Rabu, 23 Mei 2012

JALAN SERIBU HIKMAH


Seorang ibu menarik gerobak kecilnya yang penuh dengan kardus bekas. Umurnya masih muda. Begitupun anaknya yang ada diatas gerobak. Anak perempuan dengan pakaian sangat sederhana, duduk diatas tumpukan kardus tanpa rewel.

Ditengah padatnya kendaraan, ibu pemulung itu terus menarik gerobaknya dijalan menanjak.

Mungkin karena lelah atau karena matahari yang memang tengah bersinar terang, ibu pemulung berhenti sejenak dibawah pohon. Ia menyeka keringatnya. Kemudian tersenyum pada anaknya yang tengah bermain boneka lusuh.  

Tak jauh dari ibu pemulung, ada beberapa pengemis yang berjejer di pinggir jalan. Jalan ini merupakan jalan akses menuju pusat kota. Tak heran jika jalanan ini selalu ramai dengan kendaraan. Hal itu dimanfaatkan oleh para pengemis untuk mengais rejeki.

Ibu pemulung melanjutkan langkahnya. Menapaki jalanan menanjak sambil menarik gerobak. Saat melewati seorang pengemis, ia tersenyum. Ibu pemulung berbincang pada pengemis itu. Ia pun merogoh koceknya, mengeluarkan uang seadanya dan diberikan pada pengemis. Subhanallah...

Ia  pun melanjutkan kembali perjalanannya menarik gerobak. Sekitar 100 meter, kembali ia menjumpai pengemis. Seorang bapak duduk di kursi roda, didampingi istrinya. Dipangkuan bapak itu, ada sebuah papan kecil bertuliskan “sedekah amal jariah”.

Ibu pemulung kembali menghentikan langkahnya. Kembali, ia berbincang dengan bapak pengemis yang cacat itu. Mereka saling bercanda dan tertawa. Anak ibu pemulung pun ikut tertawa. Kembali, ibu pemulung merogoh kantongnya, dikeluarkannya uang receh dan diberikan pada bapak pengemis.

Bapak pengemis dan istrinya mengucapkan terimakasih. Ibu pemulung tersenyum. Ia pun melanjutkan menarik gerobaknya. Entah ke arah mana.....

Hari berganti...

Kembali bertemu dengan seorang ibu yang tengah menarik gerobak. Namun, gerobaknya tampak berbeda. Tidak ada tumpukan kardus.

Gerobak itu dirancang sedemikian rupa hingga menyerupai tenda kecil. Disudut-sudut gerobak, tampak kayu yang dibiarkan menonjol. Kemudian, seutas tali diikatkan pada kayu-kayu itu, hingga jadilah semacam tiang gantungan untuk pakaian.

Tiang itu dipenuhi dengan pakaian. Mulai pakaian anak-anak, dewasa, hingga beberapa helai kain. Saat melintasi mobil, terlihat dua anak sedang menjulurkan kepalanya dari celah-celah pakaian.

Saya memperhatikan gerobak itu. Gerobak berwarna biru yang lumayan bersih. Terawat. Disekeliling gerobak itu, terdapat tulisan. Tulisan berwarna putih yang menggunakan huruf kapital. Saya terkesiap. Tulisannya berbunyi “inilah rumah kami”....

Gerobak dengan panjang kurang lebih dua meter dan lebar satu meter itu adalah tempat tinggal mereka. Tidur, makan, bermain dan sebagainya, dilakukan di dalam gerobak....

Seperti ibu pemulung sebelumnya, ibu pemilik gerobak biru inipun bertemu dengan bapak pengemis kursi roda, yang selalu didampingi istrinya. Ia berhenti, berbincang sejenak dengan bapak pengemis, dan tak lama memberikan selembar uang. Bapak pengemis dan istrinya tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

Allah.... hati ini tak sanggup berkata....

Lain hari, kembali melewati jalan ini. Sebuah jalan satu arah, yang merupakan akses menuju pusat kota. Jalan yang selalu dipenuhi oleh kendaraan mewah, seperti rumah-rumah mewah disepanjang jalan ini.

Seorang lelaki penjual krupuk berdiri dipinggir jalan. Sekilas, tampak seperti biasa. Layaknya orang normal. Plastik-plastik krupuk memenuhi tangan dan punggungnya. Namun, ketika berada dekat dengannya, barulah kita akan sadar, ternyata bapak itu buta.

Kedua matanya memang tidak tertutup seperti tunanetra lainnya, namun, jika diamati, kelopak matanya hanya menutup setengah saja. Bagian mata yang biasa hitam, tampak keabu-abuan. Tangannya menggenggam erat sebuah tongkat hitam.

Allah... bagaimana caranya ia bertransaksi?? Bagaimana bapak tunanetra itu tau jika uang pembeli pas atau harus menyediakan uang kembalian??... 

Allah....kecil rasanya diri ini...

Bapak penjual krupuk yang tunanetra itu terus saja berdiri. Menanti orang yang mau membeli krupuknya.

Hari yang cerah, tiba-tiba saja mendung. Suara petir bergantian diatas langit Jakarta. Perlahan, hujan pun turun. Saya melihat bapak penjual krupuk itu segera mengemasi krupuknya. Ia mengencangkan ikatan tali-tali krupuk itu ke bahunya. Memastikan ikatan-ikatan kencang, kemudian perlahan ia berjalan.

Tongkatnya yang penjang menuntun jalannya, agar tidak terjatuh atau tersandung. Namun, langkahnya tidak secepat hujan yang menyapa bumi. Air dari langit semakin deras. Jika orang normal, tentulah akan berlari mencari tempat untuk berteduh.

Tapi, bapak penjual krupuk itu berjalan dengan tenang. Tidak panik. Ia berjalan pelan. Tongkatnya bergerak ke kanan, ke kiri, memastikan langkahnya aman. Ia pun terus berjalan. Tak lama, ia berhenti dibawah pohon. Pohon yang tidak cukup untuk melindungi tubuhnya yang telah basah kuyup.

Hujan semakin deras, membasahi tubuhnya dan plastik-plastik krupuk yang bertengger dikedua punggungnya. Ia tidak mengeluh. Tidak juga marah. Tidak juga melampiaskan kekesalan. Ia hanya berdiri. Menunggu, hingga hujan reda.

Tiga orang berbeda yang memberi seribu makna. Ibu pemulung yang begitu dermawan dan pekerja keras. Ibu pemilik gerobak biru, yang menjadikan gerobaknya sebagi “rumah idaman” dan seorang bapak tunanetra penjual krupuk, yang tidak menyerah pada kekurangannya.

Mereka adalah pejuang sejati. Menjalani kehidupan di kota besar, bukan hal yang mudah. Namun mereka bertahan. Bertahan untuk tidak mengemis, padahal bisa, karena keadaan mereka sangat mendukung untuk itu. Tapi, pantang bagi seorang pejuang, untuk mengemis memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mereka adalah orang-orang pemberani, yang seakan kerdil di tengah hiruk pikuknya ibukota. Sosok mereka nyaris tidak diperhatikan. Dianggap biasa. Lumrah bagi kota besar mempunyai yang miskin dan yang kaya.

Sesungguhnya, jalan-jalan di ibukota memberi beribu hikmah, sejuta makna. Diantara kokohnya jembatan, ada orang-orang yang menjadikan kolong jembatan sebagai tempat tinggalnya. Diantara tingginya gedung-gedung ibukota, terselip rumah-rumah kumuh seadanya. Beratapkan terpal plastik warna warni dan tembok yang terbuat dari kardus.

Sering kali, kehadiran mereka dianggap “sampah”. Namun, mereka menyajikan seribu kesahajaan. Tentang hidup dan tentang masa depan, yang secara perlahan hilang, digerus dengan hedonisnya kaum ibukota.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar