” jawabnya sambil tetap memandang layar laptopnya. “Mas ngapain, kok malam-malam bangun?” tanya Cinthya. “Aku mau shalat tahajud de.” Jawab Bimo.

“Duuuhhh, mas kok ga istrahat aja sih, nanti kalo kecapean lagi gimana? Si mbo kan masih di kampung, belum tau pulangnya kapan, aku kan besok harus meeting, nanti kalau mas kumat bagaimana?” Kata Cinthya panjang lebar sambil matanya terus menatap layar laptop yang ada dihadapannya. Namun Bimo tak memperdulikannya. Ia tetap berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Cinthya menutup laptopnya. Pikirannya kacau, tidak bisa konsentrasi. Ia pun memutuskan untuk tidur. Besok aku tidak boleh terlambat, gumamnya dalam hati. Cinthya mendengar suara Bimo sedang berdoa, sayup-sayup Cinthya mendengar suara isak Bimo. Cinthya menutup rapat kupingnya dengan bantal. Ukh, cengeng banget sih, sakit kok diratapi, bukannya dihadapi, ketus Cinthya dalam hati.

…………………………………………………………………………………………

Sore itu Cinthya memutuskan untuk pulang lebih lebih cepat. Ia ingin istirahat di rumah. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Pagi hari ia bertemu klien dan langsung presentasi. Siang ia meeting lagi dengan beberapa anak perusahaan untuk mempersiapkan target tahun depan. Yang terbayang di benak Cinthya hanyalah kamarnya yang nyaman dan dingin. Cinthya sudah tidak sabar.

Tiba-tiba Cinthya menghentikan mobilnya dengan mendadak. Ia bingung. Kenapa jalan menuju rumahnya ramai, ada bendera kuning. Ada tetangga yang meninggal rupanya, gumam Cinthya dalam hati. Tiba-tiba, sorang lelaki mendekati mobilnya. “Maaf, ibu Bimo yah, bisa turun sebentar bu, saya pak Irwan ketua RT ibu, saya mau bicara sebentar dengan ibu ,” kata pria itu. “Oh ya, sebentar, saya parkir mobil dulu” jawab Cinthya bingung.

“Maaf sekali lagi bu, tadi saya dan beberapa tetangga sudah mencoba menghubungi telpon ibu berkali-kali, tapi selalu sibuk, saya hubungi sekretaris ibu, katanya ibu lagi rapat dan tidak bisa diganggu.” Jelas pak RT pada Cinthya. “Iya, memang saya hari ini sibuk sekali pak, memangnya ada apa ya pak, oya, siapa tetangga kita yang meninggal pak?”tanya Cinthya.

“Silakan ibu duduk dulu,” pak RT mempersilakan Cinthya untuk duduk. “Maaf pak, sebelumnya, bukannya saya menolak untuk berbincang dengan bapak, tapi saya hari ini capek sekali, saya ingin cepat pulang dan istrahat, maaf ya pak,” jelas Cinthya sambil hendak meninggalkan pak RT. “Bu, yang meninggal suami ibu, bapak Bimo, tadi jam sebelas siang.” Cinthya kaget. Ia tak mampu berkata, ditatapnya pak RT tak percaya. Cinthya pun pingsan.

………………………………………………………………………………………………

Cinthya menatap wajah kaku suaminya. Mas Bimo. Maafkan aku mas. Aku tidak ada disampingmu. Cinthya menggenggam tangan suaminya. Dingin. Wajah Bimo seperti orang yang sedang tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum tulus. Cinthya kembali menangis.

“Cin, ini, ada surat dari Bimo.” suara Rudi, adik Bimo mengagetkannya. Cinthya mengambil surat yang ada di tangan Rudi. “Sebaiknya dibaca nanti saja, sekarang kita urus jenazah kakak dulu.” Kata Rudi, seakan mengerti apa yang hendak Cinthya lakukan.

Sore itu, para pelayat mengantarkan Bimo ke tempat perisirahatannya yang terakhir. Diiringi rintik hujan dan angin yang semilir. Cinthya berjalan pelan di belakang jenazah Bimo. Rudi, adik iparnya sebenarnya sudah melarang Cinthya untuk ikut ke kuburan, namun Cinthya menolak, ia bersikukuh untuk ikut.

Perlahan, jenazah Bimo dimasukkan ke liang kubur, Cinthya tak kuasa menahan tangisnya. Hingga iapun kembali pingsan.
……………………………………………………………………………………………

Cinthya masih memandang  surat itu, ia menyesal atas kelakuannya akhir-akhir ini. Dibukanya kembali surat dari Bimo, dan dibacanya kembali…

“Cinthya, aku minta maaf tidak bisa lagi memberikan kebahagiaan seperti dulu. Tidak bisa lagi memberimu kebanggaan. Aku terlalu lemah menghadapi penyakit ku. Aku tau, kamu malu dengan teman-temanmu, malu dengan kondisiku yang sakit-sakitan dan tidak mempunyai usaha lagi. Cinthya, aku sangat menyayangimu, aku tidak mau menyusahkanmu. Aku akan memberikan semua milikku untukmu. Rumah ini dan beberapa investasiku, sudah aku hibahkan atas namamu. Kamu tidak usah susah-susah lagi bekerja de, tidak usah kerja sampai malam lagi, tidak usah pergi ke luar kota lagi untuk mendapatkan klien. 

Semua sudah aku urus dengan Rudi. Aku hanya ingin kita bisa seperti dulu lagi, menghabiskan waktu berdua. Berdiskusi berdua. Jalan-jalan berdua.  Tapi aku sadar, kamu pasti tidak mau de, dan aku mengerti, usiamu masih muda, masih banyak yang ingin kamu capai. Aku mengerti de. Karena itu, aku memutuskan untuk tinggal di kampung, aku sudah menghubungi si mbok, dan si mbok bersedia untuk menjagaku. Sebenarnya aku ingin pamit denganmu, tapi sulit sekali untuk menemukan waktu berbicara denganmu de, bahkan untuk sekedar  telpon pun kamu begitu sibuk. Tapi, aku mengerti de, aku sangat mengerti.

Jika surat ini kamu baca, aku sudah dalam perjalan ke kampung bersama Rudi. Jaga diri kamu ya de, sungguh, ini aku lakukan bukan karena aku tidak mencintaimu, justru aku tidak ingin merepotkanmu dengan penyakitku ini. Di dalam lemari, sudah aku siapkan surat-surat pemilikan beberapa rumah serta saham dan tabungan.  De, aku sangat berharap kamu mau menyusulku ke kampung. Kita mulai lagi hidup yang baru. Namun, jika kamu tidak mau, aku sangat memahami, aku sangat mengerti.”

Bimo yang selalu mencintai kamu, Cinthya, istriku…


Selasa, 18 September 2012

ROADSHOW GERAKAN PEDULI REMAJA BERSAMA BUNDA PIPIET SENJA



Pondok Pesantren Attaqwa. Didirikan oleh pahlawan Bekasi, KH Noer Alie. Ponpes ini terletak di daerah Ujung Harapan Bekasi. Nadia, salah satu tim GPR yang merupakan alumni dari Ponpes ini, mengajak GPR untuk silaturahim dengan santriwati disana.

Bekerjasama dengan bunda Pipiet Senja, tanggal 14 September, tim GPR mendatangi Ponpes tersebut. Selain Nadia, bunda Pipiet pun ternyata pernah berkunjung ke Ponpes ini. saat itu launching buku anak kedua dari bunda Pipiet. Tepatnya tahun 2003. Subhanallah ... waktu yang cukup lama untuk kembali bersilaturahim

Perjalanan menuju Ponpes, tidaklah mudah. Karena, selain Nadia, tidak ada satupun dari tim GPR yang pernah berkunjung kesana. Bunda Pipiet pun ternyata sudah lupa jalan menuju Ponpes.

Tim GPR berangkat dari tempat masing-masing, karena memang sebelumnya ada acara yang berbeda. Saya dan bunda Pipiet berangkat dari kantor penerbit Zikrul Hakim di daerah Rawamangun, kak Edas berangkat dari Tambun, kak Lisya berangkat dari Kalibata Jakarta Selatan, sedangkan Nadia yang rumahnya tak jauh dari Ponpes, telah tiba di Ponpes lebih dulu.

Karena berangkat dari tempat yang berbeda, kamipun cukup intens dalam ber sms ria. Saya dan bunda Pipiet memutuskan naik taksi, karena membawa cukup banyak buku dari Zikrul Hakim. Alhamdulillah, sopir taksi mengetahui daerah Bekasi, jadi kami hanya memberi tau patokan jalannya saja.

Dari Rawamangun, kami melewati terminal Pulogadung. Subhanallah, terminal yang biasanya ramai dan cenderung macet, hari itu lancar, hanya sepuluh menit saja kami butuhkan untuk melewati terminal Pulogadung.

Taksi pun dengan tenang melaju menuju kawasan Aqua Bekasi. Dari sinilah jalan mulai tersendat. Selain jalan yang menyempit, volume kendaraan yang cukup padat, angkutan umum yang berhenti sembarangan, serta jalanan yang berlubang, merupakan hambatan utama kami.

Bunda Pipiet sampai berkata seperti ini ,”saya kira hanya Citayam yang parah jalanannya, ternyata disini lebih parah.” Bunda Pipiet berkata seperti itu sambil tangannya erat memegang pinggiran pintu taksi. Saya pun tersenyum, setuju dengan perkataan bunda Pipiet.

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas, supir taksi kebingungan. Ternyata, petunjuk jalan yang saya dapat dari Nadia, membingungkan pak supir. Setelah bolak balik tiga kali, kami pun memutuskan untuk menyewa jasa ojek.

Alhamdulillah, tukang ojek mengetahui Ponpes yang kami tuju. Dengan cermat, sopir taksi mengikuti jalan tukang ojek.

Ternyata, Ponpes ini lumayan jauh dari jalan utama. Dan untuk mencapainya, tidak ada angkutan umum. Yang ada hanya ojek dan becak.

Saat memasuki kawasan pesantren, serempak kami bertiga (bunda Pipiet, saya dan sopir taksi) berdecak kagum dan reflek menyebut asma Allah. Subhanallah.... di depan kami sebuah masjid besar dengan gagahnya berdiri.

Kubahnya berwarna hijau, tiang-tiang penyangga begitu besar mengelilingi masjid. Begitu besarnya sampai saya tak percaya. Subhanallah... ada masjid sebesar ini di “pedalaman” Bekasi. Bahkan masjid Al-Barkah yang ada di pusat kota Bekasi pun, kalah besar dibanding masjid ini. halaman masjid pun sangat luas, dapat menampung ratusan kendaraan, baik motor ataupun mobil.

Di depan masjid, terdapat lapangan yang juga tak kalah luasnya. Beberapa pohon besar tegak berdiri. Akar-akar pohon yang menjalar, menandakan pohon-pohon tersebut sudah cukup tua. Mungkin hal inilah yang membuat suasana masjid begitu sejuk.

Dari kejauhan terlihat jamaah yang shalat, memenuhi masjid, hingga ke tangga luar. Subhanallah... pemandangan yang sangat jarang saya jumpai.

Belum habis kekaguman saya pada masjid utama Ponpes ini, mata saya kembali terbelalak oleh luasnya wilayah Ponpes. Setelah melewati masjid, kami melewati asrama putra. Beberapa bangunan dalam tahap pengembangan, namun juga ada beberapa bangunan lama yang tetap kokoh. Dari banyaknya bangunan asrama putra, kemungkinan jumlah santri hampir 1000 orang. Subhanallah...

Tak jauh dari Ponpes pria, -+ 200m, kami pun tiba di Ponpes putri. Alhamdulillah, sampai juga, ucap saya dan bunda Pipiet. Sopir taksi yang sejak tadi pun terkagum-kagum dengan Ponpes ini berkata,”seumur-umur saya nyupir bu, baru kali ini ke daerah sini.” Hehehe... saya dan bunda Pipiet pun tertawa. Apalagi saya, ucap saya dalam hati.

Kami pun turun dari taksi. Saya perhatikan sekeliling. Subhanallah. Berbagai bangunan melengkapi keberadaan pesantren ini. mulai dari klinik, pendidikan anak usia dini, dan beberapa bangunan lain yang jumlahnya cukup banyak.

Saat saya mengamati lingkungan sekitar, mata saya tertegun pada sebuah pemandangan, yang bagi saya, itu adalah pemandangan “mahal” dan sangat jarang terjadi.

Beberapa santriwati melintas di depan kami dengan menggunakan sepeda. Dengan berseragam Ponpes, mereka ngobrol sambil terus mengayuh sepeda. Sesekali jilbab lebar mereka ditiup angin. Subhanallah... Mungkin, jika pemandangan ini saya alami di sebuah kota kecil, itu wajar. Tapi pemandangan itu saya alami di Bekasi. Sebuah kota yang letaknya sangat dekat dengan ibukota Jakarta. Subhanallah... bagi saya, itu adalah hal yang sangat jarang terjadi.

Saya berkali-kali berdecak kagum, dan berkali-kali bibir dan hati ini tak henti memuji Allah.

Setelah tim GPR lengkap, kami pun memasuki Ponpes putri. Subhanallah... Lagi-lagi, saya dibuat terkagum-kagum. Bunda Pipiet pun seperti itu. Dulu, saat pertama kali berkunjung, jumlah santriwati hanya 300an, bangunan Ponpes pun belum banyak. Tapi sekarang, jumlah santriwati hampir 1000 orang dan bangunan Ponpes semakin megah.

Walaupun cuaca Bekasi saat itu sangat panas, namun karena pepohonan di sekitar Ponpes yang besar dan rindang, kami tidak merasa kepanasan. Belum lagi melihat senyum hangat para santriwati. Subhanallah... adeeemmm banget rasanya.

Entah karena semangat para santriwati, atau rasa kangen bunda Pipiet pada santirawati, atau suasana yang sangat mendukung, acara siang itu terasa hangat. Seperti ibu bertemu dengan anaknya. Penjelasan dari saya dan bunda Pipiet selalu diselingi oleh celotehan lucu dari mereka. Subhanallah, santriwati begitu bersemangatt....

Jadwal acara yang tadinya hanya dua jam saja, molor sampai lebih dari tiga jam. Usai acara, santriwati tak henti-hentinya meminta foto bersama. Sampai bunda Pipiet berkata ,”hayuu sudah..sudah.. mau pulang jam berapa nih kita...” dan kami pun tertawa bersama.

Alhamdulillah, roadshow pertama GPR dan bunda Pipiet berjalan lancar. Semoga di sekolah-sekolah atau Ponpes lain pun lancar dan barokah.

Semoga dengan kedatangan GPR dan bunda Pipiet, akan muncul mujahid pena dari Ponpes Attaqwa. 

Semoga..... 





Rabu, 12 September 2012

MOM'S LIST


Bagi seorang wanita, ibu khususnya, seringkali waktu 24 jam sehari sangat kurang.  Mulai dari bangun tidur, hingga tidur kembali, dirasa banyak pekerjaan yang belum selesai. Saat seorang ibu hendak tidur, sering terbayang pekerjaan-pekerjaan yang belum diselesaikan.

Karena begitu banyaknya pekerjaan, seorang ibu bahkan sering tercenung, bingung sendiri harus memulai pekerjaan dari mana, dan kapan pekerjaan demi pekerjaan ini akan berakhir. Pagi hari adalah saat-saat yang begitu sibuk. Bangun tidur harus menyiapkan anak-anak ke sekolah, menyiapkan sarapan keluarga, belum lagi jika tidak punya asisten rumah tangga.

Ketika anak dan suami sudah berangkat meninggalkan rumah, saatnya beres-beres. Harus mulai dari manakah?

Dari pada bingung-bingung, akan lebih baik jika para ibu mempunyai “daftar kerja” sehari-hari. Daftar ini disiapkan sesaat sebelum tidur. Ada beberapa ibu yang membuat list atau daftar hanya dipikiran saja. 

Namun, pikiran kita terbatas, daya ingat pun terbatas. Daftar pekerjaan yang "hanya" diletakkan di pikiran, akan cepat sekali hilang, alias lupa. 



Berikut ini tips menyiapkan daftar pekerjaan harian :

1.      Sebelum tidur, sediakan waktu sebentar saja, bisa 10 – 15 menit untuk merenungkan apa saja yang sudah dikerjakan hari ini. setelah itu evaluasi, pekerjaan apa saja yang masih belum dikerjakan. Jika sudah evaluasi, saatnya kita menuliskan daftar pekerjaan.

2.      Daftar pekerjaan hendaknya diletakkan di tempat yang sering terlihat. Misalnya di tempel di pintu kulkas, di lemari makan, atau di cermin. Daftar pekerjaan ini bisa ditulis menarik, misalnya menggunakan spidol warna warni, atau bisa juga menggunakan checkboard.

3.      Menulis daftar pekerjaan, lebih baik jika lebih detail. Misalnya, untuk memasak. Apa saja masakan hari ini, berapa jenis masakan, apa saja bahan-bahan yang dibutuhkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berbelanja bahan makanan dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memasak, dll. Dengan detailnya daftar pekerjaan, dapat menghemat waktu, serta kita dapat lebih cepat melanjutkan ke perkerjaan berikutnya.

4.      Kekonsistenan sangatlah di butuhkan dalam mewujudkan pekerjaan yang rapi dan termanagement dengan baik. Karena itu, setelah selesai shalat subuh, baiknya langsung melihat apa saja daftar pekerjaan hari ini.

5.      Menunda apa yang sudah di tuliskan dalam daftar juga harus dihindari. Karena dengan menunda pekerjaan, maka pekerjaan-pekerjaan berikutnya tidak akan selesai. Hal ini justru akan membuat kita stres memikirkan pekerjaan yang tak kunjung habis.

6.      Bagi yang belum terbiasa dengan daftar pekerjaan, ada baiknya jika kita tidak menuliskan waktu pekerjaan, cukup perkiraan waktu yang dibutuhkan saja. Misalnya, memasak butuh waktu satu jam, membereskan pakaian setengah jam, mengantar anak ke sekolah lima belas menit, begitu seterusnya.

7.      Jangan lupa untuk memasukkan waktu “me time” atau waktu istirahat. Bisa dilakukan di sela-sela pekerjaan kita. Perkirakan juga waktu yang dibutuhkan untuk istirahat berapa lama. Selain tidur, istirahat atau “me time” dapat diartikan juga, melakukan hal-hal yang menjadi hobi, atau penghilang penat. Misalnya membaca buku, menyulam, menulis dll.

8.      Jika ada pekerjaan yang tertunda atau tidak dikerjakan, jangan menyalahkan orang lain, anak dan suami misalnya. Kita yang harus evaluasi. Dimanakah letak kegagalannya, mengapa sampai tidak dikerjakan, langkah selanjutnya bagaimana, dan seterusnya. Ini juga membuat kita tidak berburuk sangka pada orang lain dan membuat kita sering bermuhasabah.

9.      Jika sudah terbiasa dengan pekerjaan yang terdaftar, ada baiknya kita tingkatkan lagi dengan  menetapkan target untuk setiap pekerjaan yang telah kita susun. Misalnya, target memasak setengah jam saja, target merapikan pakaian sepuluh menit saja, dan seterusnya.

Sekilas, tampaknya hal ini mengada-ada, namun jika kita praktekkan dengan baik, inysaAllah akan sangat membantu pekerjaan kita sebagai seorang ibu.

Tidak ada salahnya membuat daftar pekerjaan mulai sekarang. Dalam pelaksanaannya, yang terpenting adalah niat dan motivasi kita. Semua hal diatas adalah untuk ibadah, kebaikan diri dan keluarga.

Selamat mencoba...

MY DIARY...


Menulis itu indah. Menulis itu melegakan. Membaca kembali tulisan-tulisan yang terangkai dalam diary, bagai membaca sejarah hidup sendiri.

Malam itu saya membuka kotak penyimpanan puluhan diary. Saya mengumpulkan diary sejak tahun 1991 hingga 2011. Total hanya 11 diary. Lainnya raib, karena saya dan keluarga beberapa kali pindah rumah

Sayang sekali...


Banyak cerita menarik di dalam setiap diary. Tahun 1998, secara detail saya menceritakan kronologis kerusuhan. Saat itu keadaan sangat mencekam, sebagian telepon di Jakarta mengalami gangguan, termasuk telepon rumah saya. Para tetangga panik menyelamatkan surat-surat berharga, para bapak dan anak lelaki yang telah dewasa, bahu membahu menjaga perumahan, agar tidak dimasuki para penjarah.

Diangkasa Jakarta, helikopter dan pesawat hercules berseliweran. Membuat suasana malam makin mencekam. Dari kejauhan, nampak asap mengebul tinggi, menutup langit. Cahaya api menari-nari. 

Astaghfirullah.... membaca itu semua sungguh ngeri. Berharap hal seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi di bumi Indonesia.

Saat duduk di bangku SMA, sebenarnya saya memiliki beberapa diary, namun yang tersisa hanya satu :(

Tahun 1991. Saya menceritakan perjalanan liburan bersama teman-teman sekelas. Sejak menunggu bis yang hendak membawa kami ke kota Cirebon, hingga kesan-kesan semua teman selama perjalanan pergi pulang, tertulis dengan rapi.

Alhamdulillah, bahkan foto-foto saat SMA pun masih bagus :)

Dan yang mengejutkan, ternyata tahun 1991, saya pernah menuliskan sepuluh kriteria calon suami. Ada-ada saja. Saat saya, suami dan anak membaca kriteria-kriteria itu, kami pun tertawa bersama. Hanya dua yang meleset dari kriteria yang saya tentukan. Ada-ada saja.

Tahun 2000, saat pertama kali menjadi pramugari Saudi Arabian Airline, saya tuliskan betapa Allah Maha pengabul doa. Harapan saya ketika sekolah dulu, dapat melihat luar Indonesia dengan gratis, alhamdulillah dapat terwujud.

Dalam diary, saya bercerita, bagaimana beratnya hidup di negeri orang, tanpa saudara. Selain itu, pengaturan penghasilan, sampai berapa jumlah yang harus ditabung, tertulis dengan rapi dalam diary.

Tak ketinggalan kejadian tsunami Aceh pun ada dalam diary. Begitu juga berbagai kejadian berdarah di Palestina, lengkap dengan puisi-pusi tentang jihad. Subhanallah...

Rangkaian demi rangkaian kalimat dalam diary, membawa hikmah begitu besar. Kita belajar dari hidup kita sendiri. Jika dahulu kita melakukan kesalahan, maka, kini saatnya memperbaiki. Jika dulu banyak kekurangan, maka saatnya kini melakukan yang benar.

Allah memberi hikmah dari mana yang Ia kehendaki, dari tulisan orang lain, maupun dari tulisan tangan kita sendiri. Semua tergantung pada diri ini, maukah kita menarik hikmahnya....?

Jumat, 07 September 2012

AROUND THE WORLD WITH A BOOK


Apa yang terlintas dipikiran kita ketika melihat sebuah buku yang berpuluh-puluh tahun lalu kita baca, dan kini terbit kembali. Dengan isi cerita yang sama, tokoh yang sama, latar belakang yang sama, namun dengan kemasan yang lebih cantik dan terkini.

Itulah yang hari ini saya temui di sebuah toko buku.


Setelah satu jam memilih buku-buku yang akan saya baca minggu ini, saya pun melangkah ke kasir untuk membayar. Dan, saat membayar itu adalah saat yang sangat menakjubkan bagi saya.

Di belakang kasir, terpampang buku-buku yang dulu pernah saya baca saat di sekolah dasar. Buku-buku karangan HC Andersen dan EnydBylton. Bagaikan menemukan harta karun, mata saya tak berhenti menatap buku-buku cantik itu.

Ya, dulu sekali, saat SD, orangtua saya yang sangat gemar membaca, membelikan buku-buku itu. Berbagai seri karangan Alfred Hitckock dan Enyd Bylton, saya lahap. Begitu juga dengan buku karangan HC Andersen.

Bagi saya, tinggal di luar pulau Jawa saat kecil, adalah hal yang sering membuat penasaran. Seperti apakah kota besar itu? Jakarta. Apa yang ada disana? Luar Indonesia, bisakah suatu saat saya berkeliling ke negara-negara itu?

Dan, pertanyaan demi pertanyaan seakan terjawab. Saat membaca buku-buku Enyd Bylton dan HC Andersen, pikiran seakan menembus ruang dan waktu.

Satu saat saya dapat menjadi seorang “Gadis Penjual Korek Api” yang tinggal dipinggiran sebuah negara di Eropa. Negara yang mempunyai empat musim, yang jalanannya bersih dan rapi. Kehidupan masyarakat Eropa yang tertata. Lampu-lampu taman yang menerangi jalan dll. Apa yang digambarkan oleh HC Andersen, terekam dalam pikiran saya dan seakan saya berada di kota-kota yang diceritakannya.

Lain waktu, saya seakan menjadi Gwendoline. Salah satu tokoh dalam cerita “Mallory Towers” karangan Enyd Bylton. Yang setiap malam sebelum tidur, Gwendoline selalu menyisir rambutnya sebanyak seratus kali J

Dalam cerita itu, digambarkan secara detil kehidupan asrama putri sejak kelas satu hingga kelas delapan.
Dengan jelas Enyd Bylton menggambarkan posisi kastil asrama yang letaknya di atas bukit. Dari salah satu menara, murid-murid dapat melihat laut lepas atau pedesaan. Indah, sungguh indah. Dan itu tergambar jelas di pikiran saya.

Dulu, media elektronik belum secanggih sekarang. Video hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Yang tentu saja, bukan termasuk keluarga saya. Karena itulah, orangtua membelikan banyak buku, agar anak-anaknya mempunyai wawasan yang luas. Ah masa itu, jangankan video, televisi pun kami belum punya.

Sadar atau tidak sadar, seringkali suatu cerita dapat membuat diri kita masuk dan menyelami para tokoh. Berkeliling bersama tokoh, dari satu tempat, ke tempat lainnya. Berganti negara, berganti kota, berganti suasana, berganti pemandangan...

Itulah mengapa saya selalu butuh membaca. Apalagi membaca sejarah negara-negara yang belum pernah saya kunjungi. Begitupun dengan biografi para tokoh terkenal. Membaca itu semua, membuat kita mempunyai mimpi untuk bisa berkunjung ke negara-negara itu, atau terinspirasi dengan tokoh yang kita baca.

Membaca, akan membuat kita “keliling dunia”. Percayalah.... J

Kamis, 06 September 2012

SEDIKIT CERITA TENTANG ANAK LAPAS


Anak-anak lapas.... bersama mereka, selalu ada hikmah. Baru saja saya menerima sms dari mantan anak lapas. Gilang namanya, ia bercerita pada saya, saat ini Gilang dan beberapa temannya mantan lapas, membuat gerakan yang mereka namakan “Remaja Peduli Lapas”.


Gerakan ini terbentuk begitu saja, dari obrolan sesama mantan anak lapas. Belum terbayang di benak mereka apa saja yang harus dilakukan. Namun, tujuan mereka adalah peduli pada remaja yang telah bebas dari lapas, dan bingung apa yang harus dilakukan setelahnya.

Kesalahan dipastikan ada pada setiap diri manusia. Namun, beda tingkatan dan beda pula hukuman, baik hukuman dari Allah, maupun dari orang-orang sekitar.

Anak-anak lapas, sesungguhnya merupakan pribadi-pribadi yang santun. Mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, namun seringkali hukuman dunia lebih berat. Contoh kecil, saat mereka keluar dari lapas, sebagian besar enggan kembali ke lingkungan asal, karena cap atau stempel mantan napi begitu melekat di diri mereka.

Tidak beda jauh pada keluarga mantan anak lapas ini. beberapa orangtua pun menyarankan anaknya jika bebas, jangan lekas kembali ke rumah, sebelum berhasil.

Tapi, bagaimana mereka akan berhasil di luar sana jika ketrampilan dan pengetahuan mereka sangat terbatas. Fauzan contohnya. Mantan anak lapas asal Papua. Di Jakarta, ia tidak mempunyai siapapun, keluarga, saudara, bahkan orangtua. Ini menyebabkan ia beberapa kali keluar masuk penjara.

Kasus Fauzan adalah curanmor. Dipukuli dan digebuki adalah hal biasa baginya. Karena ia tidak tau harus kemana dan apa yang bisa dikerjakan, maka ia pun kembali melakukan hal yang sama. Terakhir bertemu, Fauzan menyatakan ingin pulang ke Papua. Kami pun sempat bingung. Belum lagi tuntas apa yang harus kami lakukan, Fauzan sudah menghilang.

Dengan Fauzan, terus terang kami mengalami dilema. Hati kecil ingin sekali menolong, namun pribadi Fauzan yang tertutup, membuat kami susah untuk mendalami sifatnya. Tapi, jika dibiarkan pun, tentu akan berbahaya. Bagaimana jika akhirnya Fauzan kalap? Tidak tau harus mengerjakan apa dan harus kemana, akhirnya sengaja melakukan tindak kejahatan dan mengharap ditangkap, kemudian masuk kembali ke lapas.

Berbeda dengan Gilang, mungkin karena kehangatan keluarga yang membuat Gilang dapat lebih percaya diri untuk melakukan banyak hal, membentuk RPLC salah satunya. Latar belakang kasus Gilang pun tidak terlalu berat. Gilang “hanya” dituduh sebagai penadah. Padahal hal itu tidak pernah ia lakukan.

Menangani Lapas anak, tidak bisa dilakukan sendiri. Harus ada kerja bareng antar berbagai lembaga yang peduli pada nasib anak-anak negeri ini. karena penanganan permasalahan lapas anak tidak bisa dilakukan secara partial, harus berkesinambungan dan berkelanjutan.

Penanganan anak lapas, harus dilakukan sejak mereka masuk ke lapas, selama masa tahanan dan setelah bebas. Apa yang dilakukan pihak lapas selama ini, sudah cukup baik. Misalnya, di dalam lapas ada sekolah dengan paket A, B, C. Ada juga pelatihan mengelas, marawis, bengkel dll. Namun, ketika keluar dari lapas, anak-anak itu tetap kebingungan. Harus kemana mereka?? Tidak ada tempat penyaluran pun penampungan sementara.

Hal inilah yang menyebabkan semua pihak harus begandeng tangan. Bekerja sama. Jangan sampai mereka yang telah bebas, kembali ke pergaulan lama, yang dapat mengembalikan mereka ke lapas.

Selain itu, ada baiknya kita pribadi, mulai saat ini merubah cara pandang kita terhadap anak-anak lapas. Betul mereka sudah melakukan kesalahan fatal, namun, jika mereka berniat baik dan telah melakukan taubat, bukan hak kita untuk menjatuhkan “hukuman” lagi. Terima mereka apa adanya, beri mereka motivasi, hasilnya, serahkan pada Allah....

Senin, 03 September 2012

KARENA KITA BAGAI PUALAM...



sebuah kata yang mengundang decak kagum pendengarnya, yang dapat membuai pikiran para pria, dengan alam khayalnya

sebuah maha karya Yang Maha Kuasa  yang dihadirkan untuk melengkapi, untuk mengisi kekosongan, untuk memenuhi sisi kelembutan dari sang arjuna

ia hadir dengan segala pesonanya, dengan ukiran Yang Maha Karya

tak luput pandang dari setiap orang yang memandangnya

tak tunduk hati menahan gejolak ingin mengenalnya lebih jauh

Wanita….

woman, elle, diva, riyu, akhwat, ukhti, muslimah, mukminah…..

berbagai sebutan dan istilah, namun tetap arti wanita adalah sama

keindahan tanpa cacat dari Yang Maha Pencipta

tak peduli asal Negara

tak peduli usia

ia tetaplah wanita

tua muda

tinggi pendek

besar kecil

ia tetaplah di sebut wanita….

Wanita,

apapun sebutan untuk kita

bagaimanapun kita diciptakan
bersyukurlah….

karena kita diciptakan sebagai MUSLIMAH

anugerah terbesar Allah untuk kita

berbahagialah, tersenyumlah

karena kita adalah percikan cahaya peradaban

karena kita adalah madrasah bagi para penerus bangsa ini

kita, MUSLIMAH pengokoh kesempurnaan generasi

Karena itu saudariku Muslimah,

jangan pernah ragu untuk melindungi diri dari tatapan-tatapan tak bertanggung jawab

jangan pernah tergoda dengan ajakan duniawi yang begitu memabukkan

tutuplah dirimu dengan sempurna

panjangkanlah  hijabmu tanpa ragu

ketahuilah, mereka akan lebih mengagumi keanggunanmu, kesopananmu, akhlakmu

mereka akan lebih menghargaimu, menghormatimu

cermatilah bagaimana mereka memandangmu saat kau rapatkan hijabmu

adakah mereka menggodamu nakal

adakah mereka bersiul-siul memanggilmu

atau adakah mereka berani menyentuhmu…..

jawablah dengan nuranimu

Wanita muslimah

pesona yang kita miliki sangat tak ternilai harganya

bahkan Allah memberi kita hadiah satu surat dengan nama kita

yaitu An-nisa, wanita,

duhai, betapa Allah menyayangi kita

dan satu dari asma Allah pun bersemayam dalam tubuh kita, Rahim

subhanallah……

Saudiriku muslimah, adakah yang kurang dari penghargaan Allah pada kita……
begitu sayangnya Allah pada kita

betapa Allah ingin melindungi kita dari tatapan dan tangan-tangan jahil

mengapa kita masih menunda kasih sayang Allah

mengapa masih kita ragu dengan kasih-Nya

mengapa kita masih menghalangi Allah untuk “memeluk” kita………

Saudariku muslimah,

“karena kita begitu sempurna

maka, jawablah dengan nuranimu

masihkah kita halangi tatapan sayang Allah pada kita....