Kamis, 08 November 2012

GRASI OLA


Pada 12 Januari 2000, polisi menangkap Mairika Franola (biasa dipanggil Ola), Deni Setia Maharwa dan Rani Andriani di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka kedapatan membawa 3,5 kilogram heroin dan 3 kilogram kokain . Barang haram  tersebut sedianya akan diselundupkan melalui pesawat menuju London.

Karena perbuatannya itu, Ola dijatuhi hukuman mati. Namun, karena berkelakuan baik selama di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), maka Presiden SBY memberikan grasi atau penurunan hukuman pada Ola. Dari hukuman mati, menjadi hukuman seumur hidup.

Kontan saja hal ini mendapat reaksi keras dari para aktifis anti narkoba. Mereka menyayangkan keputusan Presiden. Tapi, mereka juga tidak bisa berbuat banyak. Para aktifis anti narkoba hanya bisa protes melalui media.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Hal itulah yang dialami Ola. Tak lama setelah pemberian grasi oleh SBY, Ola kedapatan mengendalikan perdagangan narkoba dari dalam Lapas.

Berbagai pihak segera bereaksi. Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Ola tidak perlu diadili lagi. Menurutnya, Presiden SBY cukup melakukan pencabutan grasi, agar hukuman Ola yang semula seumur hidup, kembali ke hukuman awal yaitu hukuman mati.

Berbeda dengan Yusril, ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berpendapat, grasi yang telah diberikan tidak perlu dicabut. Ola yang terbukti mengatur transaksi narkoba dari dalam Lapas, dapat ditindak pidana kembali, selanjutnya dijatuhi hukuman mati.

Sudah tak terhitung aktifis bicara tentang bahayanya narkoba. Barang haram ini bukan lagi dikonsumsi oleh kalangan berpenghasilan tinggi, namun juga merambah pada kelas menengah ke bawah. Bukan pula dikonsumsi orang dewasa saja, namun juga anak-anak kecil tak berdosa.

Narkoba itu bahaya laten. Bahaya seumur hidup yang tak dapat disembuhkan. Pengguna narkoba, akan mengalami penyakit yang dibawanya akhir hayat. Seperti penyakit AIDS yang sampai kini tak ada obatnya.

Para bandar mempunyai seribu akal dalam menjual barangnya. Dalam penyebarannya, para pedagang barang haram ini melakukan apa saja untuk memperoleh kekayaan. Mereka mengemas narkoba dalam bentuk permen, yang dijual pada anak-anak sekolah dasar. Mereka juga menggratiskan barang haram itu pada kalangan pelajar SMP. Hingga membuat anak-anak ketagihan dan terpaksa membeli.

Di Lapas Anak Pria Tangerang, kasus tertinggi adalah narkoba. Tapi, jika dilihat dari latar belakang ekonomi, rata-rata mereka berasal dari ekonomi bawah. Anak-anak ini adalah korban para bandar besar.

Mereka tertangkap tengah menggunakan narkoba “murahan” yang biasa dijual 10rb per bungkus. Mereka bukanlah kurir, apalagi bandar besar yang kaya raya, yang dapat menjual kiloan narkoba dan bisa memperoleh kekayaan dengan cepat. Mereka “hanya” mengkonsumsi narkoba karena ingin lari dari himpitan ekonomi.

Tapi, hukum tidak berpihak pada mereka. Rata-rata, masa tahanan mereka dari satu hingga lima tahun. Untuk mendapat pengurangan hukuman pun bukan hal yang mudah. Karena, mereka berasal dari ekonomi lemah.

Bandingkan dengan para bandar. Berapa keuntungan yang mereka dapatkan dari barang haram itu? Berapa generasi yang sudah mereka hancurkan? Dari dalam Lapaspun mereka masih bisa mengendalikan bisnis haram. Dan... mereka masih dapat pengampunan pula???

Semoga ini menjadi pelajaran terbaik bagi SBY dan aparat terkait untuk lebih hati-hati dalam memberikan grasi. Begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Seorang terduga (sekali lagi TERDUGA) teroris, dapat langsung “dihadiahi” tembak ditempat. Mengapa untuk para bandar narkoba yang SUDAH JELAS menghancurkan masa depan penerus bangsa, masih bermurah hati???....


Tidak ada komentar:

Posting Komentar