Selasa, 29 September 2015

TERLAMBAT SADAR

Siang yang terik. Seorang anak LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak) Pria Tangerang sedang duduk berdua dengan seorang wanita. Ia memanggil saya.

"Bunda...." sapanya sambil tersenyum.

"Andi (bukan nama sebenarnya). Sehat ?”

Alhamdulillah bunda.”

“Lagi sama siapa ?”

“Ini ibu saya bunda.”

Saya pun tersenyum pada ibu Andi sambil pamit menuju masjid. Andi adalah salah satu anak LPKA yang masih berusia 16 tahun. ia ditahan karena kasus narkoba. Beberapa kali pertemuan dengannya, Andi bercerita panjang lebar tentang keluarganya.

Andi dilahirkan dalam sebuah keluarga muslim. Namun sejak ia kecil sampai sekarang, tak pernah sekalipun melaksanakan shalat atas kesadaran sendiri. Shalat baginya hanya ceremonial. Shalat baginya hanya hari Jumat atau hari-hari besar Islam. Surat Alfatihah ia tak hafal. Bacaan shalat ia tak tau.

“Jadi selama ini kalau kamu shalat bacanya apa?”

“Ya ga baca apa-apa bun. Saya ikutin aja gerakan orang. Orang ruku’, saya ruku’. Orang sujud, saya sujud. Tapi saya mah ga tau yang dibaca apaan.”

“Emang dulu waktu kecil kamu ga diajarin shalat ?”

“Seinget saya sih ga bun.”

“Ibu bapak kamu shalat kan ?”

“Hehehe… jarang-jarang bun?”

Begitulah percakapan saya beberapa bulan yang lalu saat pertama kali Andi menginjakkan kaki di LPKA. Kini, tak banyak perubahan. Andi masih “konsisten” dalam keengganannya melaksanakan shalat.

Melihat Andi, saya teringat pada sebuah kisah seorang sahabat. Sahabat saya mempunyai seorang tetangga pasangan suami istri yang sudah sepuh. Sebut saja bapak dan ibu Muna. Mereka berdua rajin sekali ke masjid. Pak Muna tak pernah ketinggalan shalat subuh berjamaah di masjid. Ibu Muna tak pernah absen mengikuti majlis taklim di masjid. Walau badan keduanya mulai membungkuk, tapi mereka tetap semangat melangkah ke masid.

Namun ada satu hal yang membuat sahabat saya penasaran. Ia jarang sekali melihat anak-anak bapak dan ibu Muna berkunjung. Bahkan ketika pak Muna sakit, yang mengantarkan ke rumah sakit para tetangga. Anak-anaknya datang beberapa hari kemudian ketika pak Muna sudah mau keluar dari rumah sakit. Sahabat saya pun memberanikan diri bertanya pada ibu Muna. Sore itu saat sedang menyiram tanaman, sahabat saya menyapa ibu Muna.

“Ibu… seger banget hari ini.”

“Alhamdulillah nak. Mungkin pengaruh baju. Hehe…”

“Bu Muna bisa aja.”

“Besok lebaran haji ya bu. Wah… anak-anak ibu dan cucu pasti datang nih.”

Ekspresi ibu Muna berubah. Matanya sayu. Ia melangkah pelan menuju kran air. Dimatikannya kran dan selang yang panjang pun digulung. Sahabat saya kaget. Ia merasa bersalah. Ia pun segera mengejar ibu Muna yang hendak masuk ke rumah.

“Ibu… saya mohon maaf sekali jika ada kata-kata saya yang salah.”

Ibu Muna diam. Ia menggeleng. Tangan kirinya menggenggam tangan sahabat saya. Kemudian mengajaknya masuk ke dalam rumah.

“Duduklah nak.”

Sahabat saya duduk sambil diam. Ia merasa tak enak. Bagaimanapun bapak dan ibu Muna sudah ia anggap seperti orangtua sendiri. Ia tak ingin menyakiti hati mereka.

“Nak Marni sudah saya anggap seperti anak saya.” Ibu Muna menarik nafas panjang. “Saya tau nak Marni juga paham agama. Walau nak Marni saya seumur dengan anak saya, tapi nak Marni juga salah satu guru agama saya. Saya pikir inilah saatnya saya bercerita dan meminta pendapat nak Marni.”

“Enggeh bu.”

“Apa yang saya lakukan selama ini bersama suami, semoga menjadi penghapus dosa-dosa saya yang lalu. Terutama dalam mendidik anak-anak. Dulu kami adalah orangtua yang jauh dari agama.” Ibu Muna terisak.

“Kami tidak pernah mengajak anak-anak shalat berjamaah. Kami tak pernah mengajak anak-anak ke masjid. Kami tak pernah mengajarkan anak-anak membaca Alquran. Waktu kami habiskan berfoya-foya. untuk makan-makan, jalan-jalan dan belanja, waktu kami terasa banyak. Tapi ketika azan, berat sekali kaki ini untuk shalat. Hingga anak-anak kami tumbuh menjadi anak-anak yang jauh dari agama. Anak pertama saya….” Ibu Muna tak sanggup melanjutkan kisahnya. Marni sahabat saya segera memeluk ibu Muna.

“Ibu… tidak usah dilanjutkan. Allah Maha Pengampun. Allah Maha Pemberi Maaf.”

“Iya nak… mudah-mudahan Allah mengampuni kami, yang dulu ga becus dalam mendidik anak-anak.”

KEGIATAN HARI INI DI LPKA



MEMBERIKAN MOTIVASI UNTUK ANAK-ANAK LPKA


Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi saw bersabda,

“Ajarkan kalimat Laa ilaaha illallah sebagai kalimat pertama dan talqinkan kepada mereka Laa ilaaha illallah ketika menjelang ajal.”

Abdurrazaq meriwayatkan bahwasanya para sahabat itu suka untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka kalimat Laa ilaaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi kalimat pertama mereka.

Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Ahkam Al-Maudud mengatakan,

”Ketika anak-anak mulai bisa berbicara hendaklah di-talqin kan kepada mereka kalimat Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, dan yang pertama kali terdengar oleh telinga mereka adalah Ma’rifatullah (mengenal Allah) dan men-tauhidkan-Nya, dan bahwasanya Allah yang berada di atas singgasan-Nya (arsy) senantiasa melihat mereka, mendengarkan perkataan-perkataan mereka, dan Dia senantiasa bersama mereka di manapun mereka berada.”

Teringat sebuah syair Arab,

Adab yang diajarkan ketika kecil dapat bermanfaat
Sedangkan adab yang diajarkan setelah tua tidak dapat bermanfaat
Ranting yang masih muda jika engkau luruskan akan menjadi lurus
Sedangkan sebatang kayu jika engkau bengkokkan maka dia akan menjadi patah.



*rujukan ;
25 Kiat Membentuk Anak Hebat, Akram Misbah Utsman (GIP)
Cara Nabi Mendidik Anak, Muhammad Ibnu Abdul Hafidh Suwaid (Al-Itishom)



Jakarta, 29 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar