Seperti yang telah direncanakan, Selasa 16 Oktober, Gerakan Peduli Remaja (GPR) bersama Smart Learning Centre (SLC) , Fadly perwakilan #IndonesiaTanpaJil Jakarta dan Sarah, wartawati
majalah Hidayatullah, berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Pria
Tangerang.
Ini adalah perjalanan saya yang kesekian kalinya ke Lapas. Tapi
entah kenapa, setiap menuju Lapas, hati saya selalu kelabu. Membayangkan anak-anak
remaja menjalani kehidupan di dalam Lapas. Sementara diluar sana, para remaja
bebas melakukan apapun.
Satu kelemahan saya, tidak bisa menahan air mata setiap kali
berkunjung ke Lapas.
Dengan keadaan serba terbatas, mereka masih bisa tersenyum,
tertawa, bercanda, menggoda satu sama lain, bahkan mereka sering mengajak kami
tertawa bersama.
Mungkin saya bisa tertawa, tersenyum... tapi sungguh... hati
tidak bisa dibohongi. Tawa saya sangat garing, senyum pun kecut. Aahh.. semoga
mereka tidak bisa membaca keadaan hati saya yang sebenarnya.
Sesampai di Lapas, GPR dan SLC bergegas menuju masjid Lapas.
Beberapa anggota tim memang belum sempat shalat di luar Lapas.
Bahagia dan haru campur menjadi satu ketika kaki ini
menjejak di Lapas. Pertama yang saya temui adalah Zainuddin, kasus pembunuhan
karena tawuran. Aahh anak ini. Tidak terlihat sedikitpun jika ia tega membunuh
lawan tawurannya. Alhamdulillah ia sudah bertobat dan menyesali perbuatannya. Tujuannya
saat ini hanya satu, membahagiakan orangtua dan adik-adiknya. Semoga Zai, kamu
pasti bisa.
Dari gerbang depan menuju masjid, saya sempat bertemu dengan
beberapa anak Lapas. Beberapa menghampiri dan bertanya, apakah saya dan
teman-teman akan mengadakan acara. Ya, jawab saya. “nanti ikut ya,” kata saya. Dan
mereka pun tersenyum mengangguk.
Seorang anak menghampiri saya. “bunda, liat deh, aku buat
taman kecil,”
“Oya? Mana?” tanya saya
Kami berjalan bersama menuju taman yang ia sebutkan.
Taman itu.... baginya itu sebuah taman. Saya tercenung. Hati
saya gerimis. Ya, itu memang sebuah taman mungil. Letaknya disudut lapangan bola. Andi, nama anak itu. Menceritakan dengan bangga tentang tamannya.
Beberapa tanaman ia susun rapi membentuk satu tulisan. Diluar
tulisan itu, ia menyusun pagar yang juga terbuat dari tanaman. “Bagus kan bun?”
tanyanya. Saya tersenyum “Hebat. Bagus banget. Mudah-mudahan hujan ya, biar
tambah bagus.” Puji saya.
Berjalan menyusuri kamar-kamar penjara, saya berpapasan lagi
dengan beberapa anak Lapas. Seorang anak berlari di tengah lapangan. Saya pun
memanggilnya untuk mendekat. Senyum terkembang di wajahnya.
Namanya Nasrullah. Nama yang bagus. “Bunda apa kabar?” aahh
kenapa ia dulu yang meyapa saya seperti itu? Harusnya saya yang bertanya lebih
dulu. Saya tersenyum.
“Nasrullah gimana kabarnya? Ada salam dari ustad Alwi. Gimana
buku-bukunya sudah selesai dibaca belum?”
“Wah alhamdulillah, salam balik ya bun. Kapan ustad Alwi dateng
lagi?”
“Doakan ya, sekarang ustadnya masih di Kuala Lumpur.”
“Bun, saya lagi disuruh sama penjagaan. Saya tinggal dulu ya
bun.”
Saya mengangguk. Nasrullah meninggalkan saya sambil
tersenyum dan melambaikan tangannya.
Sampai di masjid, saya menunggu beberapa tim yang sedang
shalat. Seperti biasa, beberapa anak mendekat dan menyapa.
Dari jauh, seorang anak berlari menuju saya. Senyumnya lebar.
Matanyapun berbinar. Zikru namanya. Hobinya menulis dan membaca buku.
“Bunda gimana kabarnya,” tanya Zikru. Aahh mengapa saya
selalu kalah cepat menanyakan kabar mereka???.....
“Baik alhamdulillah. Zikru gimana? Oya, dapat salam dari
ustad Alwi. Bukunya sudah selesai dibaca belum?”
“Sudah bun. Bagus banget bun. Keren deh. Itu kan menceritakan
perang salib...” bla..bla...bla... Zikru dengan bahagia menceritakan sebagian
besar isi buku yang ia dapat dari ustad Alwi Alattas. Subhanallah... semangat
sekali ia menceritakan isi buku itu.
“Zikru baca bukunya berapa lama?” tanya saya
“Mmmm berapa ya, tiga hari kalo ga salah bun. Setelah acara
kemarin itu, Zikru langsung baca bukunya.” Jawab Zikru sambil tersenyum bangga,
namun tidak bermaksud sombong.
Lagi-lagi saya seperti merasa ditampar. Tiga hari... saya
dan Zikru sama-sama mendapatkan buku itu dari ustad Alwi pada hari yang sama. Sama-sama
gratis juga. Tapi.... Zikru langsung membacanya dan melahapnya hanya dalam
waktu tiga hari. Maluuuu sekali rasanya.
Zikru masih bercerita tentang isi buku. Tiba-tiba saya pun
teringat ingin mengenalkan Zikru pada salah satu tim SLC yang penulis dan juga
anggota Forum Lingkar Pena (FLP). Saya pun langsung memanggil Haden dari tim SLC.
Ketika dikenalkan, wajah Zikru langsung berubah. Matanya semakin
berbinar bahagia. Ia sangat antusias mengobrol dengan Haden. Subhanallah...
Zikru, akhirnya kamu ketemu dengan salah satu penulis dari FLP ya...
Saya meninggalkan Haden dan Zikru yang asyik bertukar
cerita.
Di dekat teras masjid, beberapa anak sedang mengerjakan
pelebaran teras. Sebagian dari mereka berambut plontos. Saya terkesiap. Rambut plontos.
Berarti mereka baru masuk?? Aahh... kenapa anak Lapas harus bertambah?
Saya pun bertanya pada salah satu penjaga.
“Pak, ini anak-anak baru ya?”
“Iya mba. Anak tahanan. Lagi nunggu putusan hakim.”
Saya menatap mereka dalam-dalam. Anak baru. Umur berapa
kalian? Bagaimana orangtua kalian? Berpa lamakah kalian akan tinggal disini? Bagaimana
saudara-saudara kalian? Apa yang kalian rasa saat ini? Menyesalkah?......
Kunjungan ke Lapas sesungguhnya merupakan perjalanan menata
hati, dari rasa sombong atas segala yang kita dapatkan selama ini. Menata hati
atas diri yang merasa telah baik dalam mendidik anak, dan menata hati agar tak
selalu merasa gembira berlebih, karena diluar sana (Lapas), masih banyak
anak-anak remaja yang menghabiskan waktunya dengan keadaan serba terbatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar