Setiap ada kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak
Pria Tangerang, saya dan teman-teman selalu menyempatkan diri untuk makan siang
di depan masjid Al’Azhom.
Diseberang masjid itu terdapat berbagai makanan murah
meriah. Ada soto ayam, nasi uduk, bakso, mi ayam, ketoprak, ayam bakar, minuman
dll. Initinya, bagi kami, makanan di seberang masjid itu pas di kantong dan pas
dilidah ^__^
Ketoprak memang salah satu makanan favorit saya. Karena itu,
hampir setiap minggu saya tak pernah absen untuk membelinya.
Begitu juga siang itu. Saya dan Lisya kembali membeli
ketoprak. Mungkin karena sudah berkali-kali membeli, ibu penjual ketropak pun
sangat ramah pada kami.
Seperti layaknya makanan pinggir jalan, bangku dan meja
disusun berhadap-hadapan. Saya mengambil posisi duduk disebelah Lisya agar
lebih bebas ngobrol. Dihadapan kami, ada empat orang anak perempuan memakai
seragam SMA. Agak jauh dari kami, juga terdapat gerombolan anak pria berseragam
SMA.
Karena posisi mereka dihadapan saya, mau tidak mau, saya pun
memperhatikan tingkah mereka. Anak-anak perempuan itu saling melempar senyum
dan candaan pada gerombolan anak lelaki di seberang mereka.
Sebagai seorang ibu, saya malu melihat tingkah anak
perempuan yang seperti tidak punya malu dan batasan. Tertawa bebas lepas,
cekikikan, dan berbagai tingkah genit yang memang sepertinya ditujukan untuk
memancing gerombolan anak lelaki.
Saya dan Lisya saling pandang dan hanya bisa geleng-geleng
kepala.
Alhamdulillah tak lama, pesanan ketoprak pun datang. Perhatian
saya dan Lisya bisa teralihkan ke makanan. Saya pun memesan minuman pada ibu
penjual ketoprak. Ibu itu memanggil anaknya. Seorang pemuda yang sejak tadi
duduk santai di dekat tumpukan minuman.
Saya langsung tertarik. Saya perhatikan, usia pemuda ini tak
jauh dari usia anak-anak SMA yang bergerombol diseberang sana. Penampilannya bersih,
sopan, dan gesit dalam melayani pesanan. Dan yang menyentuh hati saya adalah,
pemuda itu sama sekali tidak malu membantu ibunya berjualan. Padahal, beberapa
kali anak-anak perempuan SMA meliriknya. Namun, tak digubris.
Perhatian saya langsung beralih ke pemuda itu, anak ibu
penjual ketoprak. Beberapa kali ia harus bolak balik membersihkan meja,
mengantarkan pesanan, mencuci piring dan mangkok yang kotor dll. Dan itu
dilakukannya tepat dihadapan anak perempuan SMA.
Tingkahnya sangat wajar, cenderung cuek malah. Ia sama
sekali tidak mencari perhatian. Tidak juga berusaha melirik cewek-cewek itu. Malah
kebalikannya.
Saya mempercepat makan. Ada rasa penasaran di hati saya.
Setelah membayar, saya pun mengajak ibu penjual ketoprak
mengobrol.
“Itu anaknya bu?” tanya saya sambil menunjuk pemuda yang
sejak tadi saya perhatikan.
“Iya bu, itu anak saya,” jawab ibu sambil tersenyum
“Subhanallah ya bu, mau membantu ibu jualan. Biasanya kan
anak muda malu.”
“Alhamdulillah bu, semua anak saya ga ada yang gengsi. Dari kecil
sudah bantuin saya. Ini anak keenam saya. Sebenarnya dia kerja bu. Jadi buruh pabrik. Kalau dia dapat shift malam, siangnya dia bantuin saya jualan. Kalo dapet
shift pagi, malamnya bantuin juga.”
Subhanallah..... Alhamdulillah masih ada pemuda pekerja
keras.
Kontras sekali dengan gerombolan anak perempuan dan anak lelaki
SMA yang tadi ada diseberang saya. Gaya mereka yang sangat cuek, cari perhatian
sana sini, merokok, bicara kotor, tidak menghargai orangtua. Beberapa dari
mereka menggunakan handphone terkini, yang bisa dipastikan, untuk pulsanya,
masih minta pada orangtua.
Sangat jauuhh berbeda dengan pemuda ini.
Ibu penjual ketoprak bercerita, sejak kecil, ia mendidik
anak-anaknya untuk tidak gengsi, tidak malu bekerja apapun selama itu halal. Sambil
merapikan kerudungnya, ia melanjutkan ceritanya.
“Kakak-kakaknya juga begitu bu. Anak saya yang pertama dan
kedua, dulu kalau pulang kuliah, langsung bantu saya jualan. Mereka pulang
dulu, ganti baju, trus langsung kesini. Kalau dirumah ya juga gitu. Semua dikerjakan
sendiri.”
Alhamdulillah... Betapa bersyukurnya saya bisa mengobrol
dengan ibu ini. pemahaman yang diberikan oleh ibu pada anak-anaknya sejak kecil
bahwa hidup itu harus bekerja keras, rejeki harus dicari bukan ditunggu, jangan
gengsi pada pekerjaan halal, karena gengsi tidak bisa membiayai hidup.
Subhanallah. Itulah beberapa kalimat yang saya ingat. Kalimat
yang diucapkan seorang ibu penjual ketoprak. Kalimat yang mungkin menurutnya
biasa saja. Tapi menurut saya, sarat dengan makna.
Sayang sekali, karena waktu yang terbatas, saya harus
bergegas ke Lapas. Semoga minggu depan saya masih bisa mendapat pelajaran hidup
dari ibu penjual ketoprak, dan semoga ia masih mau berbagi pengalaman pada
saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar