Pada 12 Januari 2000, polisi menangkap Mairika Franola (biasa
dipanggil Ola), Deni Setia Maharwa dan Rani
Andriani di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka kedapatan
membawa 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain . Barang haram tersebut sedianya akan diselundupkan melalui
pesawat menuju London.
Karena perbuatannya
itu, Ola dijatuhi hukuman mati. Namun, karena berkelakuan baik selama di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), maka Presiden SBY memberikan grasi atau
penurunan hukuman pada Ola. Dari hukuman mati, menjadi hukuman seumur hidup.
Kontan saja hal ini
mendapat reaksi keras dari para aktifis anti narkoba. Mereka menyayangkan
keputusan Presiden. Tapi, mereka juga tidak bisa berbuat banyak. Para aktifis
anti narkoba hanya bisa protes melalui media.
Sepandai-pandainya
tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Hal itulah yang dialami Ola. Tak lama
setelah pemberian grasi oleh SBY, Ola kedapatan mengendalikan perdagangan
narkoba dari dalam Lapas.
Berbagai pihak segera
bereaksi. Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Ola tidak perlu diadili lagi.
Menurutnya, Presiden SBY cukup melakukan pencabutan grasi, agar hukuman Ola
yang semula seumur hidup, kembali ke hukuman awal yaitu hukuman mati.
Berbeda dengan
Yusril, ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berpendapat, grasi yang telah diberikan
tidak perlu dicabut. Ola yang terbukti mengatur transaksi narkoba dari dalam
Lapas, dapat ditindak pidana kembali, selanjutnya dijatuhi hukuman mati.
Sudah tak terhitung
aktifis bicara tentang bahayanya narkoba. Barang haram ini bukan lagi
dikonsumsi oleh kalangan berpenghasilan tinggi, namun juga merambah pada kelas
menengah ke bawah. Bukan pula dikonsumsi orang dewasa saja, namun juga
anak-anak kecil tak berdosa.
Narkoba itu bahaya
laten. Bahaya seumur hidup yang tak dapat disembuhkan. Pengguna narkoba, akan
mengalami penyakit yang dibawanya akhir hayat. Seperti penyakit AIDS yang
sampai kini tak ada obatnya.
Para bandar mempunyai
seribu akal dalam menjual barangnya. Dalam penyebarannya, para pedagang barang
haram ini melakukan apa saja untuk memperoleh kekayaan. Mereka mengemas narkoba
dalam bentuk permen, yang dijual pada anak-anak sekolah dasar. Mereka juga
menggratiskan barang haram itu pada kalangan pelajar SMP. Hingga membuat
anak-anak ketagihan dan terpaksa membeli.
Di Lapas Anak Pria
Tangerang, kasus tertinggi adalah narkoba. Tapi, jika dilihat dari latar
belakang ekonomi, rata-rata mereka berasal dari ekonomi bawah. Anak-anak ini
adalah korban para bandar besar.
Mereka tertangkap
tengah menggunakan narkoba “murahan” yang biasa dijual 10rb per bungkus. Mereka
bukanlah kurir, apalagi bandar besar yang kaya raya, yang dapat menjual kiloan
narkoba dan bisa memperoleh kekayaan dengan cepat. Mereka “hanya” mengkonsumsi
narkoba karena ingin lari dari himpitan ekonomi.
Tapi, hukum tidak
berpihak pada mereka. Rata-rata, masa tahanan mereka dari satu hingga lima
tahun. Untuk mendapat pengurangan hukuman pun bukan hal yang mudah. Karena,
mereka berasal dari ekonomi lemah.
Bandingkan dengan
para bandar. Berapa keuntungan yang mereka dapatkan dari barang haram itu? Berapa
generasi yang sudah mereka hancurkan? Dari dalam Lapaspun mereka masih bisa
mengendalikan bisnis haram. Dan... mereka masih dapat pengampunan pula???
Semoga ini menjadi
pelajaran terbaik bagi SBY dan aparat terkait untuk lebih hati-hati dalam
memberikan grasi. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Seorang terduga
(sekali lagi TERDUGA) teroris, dapat langsung “dihadiahi” tembak ditempat. Mengapa
untuk para bandar narkoba yang SUDAH JELAS menghancurkan masa depan penerus
bangsa, masih bermurah hati???....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar