Pagi itu hujan deras mengguyur kota Jakarta. Seperti biasa,
kemacetan selalu mengiringi hujan. Melihat hujan yang semakin deras, saya
berinisiatif untuk mengantar Adam dengan mobil. Namun Adam menolak. “Mama,
sekolah Adam kan deket, jalan kaki aja mah,” begitu kata Adam. “Iya sayang,
deket sih deket, tapi gimana, hujannya deres banget. Nanti malah sepatu dan
seragam Adam basah. Nanti masuk angin.” Jelas saya panjang lebar. Adam tetap
bersikeras. “Ga mah, Adam ga mau, pokoknya Adam mau jalan kaki. Kan ada jas
hujan, nanti Adam pakai payung, tapi pakai jas hujan juga.” Jawab Adam.
Sebenarnya saya gemas dengan keputusan Adam. Memang jarak sekolah
dengan rumah sangat dekat. Sekolah Adam letaknya hanya di belakang rumah kami. Namun
jalan menuju sekolahan biasanya tergenang air. Membayangkan Adam menembus hujan
“berbecek-becek ria”, perasaan saya sebagai ibu tidak tega. Berbagai perasaan
berkecamuk. Nanti kalau basah kuyup gimana, AC di ruang kelas dingin, nanti
Adam bisa masuk angin, belum lagi memikirkan kotornya air yang tergenang di
jalan, kalau nanti gatal-gatal gimana? Ah… saya memandang Adam yang sudah sangat
siap dengan jas hujannya.
“Udah ma, ga pa pa. kan nanti Adam juga pakai payung,” kata Adam
sambil memandang saya. Saya membalas tatapan Adam, ga tega. “Ya udah ga pa pa.
tapi jangan pakai sepatu yah. Sepatu dan kaos kaki masukin ke plastik. Adam pakai
sandal aja. Nanti sampai sekolah, baru pakai sepatu dan kaos kakinya.” Adam pun
menurut. Beranjak keluar, saya meminta Adam untuk meninggikan celana panjangnya
agar tidak terkena hujan.
Setelah pamit dan bersalaman dengan oma, kami pun menembus hujan. Saya
memegang payung, begitu pun Adam. Kami memilih-milih jalan yang tidak tergenang
air. Namun karena hujan yang begitu deras, nyaris membuat seluruh jalanan
tergenang. Saya dan Adam terkadang harus meloncat-loncat agar kaki tidak terlalu
basah.
Menjelang gang menuju sekolah Adam, terlihat antrian mobil yang
begitu panjang. Kami berjalan pelan. Sesekali kami harus mengalah dengan
mobil-mobil yang memaksa menurunkan anak-anaknya tepat di depan gerbang
sekolah. Tak lama, kami pun terpaksa berhenti. Tidak bisa jalan sama sekali. Tepat
di depan gerbang sekolah, sebuah mobil berhenti, dari dalam mobil tampak
seorang anak yang tengah berpamitan dengan ayah dan ibunya. Sayangnya, si anak
tampak enggan turun dari mobil, sampai pak satpam memayunginya. Sayangnya lagi,
pak satpam pun tengah sibuk memayungi anak yang lain. Antrian mobil di
belakangnya mulai tidak sabar. Klaksonpun dibunyikan. Begitu juga motor. Gang yang
hanya cukup untuk satu mobil, kini telah penuh oleh pejalan kaki, mobil dan
pengendara motor.
Setelah menunggu agak lama,pak satpampun tiba. Dengan sigap, pak
satpam segera memayungi dan anak di mobil itupun turun dai mobilnya. Kemudian mobil
dibelakangnya maju mendekati gerbang sekolah. Seperti dugaan saya. Anak yang
berada di mobil berikutnya pun menanti payung pak satpam. Kembali langkah kami
terhenti. Saya memandang Adam. Alhamdulillah Adam sama sekali tidak menggerutu.
Adam tampak sabar menanti gilirannya untuk masuk ke gerbang sekolah. Alhamdulillah,
walaupun kejadian serupa terus berlangsung, yaitu semua mobil ingin menurunkan
anaknya tepat di gerbang sekolah, kami tetap bisa memasuki sekolah.
Saya meletakkan payung di pinggiran pelataran sekolah dan membantu
Adam untuk mengganti sandalnya dengan sepatu. Beberapa anak dan orangtua
melewati kami, mereka memandang heran. Saya tidak menggubris. Saya tetap
membantu Adam. Saya memperhatikan Adam, Alhamdulillah, sepatu, kaos kaki,
seragam dan badan Adam tidak basah alias kering. Hanya tasnya saja yang agak
basah. Setelah menyalami saya, Adam pun menaiki tangga menuju kelasnya.
Keluar dari gerbang sekolah, saya melihat antrian mobil semakin
banyak. Begitu juga motor. Sebagian tampak tak peduli lagi dengan orang di
sekitarnya. Saya beberapa kali terpecik air di jalanan, karena mobil yang
berjalan kencang. Saya hanya bisa istighfar.
Sepanjang jalan dari sekolah menuju rumah, pikiran saya melayang. Seandainya
saja tadi pagi saya tetap memaksa Adam untuk naik mobil, apakah saya akan
melakukan hal yang sama? Mengendarai mobil dengan terburu-buru karena tak ingin
anaknya terlambat sekolah. Atau mengendarai mobil dengan kencang sehingga tidak
peduli dengan para pejalan kaki? Atau, bersikap egois, dengan menurunkan
anaknya tepat di depan gerbang sekolah, tanpa memperdulikan kendaraan yang
sudah mengantri di belakangnya, bahkan tidak peduli dengan pejalan kaki yang
memang sudah kehujanan.
Subhanallah…. Saya teringat wajah Adam yang tulus, ingin tetap
menembus hujan dengan berjalan kaki. Saya teringat wajah Adam yang sabar
menanti gilirannya untuk masuk ke gerbang sekolah, walaupun tasnya harus basah
dan kakinyapun harus basah terkena percikan air dari kendaraan yang lewat dan
air yang menggenangi jalanan.
Subhanallah…. Seandainya saya tetap memaksa Adam untuk diantar
dengan mobil, saya juga tidak akan tiba dirumah secepat ini. Karena antrian
mobil yang mengantar anak semakin banyak dan membuat jalanan menjadi macet.
Allah…. Mungkin niat Adam tidaklah istimewa, hanya ingin
menghabiskan pagi seperti biasa, yaitu berjalan kaki bersama saya menuju
sekolahnya. Tapi pagi ini, saya mendapat hikmah luar biasa atas pilihannya.
Allah…. Terimakasih Adam, pagi ini mama telah mendapat pelajaran
yang luar biasa… terimakasih anakku….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar