*tulisan lama, satu tahun yang lalu*
Entah kebetulan atau tidak, dalam beberapa hari terakhir ini
saya bertemu dengan kenyataan, betapa meningkatnya tingkat perceraian di
Indonesia, Jakarta khususnya.
Siang itu, saat membawa ibu ke Rumah Sakit Islam Jakarta,
saya bertemu dengan ibu Rohana. Beliau adalah salah satu penasehat di
Pengadilan Agama. Pada awalnya, beliau memaparkan bagaimana membentuk keluarga
yang sakinah mawaddah wa rahmah. Ini terkait dengan tingginya tingkat
perceraian. Menurut beliau, tren akhir-akhir ini (duh, saya kok ngeri ya menyebut
cerai dengan sebutan “tren” L) adalah permintaan
cerai yang berasal dari pihak istri. Atau biasa disebut dengan gugat cerai.
Berdasarkan data terakhir, kasus cerai di seluruh Indonesia
adalah 285.184 kasus. Dari jumlah tersebut, ternyata 13% nya adalah gugat
cerai. Penyebab tertinggi perceraian secara umum (baik talak cerai atau gugat
cerai) adalah karena faktor ekonomi, yaitu 67.891 kasus. Fakta lain yang
menarik adalah, ternyata kekerasan fisik
bukanlah faktor utama dalam perceraian. Ini dibuktikan dengan rendahnya jumlah
perceraian akibat kekerasan fisik, yaitu 2.091 kasus. Penyebab terakhir
perceraian, yaitu poligami.
Dari data-data tersebut, ibu Rohana pun menyimpulkan, bahwa,
sebenarnya kasus gugat cerai adalah karena masalah komunikasi yang kurang
“nyambung”. Hal ini beliau buktikan dari beberapa konseling yang dilakukan
dengan beberapa pasangan yang ingin bercerai, setelah melakukan mediasi, alhamdulillah,
perceraian pun batal.
Mendengar hal itu, saya pun manggut-manggut, antara
prihatin, juga mengoreksi pernikahan saya selama ini. Ah, mudah-mudahan saja
segala kerikil yang ada di rumah tangga, bisa saya lewati dengan baik.
Secara tak sengaja pula, saya membaca status seorang ustad
di facebook. Beliau menyatakan keprihatinannya dengan tingginya tingkat gugat
cerai akhir-akhir ini. Tak lupa beliau juga menyebutkan bahwa seorang tokoh
wanita memberi komentar atas fenomena itu, yaitu, bahwa wanita sekarang sudah
sadar atau melek hukum. Duh, kok saya merasa kurang enak ya. Apa karena wanita
sudah melek hukum lalu bisa seenaknya meminta cerai?.... #tarik-nafas-panjang#
Sabtu siang, saat bertemu dengan seorang sahabat, ia pun
menceritakan tentang adik temannya yang meminta cerai pada suaminya. Ketika
saya tanyakan mengapa, sahabat saya pun berkata “karena suaminya di PHK mba.”
Ah, kepala saya langsung cenat cenut (kayak lagu sma#sh J ). Kemana janji awal
pernikahan dulu? Janji bahwa senang dan susah akan dijalani bersama....
Saya pun teringat sebuah hadits “Semua wanita yang minta
cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma
surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh
Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035]
Memang dalam beberapa hal gugat cerai diperbolehkan,
diantaranya adalah , jika dikhawatirkan suami akan membawa istrinya keluar dari
agama atau suaminya sudah berbuat dzhalim terhadap istri. Tapi, jika kita
melihat data-data diatas, jelaslah bahwa penyebab tertinggi perceraian karena
faktor ekonomi, dan sebenarnya hal tersebut masih bisa di mediasi (menurut data
ibu Rohana).
Dalam bulan momen Ramadhan ini, semoga keluarga muslim dapat
merekatkan kembali ikatan suci pernikahan. Mengingat kembali saat-saat dulu
memulai pernikahan. Saat melakukan akad, saat pertama kali memiliki anak, saat
pertama kali merasakan tinggal dengan mertua, ataupun saat-saat dimana semuanya
berawal (mulai sensitif J).
Yah, tidak ada satupun pasangan di dunia ini yang menginginkan perceraian,
namun jika memang masih bisa di komunikasikan, akan lebih baik. Kembalilah pada
Al-Quran dan mari kita ikuti teladan kita Rasulullah saw.
Seperti kata bang Maher, insyaAllah you’ll find the way J.....
8 Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar