Sabtu, 22 September 2012

CINTA JANGAN KAU PERGI....


Cinthya membunyikan klakson mobilnya beberapa kali di depan pagar rumahnya. “Ugh, kemana saja orang rumah, kok ga ada satupun yang membukakan pagar,” gumam Cintyha dalam hati. Dibunyikan nya lagi klakson mobil agak lama. Dari dalam rumah, keluar sosok pria berjalan agak tergopoh-gopoh. Cintyha segera beranjak turun dari mobil. “Kok mas yang buka pagar, si mbok kemana?” tanya Cithya heran pada suaminya. 

“Masuklah dulu, nanti didalam aku ceritakan.” Jawab Bimo, suami Cintyha  sambil membukakan pagar. Cintyha naik kembali ke mobil, dan segera memasukkan mobilnya ke garasi rumahnya.

“Memang si mbok kemana sih mas?” tanya Cinthya lagi pada suaminya, setelah mereka berdua sama-sama duduk di meja makan. “Si mbok minta ijin pulang, anaknya sakit, ga ada yang ngurus. Ya, aku ijinkan.” Jawab Bimo.

Cinthya kaget ,”Mas ini gimana sih, kok ga bilang-bilang ke aku, kan bisa telpon mas, kalo si mbok pulang, trus yang ngurus rumah siapa, aku kan sibuk di kantor, kamu gimana sih,” kata Cinthya pada suaminya panjang lebar. “Aku tadi telpon-telpon kamu terus kok. tapi ga pernah kamu angkat. Aku telpon ke sekretarismu, katanya kamu lagi meeting, aku telpon lagi, ga diangkat lagi, trus kata sekretarismu meeting lagi.” Bimo berkata sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Cinthya.

“Mas, aku kan belum selesai ngomong, kok kamu udah pergi sih.” Cinthya berkata sambil mengejar Bimo ke dalam kamar. “Aku cape de, nafasku sesak sejak tadi sore, karena si mbok pulang terburu-buru, dia ga sempat menyiapkan makan malam untukku. Jadi aku tadi ke warung depan sendiri. Aku mau istrahat dulu,” jawab Bimo.

Cinthya cemberut sambil memandangi suaminya. Dibiarkan suaminya berjalan masuk kamar seorang diri. Cinthya kembali duduk di kursi makan. Nafsu makannya mendadak hilang. Ia termenung. Mengingat kembali saat-saat pertama kali menikah degan Bimo. Usia mereka memang terpaut jauh, tujuh belas tahun. Waktu itu Bimo berumur tiga puluh tujuh tahun, sedangkan Cinthya baru berumur dua puluh tahun. Saat itu Cinthya sangat mengagumi sosok Bimo yang kebapaan, sangat perhatian dengan Cinthya. Walau banyak pertentangan pada keluarga masing-masing, namun mereka berdua tetap bersikukuh untuk menikah.

Saat-saat awal pernikahan, semua terasa indah bagi Cinthya, semua yang ia bayangkan tentang sosok suami ideal, ada pada Bimo. Sebagai seorang pengusahasukses, Bimo sangat mampu memenuhi semua kemauan Cynthia. Bimo juga mendukung agar Cinthya melanjutkan pendidikan hingga S2. Karir Cinthya pun bagus, dan usaha Bimo semakin berkembang.

Masalah mulai muncul saat lima tahun perkawinan, mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Walau telah berusaha hingga keluar negeri. Keduanya sehat, hanya saja entah kenapa hingga tahun kelima, mereka belum juga mendapat kan anak. Cinthyapun mulai melampiaskan rasa kecewa pada pekerjaannya. Ia mulai pulang malam, sering rapat di luar kota, meninggalkan suami hingga satu minggu. Walaupun karirnya menanjak, namun waktu pertemuannya dengan Bimo semakin berkurang.

Dan puncaknya adalah di tahun pernikahan mereka yang kesepuluh. Bimo terserang penyakit gagal ginjal yang menyebabkannya harus melakukan cuci darah tiga bulan sekali. Cinthya yang sedang berada di puncak karir merasa terganggu dengan penyakit yang diderita Bimo, karena ia harus selalu ada di sisi suaminya pada saat cuci darah, sedangkan ia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaan di kantornya.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencari pembantu yang khusus merawat suaminya. Si mbok yang masih saudara jauh Bimo, didatangkan dari Magelang, kota kelahirannya. Si mboklah yang selama ini telaten merawat Bimo. Dari pagi saat Cynthia telah berangkat ke kantor, hingga malam hari, semua keperluan Bimo, si mbok yang mengurus. Saat ke rumah sakit untuk cuci darah pun, Bimo ditemani si mbok dan sopir Cinthya.

Karena penyakit gagal ginjal yang diderita Bimo, maka perlahan, usaha Bimo pun mengalami penurunan. Ia tak lagi bisa maksimal dalam bekerja. Banyak pekerjaan yang diselesaikan di rumah, itupun masih harus dibantu oleh beberapa karyawannya. Selain karena penyakitya, usia Bimo yang menginjak lima puluh tahun, turut mempengaruhi daya tahan fisiknya. Akhirnya, Bimo pun memutusan untuk menjual asset perusahaannya dan menginvestasikan sebagian besar uangnya.

Hal inilah yang membuat Cinthya kecewa. Ia malu dengan rekan-rekan bisnisnya. Ia malu karena suaminya tidak mempunyai usaha lagi dan hanya tinggal di rumah.

Cinthya memandang pintu kamar. Ingin rasanya masuk ke kamar untuk beristirahat, namun ketika ia ingat kembali pada Bimo, rasanya malas sekali untuk berbaring di samping suaminya itu. Cinthya kecewa, karena sejak Bimo menderita penyakit, ia seperti orang yang putus asa. Dalam pandangan Cinthya, hari-hari Bimo hanya dihabiskan untuk meratapi nasibnya. Itulah yang membuat Cinthya kecewa. Seandainya Bimo lebih semangat, lebih optimis, lebih berusaha lagi, ya seandainya….. gumam Cinthya dalam hati.

Akhirnya Cinthya masuk ke dalam kamarnya. Di tatapnya Bimo yang telah tertidur lelap. Ditatapnya obat-obat disamping tempat tidur suaminya. Ada kurang lebih lima jenis obat yang harus rutin diminum Bimo setiap harinya. Cinthya memandangi wajah Bimo lekat-lekat. Wajah yang dulu begitu gagah, badan yang dulu begitu tegap. Kini badan itu mulai menghitam, wajah Bimo pun ikut menghitam karena cuci darah yang ia lakukan. Badan Bimo saat ini kurus, kulitnya mengerut. Mas, kamu keliatan lebih tua dari usiamu, resah Cinthya dalam hati.

Perlahan, Cinthya mengusap kepala Bimo. Rambut yang dulu tebal, kini mulai rontok dan memutih. Cinthya meneteskan air matanya. Inilah pria yang dulu sangat aku cintai. Dulu…. bagaimana dengan sekarang Cinthya??.... tanya Cinthya sendiri dalam hati. Mas, kamu begitu baik padaku, selama sepuluh tahun menikah, tak sekalipun kamu membentakku, apapun mauku, kamu selalu berusaha untuk memenuhinya, kamu juga tidak pernah protes jika aku banyak menghabiskan waktu di kantor, menghabiskan waktu untuk bertemu klien, dan masih banyak lagi…. Cynthia memejamkan matanya. Ingin sekali ia memeluk Bimo seperti dulu.

Perlahan Cynthia bangkit dari sisi Bimo. Tak ingin membangunkan suaminya, Cynthia berjalan pelan menuju meja kerjanya. Banyak sekali pekerjaan yang harus ia selesaikan. Besok aku harus memberikan presentasi terbaikku di depan klien, gumam Cynthia dalam hati.

Cinthya membuka laptopnya, meneliti beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan. Lampu utama kamar sengaja ia matikan, ia tak ingin Bimo terbangun. Tinggal nyala lampu meja kerja, lampu laptop dan alunan pelan instrumen yang menemaninya malam itu. Jari-jari Cynthi lincah bergerak diatas laptop. Pikirannya pun larut dalam layar di depannya.

Tanpa terasa, jam menunjukkan pukul satu dini hari.  Cinthya masih berkutat dengan data-data. Tak sadar  ia dengan kehadiran Bimo disampingnya. Bimo menepuk pelan bahunya. “Sudah shalat Isya de?” tanya Bimo. Cinthya kaget. “Belum sempat,” jawabnya sambil tetap memandang layar laptopnya. “Mas ngapain, kok malam-malam bangun?” tanya Cinthya. “Aku mau shalat tahajud de.” Jawab Bimo.

“Duuuhhh, mas kok ga istrahat aja sih, nanti kalo kecapean lagi gimana? Si mbo kan masih di kampung, belum tau pulangnya kapan, aku kan besok harus meeting, nanti kalau mas kumat bagaimana?” Kata Cinthya panjang lebar sambil matanya terus menatap layar laptop yang ada dihadapannya. Namun Bimo tak memperdulikannya. Ia tetap berjalan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Cinthya menutup laptopnya. Pikirannya kacau, tidak bisa konsentrasi. Ia pun memutuskan untuk tidur. Besok aku tidak boleh terlambat, gumamnya dalam hati. Cinthya mendengar suara Bimo sedang berdoa, sayup-sayup Cinthya mendengar suara isak Bimo. Cinthya menutup rapat kupingnya dengan bantal. Ukh, cengeng banget sih, sakit kok diratapi, bukannya dihadapi, ketus Cinthya dalam hati.

…………………………………………………………………………………………

Sore itu Cinthya memutuskan untuk pulang lebih lebih cepat. Ia ingin istirahat di rumah. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Pagi hari ia bertemu klien dan langsung presentasi. Siang ia meeting lagi dengan beberapa anak perusahaan untuk mempersiapkan target tahun depan. Yang terbayang di benak Cinthya hanyalah kamarnya yang nyaman dan dingin. Cinthya sudah tidak sabar.

Tiba-tiba Cinthya menghentikan mobilnya dengan mendadak. Ia bingung. Kenapa jalan menuju rumahnya ramai, ada bendera kuning. Ada tetangga yang meninggal rupanya, gumam Cinthya dalam hati. Tiba-tiba, sorang lelaki mendekati mobilnya. “Maaf, ibu Bimo yah, bisa turun sebentar bu, saya pak Irwan ketua RT ibu, saya mau bicara sebentar dengan ibu ,” kata pria itu. “Oh ya, sebentar, saya parkir mobil dulu” jawab Cinthya bingung.

“Maaf sekali lagi bu, tadi saya dan beberapa tetangga sudah mencoba menghubungi telpon ibu berkali-kali, tapi selalu sibuk, saya hubungi sekretaris ibu, katanya ibu lagi rapat dan tidak bisa diganggu.” Jelas pak RT pada Cinthya. “Iya, memang saya hari ini sibuk sekali pak, memangnya ada apa ya pak, oya, siapa tetangga kita yang meninggal pak?”tanya Cinthya.

“Silakan ibu duduk dulu,” pak RT mempersilakan Cinthya untuk duduk. “Maaf pak, sebelumnya, bukannya saya menolak untuk berbincang dengan bapak, tapi saya hari ini capek sekali, saya ingin cepat pulang dan istrahat, maaf ya pak,” jelas Cinthya sambil hendak meninggalkan pak RT. “Bu, yang meninggal suami ibu, bapak Bimo, tadi jam sebelas siang.” Cinthya kaget. Ia tak mampu berkata, ditatapnya pak RT tak percaya. Cinthya pun pingsan.

………………………………………………………………………………………………

Cinthya menatap wajah kaku suaminya. Mas Bimo. Maafkan aku mas. Aku tidak ada disampingmu. Cinthya menggenggam tangan suaminya. Dingin. Wajah Bimo seperti orang yang sedang tidur. Bibirnya menyunggingkan senyum tulus. Cinthya kembali menangis.

“Cin, ini, ada surat dari Bimo.” suara Rudi, adik Bimo mengagetkannya. Cinthya mengambil surat yang ada di tangan Rudi. “Sebaiknya dibaca nanti saja, sekarang kita urus jenazah kakak dulu.” Kata Rudi, seakan mengerti apa yang hendak Cinthya lakukan.

Sore itu, para pelayat mengantarkan Bimo ke tempat perisirahatannya yang terakhir. Diiringi rintik hujan dan angin yang semilir. Cinthya berjalan pelan di belakang jenazah Bimo. Rudi, adik iparnya sebenarnya sudah melarang Cinthya untuk ikut ke kuburan, namun Cinthya menolak, ia bersikukuh untuk ikut.

Perlahan, jenazah Bimo dimasukkan ke liang kubur, Cinthya tak kuasa menahan tangisnya. Hingga iapun kembali pingsan.
……………………………………………………………………………………………

Cinthya masih memandang  surat itu, ia menyesal atas kelakuannya akhir-akhir ini. Dibukanya kembali surat dari Bimo, dan dibacanya kembali…

“Cinthya, aku minta maaf tidak bisa lagi memberikan kebahagiaan seperti dulu. Tidak bisa lagi memberimu kebanggaan. Aku terlalu lemah menghadapi penyakit ku. Aku tau, kamu malu dengan teman-temanmu, malu dengan kondisiku yang sakit-sakitan dan tidak mempunyai usaha lagi. Cinthya, aku sangat menyayangimu, aku tidak mau menyusahkanmu. Aku akan memberikan semua milikku untukmu. Rumah ini dan beberapa investasiku, sudah aku hibahkan atas namamu. Kamu tidak usah susah-susah lagi bekerja de, tidak usah kerja sampai malam lagi, tidak usah pergi ke luar kota lagi untuk mendapatkan klien. 

Semua sudah aku urus dengan Rudi. Aku hanya ingin kita bisa seperti dulu lagi, menghabiskan waktu berdua. Berdiskusi berdua. Jalan-jalan berdua.  Tapi aku sadar, kamu pasti tidak mau de, dan aku mengerti, usiamu masih muda, masih banyak yang ingin kamu capai. Aku mengerti de. Karena itu, aku memutuskan untuk tinggal di kampung, aku sudah menghubungi si mbok, dan si mbok bersedia untuk menjagaku. Sebenarnya aku ingin pamit denganmu, tapi sulit sekali untuk menemukan waktu berbicara denganmu de, bahkan untuk sekedar  telpon pun kamu begitu sibuk. Tapi, aku mengerti de, aku sangat mengerti.

Jika surat ini kamu baca, aku sudah dalam perjalan ke kampung bersama Rudi. Jaga diri kamu ya de, sungguh, ini aku lakukan bukan karena aku tidak mencintaimu, justru aku tidak ingin merepotkanmu dengan penyakitku ini. Di dalam lemari, sudah aku siapkan surat-surat pemilikan beberapa rumah serta saham dan tabungan.  De, aku sangat berharap kamu mau menyusulku ke kampung. Kita mulai lagi hidup yang baru. Namun, jika kamu tidak mau, aku sangat memahami, aku sangat mengerti.”

Bimo yang selalu mencintai kamu, Cinthya, istriku…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar