Sabtu, 03 Maret 2012

BELAJAR KEARIFAN DARI SEORANG ANAK



Pagi itu hujan deras mengguyur kota Jakarta. Seperti biasa, kemacetan selalu mengiringi hujan. Melihat hujan yang semakin deras, saya berinisiatif untuk mengantar Adam dengan mobil. Namun Adam menolak. “Mama, sekolah Adam kan deket, jalan kaki aja mah,” begitu kata Adam. “Iya sayang, deket sih deket, tapi gimana, hujannya deres banget. Nanti malah sepatu dan seragam Adam basah. Nanti masuk angin.” Jelas saya panjang lebar. Adam tetap bersikeras. “Ga mah, Adam ga mau, pokoknya Adam mau jalan kaki. Kan ada jas hujan, nanti Adam pakai payung, tapi pakai jas hujan juga.” Jawab Adam.

Sebenarnya saya gemas dengan keputusan Adam. Memang jarak sekolah dengan rumah sangat dekat. Sekolah Adam letaknya hanya di belakang rumah kami. Namun jalan menuju sekolahan biasanya tergenang air. Membayangkan Adam menembus hujan “berbecek-becek ria”, perasaan saya sebagai ibu tidak tega. Berbagai perasaan berkecamuk. Nanti kalau basah kuyup gimana, AC di ruang kelas dingin, nanti Adam bisa masuk angin, belum lagi memikirkan kotornya air yang tergenang di jalan, kalau nanti gatal-gatal gimana? Ah… saya memandang Adam yang sudah sangat siap dengan jas hujannya.

“Udah ma, ga pa pa. kan nanti Adam juga pakai payung,” kata Adam sambil memandang saya. Saya membalas tatapan Adam, ga tega. “Ya udah ga pa pa. tapi jangan pakai sepatu yah. Sepatu dan kaos kaki masukin ke plastik. Adam pakai sandal aja. Nanti sampai sekolah, baru pakai sepatu dan kaos kakinya.” Adam pun menurut. Beranjak keluar, saya meminta Adam untuk meninggikan celana panjangnya agar tidak terkena hujan.

Setelah pamit dan bersalaman dengan oma, kami pun menembus hujan. Saya memegang payung, begitu pun Adam. Kami memilih-milih jalan yang tidak tergenang air. Namun karena hujan yang begitu deras, nyaris membuat seluruh jalanan tergenang. Saya dan Adam terkadang harus meloncat-loncat agar kaki tidak terlalu basah.

Menjelang gang menuju sekolah Adam, terlihat antrian mobil yang begitu panjang. Kami berjalan pelan. Sesekali kami harus mengalah dengan mobil-mobil yang memaksa menurunkan anak-anaknya tepat di depan gerbang sekolah. Tak lama, kami pun terpaksa berhenti. Tidak bisa jalan sama sekali. Tepat di depan gerbang sekolah, sebuah mobil berhenti, dari dalam mobil tampak seorang anak yang tengah berpamitan dengan ayah dan ibunya. Sayangnya, si anak tampak enggan turun dari mobil, sampai pak satpam memayunginya. Sayangnya lagi, pak satpam pun tengah sibuk memayungi anak yang lain. Antrian mobil di belakangnya mulai tidak sabar. Klaksonpun dibunyikan. Begitu juga motor. Gang yang hanya cukup untuk satu mobil, kini telah penuh oleh pejalan kaki, mobil dan pengendara motor.

Setelah menunggu agak lama,pak satpampun tiba. Dengan sigap, pak satpam segera memayungi dan anak di mobil itupun turun dai mobilnya. Kemudian mobil dibelakangnya maju mendekati gerbang sekolah. Seperti dugaan saya. Anak yang berada di mobil berikutnya pun menanti payung pak satpam. Kembali langkah kami terhenti. Saya memandang Adam. Alhamdulillah Adam sama sekali tidak menggerutu. Adam tampak sabar menanti gilirannya untuk masuk ke gerbang sekolah. Alhamdulillah, walaupun kejadian serupa terus berlangsung, yaitu semua mobil ingin menurunkan anaknya tepat di gerbang sekolah, kami tetap bisa memasuki sekolah.

Saya meletakkan payung di pinggiran pelataran sekolah dan membantu Adam untuk mengganti sandalnya dengan sepatu. Beberapa anak dan orangtua melewati kami, mereka memandang heran. Saya tidak menggubris. Saya tetap membantu Adam. Saya memperhatikan Adam, Alhamdulillah, sepatu, kaos kaki, seragam dan badan Adam tidak basah alias kering. Hanya tasnya saja yang agak basah. Setelah menyalami saya, Adam pun menaiki tangga menuju kelasnya.

Keluar dari gerbang sekolah, saya melihat antrian mobil semakin banyak. Begitu juga motor. Sebagian tampak tak peduli lagi dengan orang di sekitarnya. Saya beberapa kali terpecik air di jalanan, karena mobil yang berjalan kencang. Saya hanya bisa istighfar.

Sepanjang jalan dari sekolah menuju rumah, pikiran saya melayang. Seandainya saja tadi pagi saya tetap memaksa Adam untuk naik mobil, apakah saya akan melakukan hal yang sama? Mengendarai mobil dengan terburu-buru karena tak ingin anaknya terlambat sekolah. Atau mengendarai mobil dengan kencang sehingga tidak peduli dengan para pejalan kaki? Atau, bersikap egois, dengan menurunkan anaknya tepat di depan gerbang sekolah, tanpa memperdulikan kendaraan yang sudah mengantri di belakangnya, bahkan tidak peduli dengan pejalan kaki yang memang sudah kehujanan.

Subhanallah…. Saya teringat wajah Adam yang tulus, ingin tetap menembus hujan dengan berjalan kaki. Saya teringat wajah Adam yang sabar menanti gilirannya untuk masuk ke gerbang sekolah, walaupun tasnya harus basah dan kakinyapun harus basah terkena percikan air dari kendaraan yang lewat dan air yang menggenangi jalanan.

Subhanallah…. Seandainya saya tetap memaksa Adam untuk diantar dengan mobil, saya juga tidak akan tiba dirumah secepat ini. Karena antrian mobil yang mengantar anak semakin banyak dan membuat jalanan menjadi macet.

Allah…. Mungkin niat Adam tidaklah istimewa, hanya ingin menghabiskan pagi seperti biasa, yaitu berjalan kaki bersama saya menuju sekolahnya. Tapi pagi ini, saya mendapat hikmah luar biasa atas pilihannya.

Allah…. Terimakasih Adam, pagi ini mama telah mendapat pelajaran yang luar biasa… terimakasih anakku…. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar